Di seluruh dunia bahkan di Indonesia, tahun baru selalu dihadirkan secara semarak. Kembang api bertebaran, petasan dibunyikan maupun terompet ditiupkan. Riuh orang akan berkumpul dalam satu titik yang kemudian akan berteriak bersama. Selamat Tahun Baru. Begitulah ucapannya.
Tetapi kami menikmati tahun baru dengan cara yang lain. Sejenak kami ingin memalingkan keriuhan Jogjakarta dengan menepi untuk menyesap keheningan di DolaNdeso. Sebuah tempat yang menyajikan suasana pedesaan di daerah Kulonprogo.
Kami berjumlah 21 orang bersepakat menuju DolaNdeso pada sabtu siang. Ini dilakukan demi menghindari keramaian maupun kemacetan. Kami adalah saya, istri, Kang Amal, Teh Nipong, Mbak Desti dan Teuku Nico. Selain itu ada sekumpulan pemuda-pemudi yang tergabung pada salah satu butik terkenal di Indonesia. Reisa Garage. Bunda Reisa, Ayahanda Aham, Hiday, Aprisa, temannya Aprisa, Vero, Jara, Atin, Ana, Dika, Didik, Yodi, Joshua, Angga, Tika, dan Wak Komar.
Di DolaNdeso, kami sengaja memilih tempat yang paling ujung. Tempat yang terhindar dari keramaian sehingga kami bisa melepaskan zat endorphin secara teratur. Tidak sulit bagi kami untuk melakukannya. Karena begitu sampai di tempat yang kami pilih, hamparan danau buatan berisi daun teratai dan tanah yang lapang menjumpai pandangan mata kami.
Di sisi selatan, terdapat wahana outbound yang berjumlah 10 macam. Disana kami saling mencoba satu persatu. Ada Joshua yang terpeleset ketika melewati seutas tali. Ada Didik yang secara sengaja menceburkan seluruh badannya ke dalam air ketika bermain Flying Fox. Ada pula Aham yang secara tidak sengaja mengalami ‘kecelakaan’ bersama Reisa sehingga mereka tenggelam di danau asmara.
Malam sembari menanti pergantian tahun baru, kami berkumpul di pelataran Ombo. Duduk melingkar sembari mengucap janji dan harapan untuk tahun 2017. Ada yang berharap segera menikah. Diberikan momongan. Ingin menjadi lebih baik. Ingin menjadi lebih beruntung. Kalo awak-awak Reisa Garage, harapannya semua sama. Kenaikan gaji atau mendapatkan tunjangan yang lebih baik.
Semoga Ayahanda Aham dan Bunda Reisa senantiasa mendengarkan dan mengabulkan. Mungkin.
Setelah itu kami yang terbagi 4 tim menyanyikan pelbagai lagu. Aham menyanyikan lagu milik Geisha. Kemudian Atin menyanyikan lagu berbahasa Inggris. Saya agak lupa. Sepertinya Taylor Swift. Desty menyanyikan lagu Andeca-andeci. Dan last but not least, Didik menyanyikan lagu Terlalu Manis milik Slank.
Di sisi lain, para mamah-mamah muda menyiapkan berbagai kudapan untuk disajikan dan dinikmati. Ada tempura, jagung, sosis, dan roti. Meskipun mulanya sedikit kesulitan untuk membuat api di anglo. Tapi berkat keahlian dan ketekunan Kang Amal, Mas Angga dan Ayahanda Aham maka segala permasalahan terselesaikan.
Makanan matang. Beberapa dari kami mulai menikmati aneka macam kudapan. Tak berapa lama, petasan dan kembang api mulai menyeruak dan memenuhi cakrawala. Para awak-awak Reisa Garage macam Yodi dan Didik tak mau ketinggalan. Lari menuju sawah dan segera membakar petasan.
Duar. Duar. Duar. Suara dari petasan memekikkan telinga. Berkelindan menjadi satu hingga membentuk suara yang beraneka macam. Sejenak kami sempat dimarahi oleh Pak Gondrong. Tapi kami tak kunjung kehilangan akal. Berlari cepat menuju mobil dan kembali meledakkan petasan di tengah sawah.
Semoga suara dari petasan tersebut menandakan tahun 2017 akan lebih berarti bagi kami. Setelah itu, kami tertidur pulas hingga beberapa dari kami pun mendengkur lumayan keras.
Esoknya, kami bersiap menuju danau asmara. Sebagian awak-awak Reisa Garage yang masih berbau kencur segera bergelut dengan lumpur di tempat tersebut. Kami para sesepuh tampak harus bergantian dengan remaja masjid Condongcatur yang kebetulan juga memenuhi danau asmara.
Toh begitu mereka usai, kami pun tak luput untuk menceburkan diri. Mencoba rintangan dan halangan satu demi satu. Mata desty mencoba menyirobok tatapan Nico. Ya. Mereka mencoba mengikatkan batin dan pikirannya untuk melewati bambu romansa. Sayang, akibat teriakan dari mamah-mamah muda membuyarkan konsentrasi mereka. Desty terjatuh.
Setelah hampir 1 jam lebih, kami bersih diri. Tak lupa kami memercikkan kenangan dengan foto bersama di pendopo DolaNdeso. Mengucapkan terima kasih kepada mbak Wita selaku pengelola DolaNdeso. Kemudian kami beranjak menuju destinasi berikutnya.
Destinasi selanjutnya adalah Hutan Mangrove dan Pantai Pasir Mendit.
Disini animo pengunjung luar biasa. Hari-hari biasa hanya berkisar 200-300 pengunjung. Namun menurut info yang saya dengar, hari minggu itu pengunjungan mencpai 10x lipat. Hampir 2000 orang.
Wisata yang baru dibuka pada awal tahun 2016 memang tergolong langka bagi masyarakat Jogjakarta. Ya. Seumur-umur saya berpijak di tanah Jogjakarta, baru kali ini mengunjungi hutan mangrove.
Ekspektasi saya melayang kemana-mana. Menganggap hutan mangrove seperti di Kalimantan maupun Sumatra yang sangat indah. Anggapan saya sedikit salah. Tak sedikit pula yang kecewa. Termasuk Fero dan Jara. Pada Maret 2016, dulunya hutan mangrove tak seramai ini bahkan jalan masuknya sudah berbeda. Kalo sekarang lebih rumit dan jarak tempuh lebih panjang.
Kalo Jara menganggap tempatnya biasa saja. Toh, masih bagus yang ada di Balikpapan. Setidaknya ini menjadi pekerjaan rumah tidak hanya bagi pemerintah melainkan juga masyarakat yang menikmatinya. Terlihat masih banyak sampah berserakan.
Harga tiket tergolong murah. Hanya 4 ribu rupiah. Dan harga tersebut sepadan dengan fasilitas yang diberikan. Kami melewati taman cemara. Kemudian mengekor untuk saling menahan nafas.
Ya, itu kami lakukan karena harus melewati jembatan cinta. Sejatinya namanya kurang tepat. Seharusnya jembatan goseng. Goyang dan Senggol.
Sebelum melewati jembatan goseng, kami ingin menikmati naik perahu di sungai ‘Amazon’. Saya bisa berkata begitu karena memang mirip. Cuman ndak ada buaya dan piranha. Hanya ikan darat. Tapi toh tetap saja beberapa dari kami agak tegang untuk menikmati perahu tersebut. Bayang-bayang buaya dari pantai Congot sedikit menghiasi pikiran kami. Untungnya itu tak terjadi di sungai ini.
Berikutnya kami melewati jembatan cukup aduhai nan membuat jantung bedegup kencang.
Betapa mengerikannya. Tak ada pegangan bagi kami yang menuju pantai. Satu per satu kami melewatinya. Sensasi goyang dan angin kencang mewarnai perjalanan yang begitu riang. Dan saya pun sempat melamun. Membayangkan anak-anak SD yang tempo hari harus berjalan melewati jalan terjal dan jembatan yang hanya bisa dilewati dengan ke-enam jemari kaki. Dan itu terjadi di Indonesia.
Sesampai di pasir mendit, saya, istri, Kang Amal, dan Teh Nipong bergegas menuju ke pinggir laut. Menikmati deburan ombak dan sayupan angin yang berhembu dari timur ke barat. Kalo kata istri saya, tidak sah apabila ke pantai tidak terkena air laut. Dan itu kami lakukan menjelang air pasang sekitar pukul 16.16.
Menjelang jam 5 sore, kami beranjak. Melewati kembali jembatan goseng dengan hati-hati. Dan tiba di tempat parkir dengan selamat sentausa.
Bahagia dalam keintiman perjalanan adalah hal yang harus dilakukan manusia ketika raga dan jiwa masih sehat. Karena perjalanan adalah alasan mengapa bahagia itu diciptakan.