Semut

​Pgimgs.com

Beberapa hari ini segerombolan semut menyerang dan mengutil segala macam makanan dan minuman yang ada di rumah. Mulai dari kue kering, kue basah, sayuran, gula, merica, tempe goreng, air mineral hingga nasi. Saya tidak cukup mengerti mengapa segerombolan semut mencoba semua makanan dan minuman. Mereka tidak menghabiskan melainkan hanya mengutil dari satu makanan ke makanan yang lain. Mencicipi rasa minuman dari pelbagai merek.
Saya pikir penyebabnya adalah cuaca. Tapi ternyata bukan. Panas atau dingin sama saja. Tetap saja semut menggerayangi seluruh makanan dan minuman. Aneh. Tak biasanya mereka berkelakuan seperti itu. Saya kira jika semut adalah penyuka gula maka teori itu terbantahkan untuk saat ini. 

Semut termasuk jenis serangga. Anggota dari Formicidae dan termasuk bangsa Hymenoptera. Semut termasuk serangga sosial. Mengapa dikatakan seperti itu? Karena semut terdiri dari beberapa kelompok. Ada ratu semut, semut pekerja, semut pejantan. Mereka punya koloni-koloni yang membentuk kesatuan. 

Ukurannya memang kecil. Tidak lebih besar dari ukuran biji sawi. Tapi jangan salah, semut termasuk hewan yang memiliki kekuatan yang hebat. Mereka mampu mengangkat beban 50x lebih berat dari berat badannya. Mereka unggul dari gajah yang ‘hanya’ mampu mengangkat beban 2x lebih berat daripada berat badannya sendiri. Luar biasa bukan?

Keunikan dari semut adalah jika ia bertemu dengan semut dari suku lain, maka mereka salin menempelkan antenanya. Dan ini jarang ditemukan pada spesies hewan lainnya. Dan mungkin hanya semut yang dapat melakukannya.

Semut mengajarkan kepada kita (manusia) bahwa mereka selalu menjunjung etos kerja, ketaatan pada pemimpin, kebersamaan dengan koloninya, tekun dalam menghadapi rintangan bahkan kepekaan. Dan ini diterangkan dalam AlKitab Amsal 6:6-11. 

Dalam Islam diajarkan pula bahwa kita tidak diajarkan untuk tidak membunuh semut. Dan ini dijelaskan pula dalam riwayat Abu Huraihah, Nabi Muhammad pernah bersabda “Apakah hanya karena seekor semut menggigitmu lantas kamu membinasakan satu umat yang selalu bertasbih?” Dan mungkinkah karena semut merupakan hewan yang luar biasa sehingga diagungkan dalam surat An Naml? Setidaknya hal tersebut benar adanya.

Ketika ingat perihal tersebut, saya jadi sungkan untuk membunuh segerombolan semut ini. Akhirnya saya mencari cara tradisional untuk ‘menghilangkan’ para semut. Maksudnya menghindarkan mereka dari makanan dan minuman. Caranya? Gunakan daun sirih merah. Dioleskan ke beberapa jalur yang biasanya dilewati. Dan hasilnya? Berhasil.

Sayangnya, keberhasilan tersebut hanya berlangsung selama 3 jam. Para semut kembali menghampiri dan mengutili makanan dan minuman. Tapi anehnya, hanya satu makanan yang tak mereka sentuh. Apa itu?

Kurma. Aneh bukan? Padahal rasanya manis sekali. Lantas saya mencoba taruh kurma di beberapa tempat. Hasilnya? Tak seekor semut pun mencuil bahkan menyentuh kurma-kurma yang saya letakkan. 

Lantas saya mencoba mengikuti mereka. Kemudian jongkok. Berhadapan dengan gerombolan semut. Mengajukan sebuah pertanyaan. 

“Hey semut, kenapa dirimu beserta teman-temanmu tak memakan kurma?”

Kalian tahu jawabannya?

“Kami lebih cinta ploduk-ploduk Indonesia.”

Radio

Di Indonesia, untuk mendapatkan berita, mendengarkan lagu, maupun menumpahkan curahan hati dapat melalui bermacam-macam alat komunikasi. Ada televisi, telepon genggam dan radio. Dari sekian alat tersebut, entah kenapa saya jatuh cinta kepada radio. Mungkin karena radio adalah alat komunikasi pertama yang dikenalkan oleh ibu kepada saya.

Saya menggemari radio sejak kecil. Lebih tepatnya saat menginjak usia 8 tahun. Setiap pagi menjelang berangkat sekolah, saya selalu menyempatkan diri untuk mendengarkan siaran radio. Isinya adalah lagu-lagu nostalgia. Macam The Beatles dan Koes Plus. Kebetulan, salah satu radio di Jogjakarta selalu memutarkan tembang kenangan tersebut. Tepat setelah subuh hingga pukul 7 pagi. 

Selain itu, menantikan ucapan uluk salam dari teman sejawat, saudara bahkan gebetan adalah hal yang paling dinantikan. Hari terasa bahagia apabila mendengar ucapan salam dari gebetan. Walaupun tetap saja yang memberi salam si penyiar radio. Bukan gebetan.

Sejak saat itu, saya tidak pernah lepas dari radio. Saking gandrungnya dengan radio, ibu membelikan saya radio berukuran mini yang mampu dibawa kemana-mana. Cukup diletakkan di kantong celana maka saya akan tetap tenang menjalani hari sekolah.

Selain lagu-lagu seperti diatas, saya juga paling senang mendengarkan siaran pertandingan sepakbola dan kisah-kisah misteri. Betul itu. Kedua-duanya mirip. Menegangkan dan mengagetkan.

Contoh dalam siaran langsung pertandingan sepakbola. Kalimat seperti “angkat bola ke tengah gawang”, “aah aah aah gawangnya masih perawan” atau “sekali lagi tendangannya mentiung ke cakrawala” membuat para pendengar tertawa geli. Sebelum booming macam presenter-presenter kondang di televisi, maka penyiar radio lebih dahulu mempopulerkan kata-kata tersebut. Sayangnya saat itu belum ada media sosial membincangkan keunikan penyiar radio. Beda dengan sekarang.

Itu siaran sepakbola. Kalo kisah-kisah misteri lebih unik lagi. Kalimat seperti “wuush, angin mamiri menggelayuti ventilasi”, “tampak sesosok anak kecil di balik pintu” atau “sekelebat bayangan putih lewat” lebih membuat bulu kuduk berdiri. Sebelum acara televisi macam dunia lain atau misteri pemburu hantu kondang, maka penyiar radio pada sesi kisah misteri lebih dahulu tenar. Suaranya pun akan selalu serak-serak basah. Itu dilakukan supaya membuat pendengar berimajinasi. Kalimat-kalimatnya dibuat tak beraturan. Beda dengan di televisi. 

Sejak dari dulu, saya memang sudah terpesona dengan radio. Saya pikir radio adalah simbol anti hoax. Karena dari radio, kita mendengarkan fakta dan kenyataan yang tidak dibuat-buat.

Dari radio, kita mendapatkan berita kekalahan Jerman dari Inggris pada Perang Dunia ke 2. Dari radio, kita mendapatkan berita kekalahan Jepang dari Sekutu. Dari radio, kita mendapatkan pula orasi lantang Bung Tomo kepada arek-arek Suroboyo. Dan dari radio pula kita mendengarkan berita kemerdekaan Indonesia.

Kalo kamu mengalami kejadian gempa Jogja pada 27 Mei 2006 seperti saya, maka tentu kamu akan ingat dengan radio. Ya. Disaat listrik susah menyala, sinyal handphone menghilang entah kemana maka siaran radio tetap mengudara. Dan pada saat itu radio merupakan satu-satunya alat komunikasi untuk mengabarkan mana berita hoax dan mana berita kenyataan. Kita harus mengapresiasi tinggi pada bapak penyiar radio tersebut. 

Maka benar jika ada sebuah adagium yang mengatakan betapa pentingnya kegunaan radio. “Selama radio masih mengudara, maka Republik Indonesia masih milik kita”. 

Namun sekarang, terkadang radio dipinggirkan. Manusia modern lebih menyukai berita dari televisi maupun media sosial macam facebook atau twitter. Beritanya pun tak jelas. Bisa jadi hoax. Bisa jadi tidak. Tapi yang jelas lebih kebanyakan berita asu daripada berita bermutu.

Mungkin radio dianggap sudah mulai usang. Kehadirannya sedikit terpinggirkan. Bahkan beberapa alat komunikasi macam telepon genggam tak menyediakan lagi fitur radio di dalamnya. Apakah memang radio sudah tergilas oleh zaman?

Saya kira jangan terlalu dini menilainya. Radio bukanlah alat komunikasi yang mudah dihilangkan. Radio bukanlah alat komunikasi yang mudah dilenyapkan. Apalagi diasingkan.

Keberadaan radio masih dibutuhkan untuk menangkal virus-virus hoax yang bertebaran. Kita merasa miris dengan berita hoax di ranah media sosial atau televisi namun kita tidak boleh pesimis jika berita tersebut didengungkan lewat radio. Karena kita selalu merindukan keberadaan radio. Seperti lirik Sheila On 7.

“Lewat Radio, aku sampaikan kerinduan yang lama terpendam”.

IMLEK

Bukalapak.com

Hari ini imlek.. Pada tahun 2017, bangsa Indonesia keturunan Tionghoa merayakan tahun baru imlek yang ke 14. Dibilang ke 14 karena baru tahun 2003, imlek secara resmi dirayakan (lagi) di Indonesia dan menjadi hari libur nasional. Tentunya, dalam jangka waktu 15 hari ke depan, kita akan disajikan lontong Cap Go Meh dan festival barongsai. 

Orang-orang Indonesia keturunan Tionghoa seperti saya patut berterimakasih kepada 2 orang. Pertama, kepada Gurunda Gus Dur karena telah mencabut Kepres yang “melarang” orang-orang Indonesia merayakan Imlek. Kedua, kepada Ibunda Megawati yang secara menjadikan Imlek sebagai hari libur nasional sejak tahun 2003.

Sebenarnya jadi orang Indonesia keturunan Tionghoa itu serba dilema. Kenapa? Misal begini, banyak dari kami menguasai hampir seluruh perusahaan swasta di Indonesia. Selalu saja disindir bahwa kami dianggap ingin menutup ruang gerak orang asli Indonesia. Kabar terakhir bahkan kami dianggap racun karena ingin memenuhi Indonesia dengan jumlah 10 juta orang.

Padahal ya ndak semuanya begitu.

Sejak awal orang-orang seperti kami memang dididik sejak kecil disuruh memilih kedua hal. Jadi pengusaha atau jadi akademisi. Kalo jadi akademisi ya harus ditekuni sejak kecil sampai dewasa. Jangan sampai putus. Begitu pula kalo bertekad mau jadi pengusaha. Ya harus kerja keras. Jangan sampai putus di tengah jalan.

Itulah mengapa kami selalu memiliki motivasi harus kerja keras. Bukan keras kerja. Itu lain cerita. 

Toh, meskipun begitu kami tetap cinta Indonesia. Jangan salah lho ya, kami tetap cinta ploduk-ploduk Indonesia. Muka atau kulit memang sudah dari sononya. Putih bengkoang. Tapi kalo jiwa ya tetap Indonesia. 

Buktinya sejak tahun 1932, kami juga berjuang membantu Indonesia menuju kemerdekaan dengan membentuk PTI (Partai Tionghoa Indonesia). Kami dikumpulkan bersatu padu untuk menjunjung tinggi Tanah Air Indonesia. Karena apa? Ya karena kami lahir di Indonesia dan sudah menjadi kewajiban bagi kami untuk berjuang.

Tapi memang cerita tak seindah kenyataan. Sempat dilarang oleh Orde Baru karena mungkin dianggap menguasai dan merusak seluruh kekayaan alam Indonesia. Ya sudah itu diterima saja. 

Selain itu, kami selalu dituduh memonopoli koran. Tidak hanya sehari dua hari melainkan berhari-hari. 1/3 halaman koran selalu memberitakan salah satu dari keluarga keturunan Tionghoa. Bahkan selalu dibuatkan serial khusus. Obituari.

Dan kami dianggap menggerus hak tanah milik rakyat pribumi. Bagaimana tidak dikatakan begitu? Wong, kalo meninggal makam dari keluarga kami bisa memenuhi lahan mereka. Jika diibaratkan, 1 lapangan futsal maka hanya sanggup didiami oleh 5-6 makam. Ya, kenyataannya begitu.

Kami juga dianggap membawa sial. Karena disaat kami berbahagia karena hujan membawa berkah di hari imlek. Namun di sisi lain, harga cabai menjadi rusak karena hujan terus menerus tiada henti. Duh.

Tapi memang harus diakui, sejak berakhirnya pilpres 2014, sentimen terhadap keturunan Tionghoa agaknya mulai berlaku kembali. Entah katanya Indonesia akan dikuasai kuminis. Kalo sudah kuminis, nanti barang-barang akan meniru sana. Kayak uang baru itu tuh. Wolah, kok ya jauh sekali. 

Dan memang jadi orang keturunan ndak enak. Kalo keturunan Tionghoa dianggap kuminis. Kalo keturunan Arab dianggap radikal. Yang enak cuma jadi keturunan Eropa. Semacam ada privilege tersendiri. Kayak pemain-pemain sepakbola kita.

Walaupun begitu sekarang kami masih bisa bersyukur. Sekarang mulai menikmati kehidupan dan diperbolehkan saling tukar kue keranjang dengan tetangga. Meskipun tetap, kue keranjang buatan kami masih disindir sebagian orang. Kenapa? Karena belum ada logo halalnya. 

Dan juga diperbolehkan menerima pembagian Angpao. Kalo beruntung, beberapa perusahaan juga membagikan angpao. Dan mungkin cuma angpao yang tidak dianggap gratifikasi. Bersyukurlah.

Nah, di tahun 2017, imlek menjadi tahun baru dengan simbol ayam api. Kalo menurut prediksi, buat yang sudah berkeluarga maka ini waktu yang paling tepat buat hamil. Kalo yang masih jomblo/single maka ini waktu yang paling tepat untuk menemukan pasangan. Atau mungkin teman bercinta. 

Imlek tidak hanya menghadirkan harapan namun juga menyatukan tujuan. Imlek tidak hanya memberi makna namun juga menerima rasa. Karena imlek patut dirayakan tidak hanya orang Indonesia keturunan Tionghoa namun juga untuk masyarakat Indonesia seutuhnya.

Selamat Imlek. Salam berkokok.

Benarkah kita munafik?

Kita yang ga suka Ahok akan terus menyebarkan berita keburukan Ahok. Yang ga suka FPI akan terus menyebarkan berita keburukan FPI. Kita harus jujur bahwa ucapan Ahok memang kasar dan tidak beraturan. Tapi kita jangan menutup mata kalo Ahok sudah melakukan sedikitnya perubahan ke arah lebih baik terhadap Jakarta. Kita harus jujur pula bahwa tingkah laku FPI kadang kasar bahkan menjurus brutal. Tapi kita jangan menutup mata bahwa FPI juga pernah melakukan tindakan-tindakan baik semacam pemberian bantuan gempa Aceh dan sebagainya. Bukankah begitu?

Kita mengecam bahwa ISIS bukan bagian dari Islam. Tapi, boleh percaya atau tidak mereka menggunakan ayat-ayat Al Qur’an sebagai dalil perjuangan mereka. Di satu sisi, (mungkin) Islam menunjukkan wajah kekerasan. Namun di Indonesia, justru sebaliknya. Hadirnya ormas macam NU atau Muhammadiyah menghadirkan bahwa Islam adalah ajaran perdamaian. Di sisi ini, Islam menunjukkan wajah keteduhan. Bukankah begitu?

Kita mengecam bahwa korupsi itu salah atau buruk. Tapi kita selalu membuat proposal dengan dana yang lebih besar agar jika kelebihan dana bisa menjadi milik kita sendiri. Kita mengecam orang-orang yang buang sampah sembarangan karena akan menyebabkan banjir. Tapi dari tahun ke tahun banjir selalu ada. Dan salah satunya karena sampah berserakan di sungai. Kita mengecam bahwa semua tayangan tv yang menampilkan belahan dada atau yang menunjukkan erotisme harus disensor tapi mengatur segala bentuk dan tempat prostitusi dalam hal peraturan. Bukankah begitu?

Kita mengecam bahwa merokok tidak baik karena membahayakan kesehatan. Tapi kita mengetahui bahkan menegaskan bahwa cukai rokok adalah pendapatan terbesar di Indonesia. Kita mengecam bahwa mengakses situs-situs porno merusak moral bangsa Indonesia. Tapi kita mengetahui bahwa Indonesia termasuk salah satu dari 5 negara besar di dunia dengan tingginya akses situs porno. Bukankah begitu?

Kita mengecam bahwa media sosial seperti facebook adalah buatan Yahudi. Itu haram. Tapi kita memakainya untuk bertegur sapa, bersua dan bertukar cerita dengan kawan-kawan lama. Kita mengecam bahwa Pizza Hut adalah produk Amerika. Itu kafir. Tapi kita sering mengonsumsinya bahkan pernah menggantungkan hidup dari perusahaan tersebut. Bukankah begitu?

Kita mengecam bahwa pemerintah Indonesia memiliki ketergantungan terhadap Tionghoa. Tapi kita sadar bahwa kita selalu bahkan pasti menggunakan produk yang terbuat dari Tionghoa. Kita mengecam bahwa menyuap adalah perbuatan ilegal. Tapi kita masih selalu mengulamg perbuatan tersebut dalam hal pembuatan KTP, SIM, Paspor bahkan akte kelahiran. Bukankah begitu?

Kita mengecam bahwa non-muslim tidak boleh jadi pemimpin nanti bisa jadi liberal. Tapi kita harus akui beberapa pemimpin dunia macam Finlandia bisa meminimalkan bahkan tidak ada kriminalitas di negaranya. Kita mengecam bahwa muslim jangan jadi pemimpin nanti bisa radikal. Tapi kita harus akui bahwa presiden Turki sangat baik meningkatkan daya saing dalam segi pariwisata. Bahkan Turki masuk ke dalam jajaran 10 besar negara dengan tingkat pariwisata terbaik di dunia. Bukankah begitu?

Kita mengecam bahwa menghambur-hamburkan uang adalah perbuatan sia-sia. Namun kita sering lupa dengan uang jika sudah melihat kata ‘SALE 70%’. Kita mengecam bahwa membuang waktu adalah sesuatu yang sia-sia. Tapi kita harus akui bahwa kita lebih sering terlambat daripada tepat waktu. Bukankah begitu?

Kita yang bilang bahwa pada tahun 2017 akan menjadi pribadi yang lebih baik. Namun kita masih saja melakukan fitnah dan menyebarkan berita hoax. Kita yang bilang bahwa isi televisi kini cuma sampah. Namun kita selalu menantikan serial persidangan Jessica bahkan Ahok yang tak kunjung usai. Bukankah begitu?

Kita selalu berkata sampai berbuih-buih busa bahwa Indonesia harus bangkit, bangkit dari ketertinggalan dalam bidang pendidikan. Tapi kita masih saja malas terutama membaca dan menulis. Kita mengecam dan marah jika ada negara lain mengklaim warisan budaya Indonesia. Tapi kita harus akui, kita jarang bertindak untuk mengelola warisan budaya Indonesia. Bukankah begitu?

Dan jangan heran jika Mochtar Lubis dalam pidato kebudayaan pada tahun 1977 menempatkan salah satu ciri manusia Indonesia yaitu munafik. Mencaci maki karena kesalahan orang lain. Namun menjilat ludah sendiri jika kesalahan serupa menimpanya.

Seperti Carloz Tevez. Pesepakbola yang mengkritik pesepakbola masa kini lebih memilih uang daripada menghargai potensi. Sialnya, kini ia lebih memilih mengejar uang untuk menjadi pemain sepakbola dengan bayaran termahal di dunia. Dan lebih sial lagi bahwa dia idola saya semasa membela Juventus. Duh.​

Memaknai Kecantikan Para Pria Korea

viral.kincir.com

Semenjak Descendants of the Sun berakhir, kaum hawa di Republik Indonesia yang tercinta ini sangat menunggu film drama Korea lainnya. Itu mengapa kehadiran film Goblin dan Legend of the Blue Sea menjadi semacam oase di tengah kegersangan hatimu suasana.

Kaum hawa akan kembali menikmati para aktor asal Korea Selatan yang warna kulitnya seperti keju meleleh, dan wajahnya menyerupai imajinasi tentang Arjuna. Para wanita rela menghabiskan waktu hingga beratus-ratus purnama demi larut dalam drama-dramaan sang idola via Youtube.

Serial yang berkelanjutan hingga belasan episode ini berdurasi sekitar satu jam per episode. Meski cukup lama, film Goblin dan Legend of the Blue Sea juga menjadi penyejuk ruangan yang panas akibat suhu fanatisme agama dan politik yang naik.

Alangkah menyenangkan, apabila linimasa media sosial dihiasi cuitan-cuitan para penggemar drama Korea. Seperti salah satu cuitan teman saya yang berkata, “Jika Tuhan memasukkan saya ke dalam neraka, setidaknya ijinkan saya memohon satu permintaan. Hadirkan aktor Goblin untuk tinggal bersama denganku, maka suasana neraka menjadi adem ayem.”

Waduh… Ekstrem bung…

Gimana coba? Segitunya cinta dia pada aktor Korea dalam film Goblin. Padahal, Goblin versi Barat sering diasosiasikan sebagai hantu jahat. Bahkan dapat dikatakan hantunya hantu.

Namun, dalam film tersebut, Goblin diperankan oleh sosok pria berwajah rupawan, berkulit putih, berkelakuan sopan, gemar menabur kebaikan, dan stylish. Ini jelas penistaan terhadap hantu.

Atau, jangan-jangan orang Korea sengaja ingin mengasosiasikan bahwa Goblin itu baik? Kalau begitu, bisa bahaya sekali. Jangan-jangan nanti akan muncul fatwa haram nonton drama Korea di Indonesia. Kan gawat…

Tapi rasanya itu tidak mungkin. Wong, penggemarnya hampir seluruh remaja putri berusia tanggung hingga mamah-mamah muda. Baik yang tanpa jilbab maupun yang berjilbab lebar, yang hobinya nongkrong di mal sampai yang hobi ikut kajian.

koalasplayground.com

Nah kan, drama Korea mampu menembus sekat-sekat dan bisa menjadi alat pemersatu umat. Kalo sudah begini, mana mungkin fatwa akan turun? Jelas, ‘the power of emak-emak’ akan lebih efektif dan efisien. “Kalo lo stop drama Korea, kelar masalah dapur lo!” Ibarat slogan, ‘Only God can stop the power of emak-emak’.

Drama Korea memang sudah merasuki jiwa kaum hawa, baik yang jomblo maupun yang sudah menikah. Termasuk istri saya sendiri. Seringkali saya merasa jengkel. Bangun pagi bukannya kecup pipi, tapi nonton si Goblin. Mau tidur bukannya peluk-pelukan, tapi malah nanggung mantengin si Goblin.

Saya pun heran, apakah kaum hawa di NKRI ini sudah tenggelam dalam benak pikiran bahwa kulit putih dan wajah rupawan adalah hal mutlak yang harus dimiliki pria?

Atau, bibir yang diolesi lipstik berwarna merah atau pink dan jari yang sedikit lentik sudah menjadi standar bahwa pria modern harus seperti itu? Atau mungkin pria modern adalah pria ‘cantik’?

Kalo benar begitu, berarti budaya pop di Indonesia sedang bergeser. Dulu, pria jantan diasosiasikan sebagai pria kekar dan berkulit sawo matang. Tampaknya sekarang standarnya berbeda. Era kekinian banyak pria yang berlomba-lomba merawat tubuhnya di salon. Di beberapa kota besar bahkan sudah ada salon dan spa khusus pria.

Dulu, setahu saya, pria hanya merawat wajah sebatas cukur kumis, jenggot, dan rambut kepala. Sekarang sudah ada sulam alis dan sulam bibir bagi pria. Kenyataannya memang terjadi bagi pria yang ingin mendapatkan label pria metroseksual ala Korea.

Istri saya sempat menawarkan perawatan agar memiliki wajah mulus seperti aktor Korea. Saya pun mengiyakan. Saya mencoba tawarannya dengan membersihkan komedo. Dan, rasanya luar biasa. Kalau dulu ada moto ‘beauty is pain’, maka hal serupa bisa terjadi pada pria. ‘Handsome is pain’.

hancinema.net

Saya benar-benar tak membayangkan para aktor Korea yang sangat menjaga wajahnya agar selalu terlihat mulus. Mungkin mereka mengalami rasa sakit juga. Atau, justru ‘sengaja’ menikmati kesakitan demi meraih dan menjaga popularitas? Mungkin iya, mungkin tidak.

Tapi, kenyataannya, pria-pria Korea yang sudah memasuki usia 20 tahun mulai rajin pergi ke tempat perawatan wajah dan tubuh. Bahkan, sekalipun di Korea itu memiliki peraturan wajib militer bagi pria.

Beberapa produk kosmetik di Korea pun menyesuaikan dengan situasi dan kondisi. Mereka menciptakan produk kosmetik bagi pria yang sedang menjalankan wajib militer. Hasilnya? Laris manis.

Dan itu sedikit demi sedikit mulai menggerayangi benak para pria di Indonesia. Jika dirasa produk kosmetik khusus pria mahal, para pria justru beralih ke produk kosmetik wanita. Percayalah, pasti dari sekian teman-teman kamu, ada yang menggunakan produk kosmetik wanita.

Jangan kaget jika di kemudian hari, ada drama film Indonesia yang menyajikan pria Indonesia ala-ala Korea. Toh, sekarang zamannya sudah terlanjur begitu. Pertanyaannya adalah: “Kita harus menyerupai era kekinian atau kembali ke masa lampau? Memilih jadi pria modern atau konvensional?”

Ah, menjadi ganteng tampaknya adalah sebuah kesia-siaan.

Tulisan ini dimuat di voxpop.id tanggal 12 Januari 2017.

Dari Kinanthi untuk Penikmat Kopi

Prasasti Kinanthi
Prasasti Kinanthi | © Moddie Alvianto Wicaksono

Yogyakarta adalah salah satu kota yang memiliki ratusan kedai kopi. Selain Bandung dan Jakarta, Jogja cukup asyik bagi siapa saja yang hendak menikmati dan melepas penat di kedai kopi. Jalan Kaliurang adalah salah satu kawasan yang memiliki banyak kedai kopi. Kedai Kopi Kinanthi adalah salah satunya, kedai kopi terbaik yang ada di daerah tersebut —pandangan saya pribadi lo.

“Jika kamu membutuhkan suasana minum kopi yang hening, datanglah ke Kinanthi.” Begitulah kata Samid, salah satu sahabat saya yang kini menjadi pelanggan setia Kedai Kopi Kinanthi.

Perkataannya memang benar. Meskipun terletak di jalan kaliurang yang notabene kawasan ramai dan padat, Kinanthi menawarkan keheningan dalam menikmati secangkir kopi. Letaknya tepat di depan asrama mahasiswi UGM. Dinamakan Kedai Kopi Kinanthi karena kedai tersebut berada di dalam gang kinanthi.

Ada meja panjang dengan kursi yang saling berhadapan. Tampaknya di lantai satu ditata dan dibuat untuk aktivitas rapat dan juga tempat bernostalgia. Naik ke lantai dua, terpampang semacam prasasti di sebelah tangga pada pijakan pertama. Isinya penegasan, kedai kopi Kinanthi adalah tempat minum kopi. Bukan ngopi! Kata yang seringkali diucapkan penikmat kopi untuk mensubstitusi padanan kata minum kopi menjadi ngopi.

Di lantai dua ini, kamu akan menemukan kursi dan meja panjang. Serupa dengan lantai satu tapi ukurannya lebih kecil. Di lantai dua banyak didominasi oleh anak-anak muda untuk bersua, bertegur sapa, tersenyum mesra, maupun tertawa bahagia.

Suasana malam di Kinanthi
Suasana malam di Kinanthi | © Moddie Alvianto Wicaksono

Kedai kopi Kinanti memiliki sebuah motto: “Mengedukasi penikmat kopi”. Berdiri sejak 15 April 2016, pemiliknya adalah Pak Dul. Beliau ingin memberikan sensasi minum kopi yang berbeda kepada seluruh pengunjung kedai ini. Di tempat ini pula, kamu akan menemukan berbagai macam varian kopi yang berbeda dari tempat biasanya.

Ada Es Kopi Kubus; campuran dari susu putih yang dipadu dengan es balok yang terbuat dari kopi. Rasanya sangat menyegarkan di kerongkongan. Ada pula Arabica Green Coffee yang dikhususkan bagi kamu yang sedang diet. Wanginya semerbak dan rasanya sungguh unik.

Bagi anda penyuka kopi lokal, disinilah tempatnya. Bermacam-macam kopi lokal tersaji di kedai kopi Kinanthi. Ada Bajawa, Ciwidey, Temanggung, dan masih banyak lainnya. Mau minta dibuatkan tubruk? Bisa! V60? Bisa! Dan jangan salah, jika biasanya barista kedai kopi adalah anak-anak muda maka di Kinanthi akan langsung diracik si empunya; Pak Dul.

Harganya bervariasi mulai dari 10 ribu hingga 20 ribu. Kamu pun bisa juga menikmati minuman selain kopi seperti teh maupun smoothies. Untuk kudapan, Kinanthi menyediakan aneka macam; mulai dari kentang goreng hingga roti bakar aneka rasa.

Menu Kopi Pagi
Menu Kopi Pagi | © Moddie Alvianto Wicaksono
Kopi Tubruk Temanggung
Kopi Tubruk Temanggung | © Moddie Alvianto Wicaksono

Kedai kopi Kinanthi buka setiap hari, dari pukul 16.00 hingga menjelang dini hari. Bagi pecinta minum kopi pagi, sebaiknya kamu datang ke Kinanthi pada hari Selasa dan Sabtu. Kinanthi buka dari pukul 05.30 sampai 08.30 pagi.

Pengunjung kedai ini kebanyakan adalah mahasiswa. Mereka menghabiskan malam dengan mengerjakan tugas, skripsi, maupun tesis. Kadang pula mereka menikmati pagi dengan secangkir kopi panas.

“Gue kalo ga ke Kinanthi ga bisa ngerjain tesis mas.” ujar Levi, salah satu mahasiswa UGM yang kini menjadi pelanggan tetap Kinanthi.

Ya. Kinanthi memang sengaja didesain untuk membuat manusianya bertahan lama di tempat tersebut. Terkadang kenikmatan kopi tidak hanya berasal dari kopi itu sendiri. Mungkin juga berasal dari kenyamanan tempat yang disediakan.

Namun, Kinanthi berbeda, sajian kopi dan ruangan menjadi satu keutuhan yang saling membaur dan mendukung. Di kedai kopi Kinanthi kita tidak hanya menikmati kopi namun juga teredukasi.

Tulisan ini dimuat pada situs minumkopi tanggal 6 Januari 2017.

Tawa, Canda, dan Bahagia di Tahun Baru

Di seluruh dunia bahkan di Indonesia, tahun baru selalu dihadirkan secara semarak. Kembang api bertebaran, petasan dibunyikan maupun terompet ditiupkan. Riuh orang akan berkumpul dalam satu titik yang kemudian akan berteriak bersama. Selamat Tahun Baru. Begitulah ucapannya.

Tetapi kami menikmati tahun baru dengan cara yang lain. Sejenak kami ingin memalingkan keriuhan Jogjakarta dengan menepi untuk menyesap keheningan di DolaNdeso. Sebuah tempat yang menyajikan suasana pedesaan di daerah Kulonprogo.

Kami berjumlah 21 orang bersepakat menuju DolaNdeso pada sabtu siang. Ini dilakukan demi menghindari keramaian maupun kemacetan. Kami adalah saya, istri, Kang Amal, Teh Nipong, Mbak Desti dan Teuku Nico. Selain itu ada sekumpulan pemuda-pemudi yang tergabung pada salah satu butik terkenal di Indonesia. Reisa Garage. Bunda Reisa, Ayahanda Aham, Hiday, Aprisa, temannya Aprisa, Vero, Jara, Atin, Ana, Dika, Didik, Yodi, Joshua, Angga, Tika, dan Wak Komar.

Di DolaNdeso, kami sengaja memilih tempat yang paling ujung. Tempat yang terhindar dari keramaian sehingga kami bisa melepaskan zat endorphin secara teratur. Tidak sulit bagi kami untuk melakukannya. Karena begitu sampai di tempat yang kami pilih, hamparan danau buatan berisi daun teratai dan tanah yang lapang menjumpai pandangan mata kami.

Di sisi selatan, terdapat wahana outbound yang berjumlah 10 macam. Disana kami saling mencoba satu persatu. Ada Joshua yang terpeleset ketika melewati seutas tali. Ada Didik yang secara sengaja menceburkan seluruh badannya ke dalam air ketika bermain Flying Fox. Ada pula Aham yang secara tidak sengaja mengalami ‘kecelakaan’ bersama Reisa sehingga mereka tenggelam di danau asmara.

Malam sembari menanti pergantian tahun baru, kami berkumpul di pelataran Ombo. Duduk melingkar sembari mengucap janji dan harapan untuk tahun 2017. Ada yang berharap segera menikah. Diberikan momongan. Ingin menjadi lebih baik. Ingin menjadi lebih beruntung. Kalo awak-awak Reisa Garage, harapannya semua sama. Kenaikan gaji atau mendapatkan tunjangan yang lebih baik.

Semoga Ayahanda Aham dan Bunda Reisa senantiasa mendengarkan dan mengabulkan. Mungkin.

Setelah itu kami yang terbagi 4 tim menyanyikan pelbagai lagu. Aham menyanyikan lagu milik Geisha. Kemudian Atin menyanyikan lagu berbahasa Inggris. Saya agak lupa. Sepertinya Taylor Swift. Desty menyanyikan lagu Andeca-andeci. Dan last but not least, Didik menyanyikan lagu Terlalu Manis milik Slank.

Di sisi lain, para mamah-mamah muda menyiapkan berbagai kudapan untuk disajikan dan dinikmati. Ada tempura, jagung, sosis, dan roti. Meskipun mulanya sedikit kesulitan untuk membuat api di anglo. Tapi berkat keahlian dan ketekunan Kang Amal, Mas Angga dan Ayahanda Aham maka segala permasalahan terselesaikan.

Makanan matang. Beberapa dari kami mulai menikmati aneka macam kudapan. Tak berapa lama, petasan dan kembang api mulai menyeruak dan memenuhi cakrawala. Para awak-awak Reisa Garage macam Yodi dan Didik tak mau ketinggalan. Lari menuju sawah dan segera membakar petasan.

Duar. Duar. Duar. Suara dari petasan memekikkan telinga. Berkelindan menjadi satu hingga membentuk suara yang beraneka macam. Sejenak kami sempat dimarahi oleh Pak Gondrong. Tapi kami tak kunjung kehilangan akal. Berlari cepat menuju mobil dan kembali meledakkan petasan di tengah sawah.

Semoga suara dari petasan tersebut menandakan tahun 2017 akan lebih berarti bagi kami. Setelah itu, kami tertidur pulas hingga beberapa dari kami pun mendengkur lumayan keras.

Esoknya, kami bersiap menuju danau asmara. Sebagian awak-awak Reisa Garage yang masih berbau kencur segera bergelut dengan lumpur di tempat tersebut. Kami para sesepuh tampak harus bergantian dengan remaja masjid Condongcatur yang kebetulan juga memenuhi danau asmara.

Toh begitu mereka usai, kami pun tak luput untuk menceburkan diri. Mencoba rintangan dan halangan satu demi satu. Mata desty mencoba menyirobok tatapan Nico. Ya. Mereka mencoba mengikatkan batin dan pikirannya untuk melewati bambu romansa. Sayang, akibat teriakan dari mamah-mamah muda membuyarkan konsentrasi mereka. Desty terjatuh.

Setelah hampir 1 jam lebih, kami bersih diri. Tak lupa kami memercikkan kenangan dengan foto bersama di pendopo DolaNdeso. Mengucapkan terima kasih kepada mbak Wita selaku pengelola DolaNdeso. Kemudian kami beranjak menuju destinasi berikutnya.

Destinasi selanjutnya adalah Hutan Mangrove dan Pantai Pasir Mendit.

Disini animo pengunjung luar biasa. Hari-hari biasa hanya berkisar 200-300 pengunjung. Namun menurut info yang saya dengar, hari minggu itu pengunjungan mencpai 10x lipat. Hampir 2000 orang.
Wisata yang baru dibuka pada awal tahun 2016 memang tergolong langka bagi masyarakat Jogjakarta. Ya. Seumur-umur saya berpijak di tanah Jogjakarta, baru kali ini mengunjungi hutan mangrove.

Ekspektasi saya melayang kemana-mana. Menganggap hutan mangrove seperti di Kalimantan maupun Sumatra yang sangat indah. Anggapan saya sedikit salah. Tak sedikit pula yang kecewa. Termasuk Fero dan Jara. Pada Maret 2016, dulunya hutan mangrove tak seramai ini bahkan jalan masuknya sudah berbeda. Kalo sekarang lebih rumit dan jarak tempuh lebih panjang.

Kalo Jara menganggap tempatnya biasa saja. Toh, masih bagus yang ada di Balikpapan. Setidaknya ini menjadi pekerjaan rumah tidak hanya bagi pemerintah melainkan juga masyarakat yang menikmatinya. Terlihat masih banyak sampah berserakan.

Harga tiket tergolong murah. Hanya 4 ribu rupiah. Dan harga tersebut sepadan dengan fasilitas yang diberikan. Kami melewati taman cemara. Kemudian mengekor untuk saling menahan nafas.

Ya, itu kami lakukan karena harus melewati jembatan cinta. Sejatinya namanya kurang tepat. Seharusnya jembatan goseng. Goyang dan Senggol.

Sebelum melewati jembatan goseng, kami ingin menikmati naik perahu di sungai ‘Amazon’. Saya bisa berkata begitu karena memang mirip. Cuman ndak ada buaya dan piranha. Hanya ikan darat. Tapi toh tetap saja beberapa dari kami agak tegang untuk menikmati perahu tersebut. Bayang-bayang buaya dari pantai Congot sedikit menghiasi pikiran kami. Untungnya itu tak terjadi di sungai ini.

Berikutnya kami melewati jembatan cukup aduhai nan membuat jantung bedegup kencang.

Betapa mengerikannya. Tak ada pegangan bagi kami yang menuju pantai. Satu per satu kami melewatinya. Sensasi goyang dan angin kencang mewarnai perjalanan yang begitu riang. Dan saya pun sempat melamun. Membayangkan anak-anak SD yang tempo hari harus berjalan melewati jalan terjal dan jembatan yang hanya bisa dilewati dengan ke-enam jemari kaki. Dan itu terjadi di Indonesia.

Sesampai di pasir mendit, saya, istri, Kang Amal, dan Teh Nipong bergegas menuju ke pinggir laut. Menikmati deburan ombak dan sayupan angin yang berhembu dari timur ke barat. Kalo kata istri saya, tidak sah apabila ke pantai tidak terkena air laut. Dan itu kami lakukan menjelang air pasang sekitar pukul 16.16.

Menjelang jam 5 sore, kami beranjak. Melewati kembali jembatan goseng dengan hati-hati. Dan tiba di tempat parkir dengan selamat sentausa.

Bahagia dalam keintiman perjalanan adalah hal yang harus dilakukan manusia ketika raga dan jiwa masih sehat. Karena perjalanan adalah alasan mengapa bahagia itu diciptakan.

Menepi untuk Menyesap Segelas Kopi Klothok

Pemandangan bagian belakangPemandangan bagian belakang Kopi Klothok | © Moddie Alvianto Wicaksono

Awan mendung menggelayut di langit tak menyurutkan keinginan saya dan beberapa untuk menyusuri jalan Kaliurang, Yogyakarta. Oleh salah satu tetangga sebelah rumah, kami disarankan untuk mengunjungi sebuah warung kopi di daerah tersebut. Letaknya dekat salah satu kampus swasta ternama di Yogyakarta. Katanya, warung kopi tersebut pas untuk dikunjungi orang-orang yang ingin sekadar menjauhi keriuhan Yogyakarta.

Benar sekali. Yogyakarta kini memang sangat ramai. Terutama di saat-saat liburan sekolah. Berjubel bus dan mobil pribadi dari luar kota hampir memenuhi seluruh tempat-tempat wisata. Mulai pantai, gunung, warung makan, maupun warung kopi. Tak terkecuali warung kopi yang akan kami tuju.

Kopi klothok, demikian namanya. Jangan salah menyebut huruf “o” dengan diganti “a”. Karena jika diganti “a” maka akan menjadi sejenis sate kambing asal daerah Imogiri, Yogyakarta bagian selatan: sate klathak.

Tak sulit untuk menemukan lokasi penjual kopi klothok ini. Papan-papan dengan tulisan ‘kopi klothok’ cukup jelas dengan latar belakang warna kuning. Jika Anda berjalan dari arah selatan maka Anda akan menemukannya tepat di sebelah kanan. Jalan masuknya cukup sempit. Jika menggunakan mobil, maka harus bergantian satu dengan yang lain.

Begitu sampai di tempat, puluhan mobil tertata rapi memnuhi area parkir. Begitu pula dengan sepeda motor. Benar kata tetangga saya. Warung kopi yang buka dari jam 8 pagi sampai jam 5 sore ini memang tak pernah sepi pengunjung. Termasuk senja di Selasa sore itu.

Kopi Klothok di tengah kami
Kopi Klothok di tengah kami | © Moddie Alvianto Wicaksono

Ada dua rumah yang bisa digunakan sebagai tempat bersantai. Bagi yang ingin dekat dengan keriuhan dan keramaian, maka pilihlah tempat yang penuh dengan perabotan berbahan material kayu. Namun jika ingin agak menyepi, maka tersedia tempat yang bahkan bisa membuat Anda tertidur di tempat tersebut.

Kami sengaja memilih tempat yang ramai. Sengaja ingin berbaur muda-mudi, bapak-ibu sampai kakek-nenek. Sayang, hari itu kami tak mendapati kursi di depan, ahirnya kami pun menempati tempat lesehan. Letaknya di luar dengan menghadap hamparan sawah dan sungai. Mengambil dan menggelar tikar dekat dengan kurungan burung pipit. Sejenak mengamati goyangan rumput dan mendengar kicauan burung-burung yang bersahutan. Syahdu? Ya, mungkin diksi itu yang paling tepat menggambarkan suasana senja itu.

Bagaimana tidak, hamparan sawah hijau menjadi pemandangan kami, semilir angin menerpa muka-muka lelah. Sejenak kami terbebas dari polusi, telinga diperdengarkan tawa-tawa bahagia orang-orang bercengkrama. Mereka khidmat menikmati kopi dan sajian pelengkap berupa pisang goreng yang nikmatnya tiada dua, belum lagi suara sendok yang beradu dengan piring dari para penikmat sayur lodeh yang konon menjadi menu andalan di sana.

Semua makanan diambil sendiri oleh pengunjung. Bebas sebebasnya. Kalo perlu ambillah sebanyak-banyaknya. Jangan sampai ada yang terlewat. Untuk menikmati pisang goreng dan jadah maka Anda harus antri terlebih dulu. Kami pun rela mengantri demi seporsi pisang goreng dan seporsi jadah.

Nyesss. Hangatnya pisang goreng langsung mendarat di mulut saya. Meski panas, kami menyantap dengan lahap beserta dengan remah-remahnya. Kopi kami seduh sedikit demi sedikit. Sungguh nikmat rasanya. Tak rugi, kami beserta rombongan jauh-jauh melewati kemacetan Jogja demi menyantap segepok pisang dan secangkir kopi.

Kami kemudian tergerak untuk segera mencicipi sayur lodehnya. Mulut kami sampai klomohklomoh menyantapnya. Rasanya mantap surantap. Apalagi ditambah dengan tempe goreng yang bentuknya sama persis dengan ukuran tangan saya.

Macam-macam Lodeh
Macam-macam Lodeh | © Moddie Alvianto Wicaksono
Pisang Goreng dan Tempe
Pisang Goreng dan Tempe | © Moddie Alvianto Wicaksono

Usai menyantap semua sajian itu, ada beberapa macam makanan dan minuman yang menurut saya menjadi andalan: kopi klothok, pisang goreng, jadah, dan lodeh. Ada tiga macam lodeh yang tersedia. Tapi saran saya, sekali lagi jangan pernah melewatkan untuk tidak makan lodeh tersebut.

Harga yang ditawarkan di warung ini juga menjadi magnet dari warung kopi klothok. Hal inilah yang mungkin menarik puluhan bahkan mungkin ratusan pengunjung setiap harinya. Tak hanya pengunjung lokal, tapi mulai artis, seniman, budayawan, bahkan menteri pernah singgah di warung ini.

Dan tak heran, warung kopi klothok akan menjadi destinasi favorit bagi wisatawan dalam negeri maupun mancanegara. Kami sudah merasakan syahdunya di Kopi Klothok, kamu kapan?

Artikel ini telah dimuat di minum kopi pada 28 Desember 2016.

Merasa Beruntung Menjadi Minoritas

mirifica-net-ok

[Ilustrasi] mirifica.net

Setelah bercerita tentang keluarga yang cukup njlimet dan mbulet, rasanya kok saya ingin sedikit berbagi cerita tentang rasanya hidup sebagai keluarga minoritas.

Sejak kecil, saya hidup di lingkungan minoritas. Kalau di Indonesia, minoritas itu kan berarti non-muslim. Tapi yang terjadi di sini adalah sebaliknya. Ya, ketika kami sebagai muslim menjadi minoritas di lingkungan perumahan.

Rata-rata tetangga saya adalah orang-orang Tionghoa beragama Kristen. Malah hampir sebagian besar di perumahan ini. Depan, belakang, kiri, kanan, bahkan serong kiri agak menjorok ke bawah, semuanya adalah orang Tionghoa.

Tapi ya gitu. Kalau ada teman-teman yang berkunjung ke rumah, pasti selalu salah tempat. Mungkin karena saya sedikit ada muka Tionghoa – walaupun cuma mata – teman-teman saya sering nyasar ke rumah sebelah. Dan, yang lebih menggelikan, mereka selalu mengatakan bahwa saya lebih pantas jadi anak rumah sebelah daripada di rumah sendiri. Waduh.

Di lingkungan ini, saya baru mengerti apa itu sikap menghargai dan menghormati antar sesama pemeluk agama. Rasanya suatu sikap yang agak terkikis pada akhir-akhir ini. Tapi masih ada kok yang masih memelihara sikap tenggang rasa antar sesama.

Dulu, kami tak punya masjid. Kalaupun mau beribadah, kami harus menyeberang ke kampung sebelah. Nggak jauh sih, tapi agak berbahaya bagi bapak-ibu yang sudah renta. Sebab, mereka harus menyeberang di jalanan, dimana mobil dan motor berseliweran cukup kencang. Akhirnya, kami mengadakan rapat untuk berunding.

Kami berpikir untuk mewujudkan tempat beribadah sepertinya agak rumit. Toh, kami sadar, kami adalah minoritas. Tugasnya ya menghormati mayoritas. Sudah diberi keleluasaan tempat tinggal kok minta lebih. Apalagi ini mintanya tempat ibadah. Duh…

Namun di luar dugaan. Akhirnya masjid boleh didirikan. Bahkan yang unik, mereka pun ikut memberikan bantuan. Mulai dari member kudapan, makanan, bahkan tak jarang sedikit pendanaan. Ah, rasanya senang sekali. Saya sampai berpikir, ternyata mereka tak seperti yang dikatakan oleh orang di luar sana.

Itu soal masjid. Setelah masjid sudah berdiri, ada lagi yang unik. Tentang adzan. Ya, kebetulan di lingkungan kami, ada seorang ustadz keturunan Arab. Kalau sudah adzan, duh rasanya hati mak adem mak nyess. Sungguh indah dan merdu suaranya.

Ternyata yang beranggapan seperti itu tak hanya kami, melainkan mereka orang-orang Tionghoa. “Mas, itu sapa sih, kok adzannya bagus banget? Tiap subuh saya jadi bangun cuma pengen denger suaranya,” ujar ibu di sebelah rumah saya.

Saya pun kaget mendengarnya. Saya pikir mereka justru marah atau merasa terganggu. Apalagi ibu tersebut jarak rumahnya hanya selemparan bola bekel dari masjid. Ternyata tak hanya ibu tersebut, banyak mengakui keindahan dan merdunya suara ustadz tersebut.

Tenang. Ini bukan pendangkalan akidah. Sama sekali bukan. Hanya ingin sebatas memuji dan mendengarnya.

Saya juga memuji bagaimana ketika mereka berkumpul dalam suatu malam. Bernyanyi, bernyanyi, dan bernyanyi. Terkadang saya curi dengar dengan duduk jongkok di samping pagar, sambil ngunyah lolipop. Kadang mengikuti mereka bernyanyi. Walaupun tentu saja suara saya sebatas pecahan gelas kaca. Tak lebih dari itu.

Dan, sekali lagi, ini bukan lantas iman saya menipis. Oh tidak. Wong, suara mereka memang asyik didengar kok. Hanya mendengar suara mereka bernyanyi, mosok sampe dianggap penurunan iman.

Nah, kalau Natal sudah tiba, biasanya beberapa tetangga dikirimi kue dan aneka macam kudapan, termasuk keluarga kami. Apalagi ibu saya. Ibu saya sangat bersahabat dengan mereka. Bahkan sudah dianggap saudara sendiri. Ibu sepertinya jadi orang paling sering diberi kue aneka macam.

Terkadang saya nggak ngerti kenapa banyak orang benci sama Tionghoa. Rasanya sih berlebihan, kalau melihat kehidupan mereka di lingkungan ini. Saling melindungi dan menghormati.

Toleransi tercipta karena kami sadar bahwa hidup tak sendiri. Manusia adalah makhluk sosial. Membantu sesama, menghargai, dan menghormati adalah kewajiban manusia. Kalaupun kami tak saudara se-iman, maka kami adalah saudara atas kemanusiaan. Bukankah indah hidup damai tanpa memberi stigma mana baik dan buruk?

Toh, semuanya kembali kepada Tuhan. Mau baik dan buruk yang tahu juga Tuhan. Kita kan hanya mencoba. Mencoba dan terus mencoba untuk berbuat baik. Alangkah indahnya hidup berkelindan tanpa ada jelaga antar sesama manusia.

Alangkah menyenangkan apabila kita selalu menebar salam damai kepada siapapun. Karena kasih dan kebermanfaatan selalu menyertai kita semua. Dan, mari kita hidup selalu menghormati dan menghargai, bukan membenci apalagi melukai.

Seperti yang dikatakan Hans Kung, “Tak ada perdamaian dunia tanpa perdamaian antar agama. Tak ada perdamaian antar agama tanpa dialog antar agama.”

Artikel ini dimuat di voxpop.idmirifica-net-ok pada 26 Desember 2016