HONGIB(I)

Saya tak pernah benar-benar ingat kapan pertama kali mengucapkan kata hongib. Namun, yang jelas, kata hongib pertama kali terdengar oleh telinga saya saat melakukan pengejaran lawan bersama teman-teman.

“Awas, hongib di belakangmu.”

Ketika mendengarnya, saya tak paham maksud dari kalimatnya. Hongib? Apa itu?

“Itu lho di sana.” Ia berbicara keras sembari telunjuknya menunjuk ke belakang dan hampir mencolok mata sipit saya.

Saat menoleh ke belakang, saya baru sadar. Sesosok pria dengan berbaju warna susu murni nasional mengayunkan tangan kanannya dan menghujam bagian atas helm saya.

“Praakkk.” Begitu bunyinya. “Hayooo, pulang, ndakkk!!!”

Beruntung, meski suara pukulan terbilang metal di telinga, helm BMC masih melindungi kepala saya dengan aman. Bahkan, tidak ada lecet sedikit pun di helm saya.

Kami lolos dan segera kembali ke markas. Setelah kejadian tersebut, saya baru paham apa itu hongib.

Jika kamu pernah mempelajari aksara Jawa, pasti tidak asing dengan kata ha-na-ca-ra-ka; da-ta-sa-wa-la; pa-dha-ja-ya-nya; ma-ga-ba-tha-nga.

Ya, kata tersebut pada era saya mudah ditemukan di Pepak Basa Jawa. Letaknya selalu di sampul bagian belakang. Aksara yang agaknya jika dituliskan, harus pemah lembut dan penuh lika-liku, menurut saya.

Nah, kata hongib sebenarnya berasal dari aksara Jawa. Jika orang Malang mengenal bahasa walikan seperti Ngalam, Uhat, Komes, Kane hingga Nendes Kombet, orang Jogja pun memilikinya namun dengan penyebutan yang unik. Contohnya: Hongib.

Jika bahasa walikan Malang hanya dibalik susunan hurufnya, bahasa walikan Jogja berpola lompat mengacu aksara Jawanya.

Bingung? Coba kamu ambil kertas dan pulpen.

Kamu tulis dulu aksara jawa menggunakan huruf abjad. Jangan belagu untuk mengingat-ingat. Tulisan lebih ampuh dari sekadar ingatan.

Kemudian, sebelum memasuki kata hongib, saya memulainya dengan kata yang paling mudah yaitu DAGADU.

Jika kamu pernah ke toko Dagadu di Jogja, akan melihat kata tersebut beserta simbol mata. Maksudnya apa? Karena DAGADU berarti MATAMU. Polanya begini. DA ke MA, GA ke TA, dan DU ke MU.

Inti dari rumus ini adalah melompat ke baris selanjutnya sebanyak dua kali. Entah itu ke atas atau ke bawah. Baris pertama ke baris ketiga, begitu juga sebaliknya. Baris kedua ke baris keempat, begitu juga sebaliknya.

Kalo sudah paham, coba tebak apa arti HONGIB?Ya, benar sekali. HONGIB berarti POLIS(I). Semestinya kata yang benar adalah HONGIBI. Akan tetapi, demi efisiensi pengucapan, yang sering dilontarkan adalah mengurangi huruf I pada bagian akhir kata. Jadi tahu, kan?

Setelah memahami pola aksara Jawa, dan dengan walikannya, maka mudah bagi kami untuk memberi tanda kepada teman-teman.

“Dosing hongib!!”

Dosing berarti mobil (Coba cek lagi polanya). Kalimat tersebut menggunakan tanda seru maksudnya berarti hati-hati dengan mobil polisi. Entah untuk mengamati kami karena kerumunan atau hendak menilang kami.

Akhirnya, kata-kata tersebut acapkali digunakan kami untuk mengelabui mereka. Kadang berhasil karena mereka tak mengerti kalimat yang kami ucapkan. Kadang gagal karena ternyata mereka adalah akamsi.

Ketika melihat trending akhir-akhir ini di medsos sebelah, setelah saya amati, tidak ada satu kata pun (atau ternyata terselip dan saya belum membacanya) yang menggunakan hongib. Baik itu bernada negatif maupun positif.

Barangkali, kata hongib terkena gejala sripah alias menjelang punah. Menurut saya, ini mengkhawatirkan. Semestinya kata tersebut dilestarikan. Demikian pula dengan kata-kata lainnya. Seperti sahan, pisu, lodse dan lain sebagainya. Toh bisa buat guyon bagi orang-orang di Jogja.

Maka dari itu, agar tetap lestari, cobalah mengucapkan kalimat ini dengan penuh semangat:

“Woy, pabu sacilaaatt!”Kalo mereka bereaksi, dan melakukan tindakan, itu namanya sesuai prosedur.

VAKSIN

Unsplash by Daniel Schludi

Pertengahan bulan Juli 2021, pemerintah Indonesia mengubah target untuk capaian vaksin. Jika sebelumnya sekitar 1 juta suntikan per hari, saat ini mencoba sampai 2 juta suntikan per hari.

Mungkinkah?

Jika mengacu data terakhir di Kementerian Kesehatan, tampaknya bisa terjadi. Pada Sabtu 26 Juni 2021, hampir sebulan yang lalu, pemerintah melewati target dengan lebih baik. Sekitar 1,3 juta suntikan per hari bisa dilakukan. Tentu saja itu kabar yang sangat menggembirakan.

Oleh karena itu, ketika seminggu yang lalu, 16 Juli 2021 vaksin AstreaZeneca (AZ) dipasok lagi sebesar 1.041.000, wajar pemerintah optimis. Apalagi, sampai pada tanggal itu, total vaksin yang dimiliki sebanyak 141.315.880. Optimisme ini patut dijaga karena dari hari ke hari semakin banyak orang yang mau divaksin.

Terlepas dari kemanjuran vaksin AZ dalam menangkal Covid-19, baru-baru ini sebuah perusahaan biofarmasi Medicago di Kanada merilis uji klinis. Uji tersebut barangkali bisa dipertimbangkan.

Medicago menggunakan Nicotiana Benthamiana, sejenis daun perdu (?). Namun bagi mereka lebih dikenal sebagai kerabat tembakau, bioreaktor yang berfungsi memproduksi partikel mirip virus Covid-19. Iya, mirip virusnya. Jadi, yang ditiru adalah arsitektur virusnya. Tapi, ini diklaim tidak menular.

Vaksin tersebut direncanakan bernama CoVLP Sars-Cov-2. Nama yang sungguh sulit diucapkan lidah Jawa seperti saya. 

VLP, demikian mereka menyebutnya, menghadirkan antigen ke sistem kekebalan tubuh. Kemudian, timbul respons imun yang protektif dan tahan lama. Oleh karena meniru aslinya, kemungkinan sistem kekebalan tubuh telah mengenalinya.

Sebagai orang yang awam akan istilah medis, tentu saja ketika membaca berita itu, saya nggumun. “Ternyata bisa begitu, ya, vaksin. Bisa kayak mata-mata.” Serupa tapi tak sama.

Sejauh ini, Medicago telah berhasil memasuki uji tahap kedua. Mereka mengklaim bahwa vaksinnya mampu memperbaiki imun seseorang 10x lebih tinggi. Tidak ada efek samping yang parah. Hanya ringan dan itu pun waktunya singkat.

Selanjutnya, mereka sedang menguji di tahap ketiga yang telah berlangsung sejak Mei 2021. Mereka mencoba sedikitnya 30.000 orang di Amerika Utara, Amerika Latin, dan Eropa. Mengapa tidak sampai ke Asia? Saya tidak tahu. Mungkin karena di sana tidak nasi kucing yang mana merupakan vaksin “alamiah” milik Indonesia, menurut seorang pejabat.

Jika berhasil, tentu saja semakin banyak variasi vaksin yang hadir di Indonesia. Sinovac dan Sinopharm dari Tiongkok, AZ dari Inggris, Pfizer dan Moderna dari AS, dan nantinya CoVLP dari Kanada.

Ini belum lagi ditambah kabar mengejutkan dari negara tetangga Thailand. Mereka berhasil memproduksi vaksin sendiri. Vaksin tersebut bernama CU-Cov19 (mRNA). Dan klaim dari pemerintah setempat, vaksin tersebut mampu menangkal varian Delta yang semakin trengginas. Sayangnya, kok ndilalah pemerintah sana sudah terlanjur menandatangani perjanjian dengan Pfizer.

Bagi orang yang kebetulan mendalami dunia Hubungan Internasional, tentu saja kabar di atas sungguh menarik. Apalagi bagi orang yang memiliki minat Ekonomi Politik Internasional. Apa yang bisa dilihat dari sana?

Tidak lain dan tidak bukan adalah perang dagang. Tiongkok, Inggris, dan Amerika Serikat. Saya tidak tahu apakah vaksin Sputnik V dari Rusia dan Covovax dari India akankah ikut meramaikan persaingan ini. Yang pasti, kedua vaksin tersebut sedang memasuki proses evaluasi dari BPOM.

Ini memang menarik dan unik. Kebetulan, 4 dari 5 anggota Dewan Keamanan PBB (Tiongkok, Rusia, AS, dan Inggris) mampu memproduksi vaksin tersebut. Ya, wajar, sih, mereka bisa bergerak cepat. Selain karena infrastrukturnya handal dalam bekerja, tugas utama mereka adalah mengamankan dunia. Sekali lagi, catat, ya. Mengamankan Dunia.

Lalu, apa kabar vaksin Nusantara?

Dalam sebuah webinar yang bertajuk “Perang Biologis Pandemi Covid-19: Lessons Learned and Efforts to Reinforce Health Security to Accelerate Covid-19”, Terawan mengklaim bahwa vaksin Nusantara lah yang menyelamatkan dan membasmi Covid-19.

Sayangnya, hingga kini, BPOM belum meloloskan vaksin Nusantara tersebut. Alasannya, elemen dari vaksin Nusantara sepenuhnya berasal dari sebuah perusahaan Amerika Serikat, Aivital Biomedical Inc.

Dan lagi-lagi, Amerika Serikat bermain dalam hal ini. Seakan tidak puas dengan Pfizer dan Moderna, Nusantara pun ingin dibuat serupa. Kepanjangan tangan dari negara adidaya.

Dan yang perlu kamu ketahui, CoVLP yang dibuat di Quebec, Kanada itu, bekerja sama dengan Mitsubishi Tanabe Pharma dan Philip Morris International. Mitsubishi berkantor pusat di Jepang namun memiliki cabang di Amerika Serikat. Sedangkan yang kedua, berkantor pusat di Amerika Serikat namun memiliki cabang di Indonesia.  

Maju Buntu, Mundur Gagal: Sebuah Kisah tentang Penjual Mie Ayam di Kotagede

Namanya Dawi. Pria beruban dengan postur sedikit membungkuk. Jalannya agak tertatih. Tangannya gemetaran saat memberikan semangkuk mie ayam kepada saya.

Itu mangkuk yang kedua bagi saya. Sebelumnya, saya memesan semangkuk mie ayam bakso+tetelan. Karena di lidah cocok, saya memesan lagi. Kali ini, hanya mie ayam biasa.

Dokumen pribadi

Saat pengunjung hanya tersisa saya dan seorang teman, beliau mengambil tempt duduk, membenahi posisi, dan mulai bercerita.

“Saya ini dagang udah 34 tahun. 28 tahun keliling dan 6 tahun di sini.”

Kata di sini yang dimaksud adalah sebuah gubug—walaupun aslinya tak terlihat gubug namun beliau lebih suka menyebutnya demikian.

“Dagangan saya mulanya bukan mie ayam. Dulu, bakso. Ganti soto. Ganti lagi mie ayam. Mbalik ke bakso. Eh, rejekinya mungkin di mie ayam.”

“28 tahun keliling mana aja, Pak?”

“Cuma keliling sekitar sini. Jagalan, Watu Gilang, Pasar, ya sekitar situ-situ lah, Mas. Gak pernah jauh.”

“Kenapa gak pernah jauh, Pak?”

“Ga tahu. Mungkin hokinya di sini.”

Dawi masuk ke Kotagede tahun 1970. Beliau datang dari Wonosari. Saat tiba di Kotagede, situasi sepi. Tak banyak orang. Jika malam, lebih sering melihat makhluk yang tak kasat mata.

“Wah di sini itu dulu gelap sekali. Tiap belokan pasti ada aja yang kayak begitu (baca: hantu). Apalagi hampir di setiap gang ada kuburannya.”

Saya mengamati sekitar. Duh, kok ya kebetulan gubug ini tepat di belakang kuburan. Makanya, tak heran ketika mencari mie ayam ini melalui Google Maps, saat kami tiba, posisinya pas di pintu kuburan.

Sumber: beritasatu.com (ilustrasi)

Beliau kembali bercerita. Untuk urusan bertemu bahkan berdialog dengan makhluk halus, beliau mengisahkan ceritanya bisa lebih dari dua malam. Terlalu banyak.

“Saya itu pernah, Mas. Dari pukul 23.00-02.30 gak bisa keluar dari tempat itu. Gerobak saya ga bisa maju dan ga mampu mundur. Saya mengucap apa pun yang saya bisa. Tetep aja ga bisa. Saya cuman pasrah.”

Dia mengucapkan nama tempat itu yang saya belum pernah melewatinya.

“Kalo ada yang berani keliling di atas jam 9. Ampuh banget, Mas!”

Teman saya memegang lehernya. Mungkin dia merasa bulu kuduknya merinding, atau ada yang meniup tepat di tengkuk lehernya. Saya menelan ludah dan mencoba menerka di mana tempat itu.

“Dulu, waktu awal-awal buka mie ayam, saya sempat punya harapan besar, Mas. Punya tempat pas lalu lalang kendaraan. Di Kotagede juga. Apalagi sewa tempat kok ya kebetulan dapat murah. Tapi…”

“Tapi kenapa, Pak?”

“Tetap aja diganggu, Mas!”

“Seperti apa gangguannya, Pak?”

Beliau berkisah pernah suatu kali menemukan sekeranjang bunga mawar. Merah dan putih. Itu disebar tepat di bawah panci, tempat untuk memanaskan kuah.

“Anak saya yang menemukannya, Mas. Saya bilang disingkirkan aja.”

Pada waktu yang lain, beliau kembali menemukan barang serupa. Kali ini, beliau temukan di dalam panci. Beliau baru menyadari saat mengangkat mie dari panci.

“Saya sampai mengucap astagfirullah, cari rezeki kok ada saja yang menghalangi.”

Bahkan, para tetangganya pun heran. Ketika hendak membeli dagangannya saat siang, warungnya selalu tertutup. Padahal, menurutnya, tak pernah tutup kecuali kalo sudah malam.

“Tetangga itu sampai bilang kalo dagangan kok mesti tutup. Saya juga heran. Tiap orang mau memarkirkan motor, copot helm, eh helmnya dipake lagi. Ga jadi beli.”

Beliau mengisahkan sembari menatap langit-langit gubug. Kemudian beliau mengalihkan pandangan ke gubugnya.

“Saya kalo ingat itu, rasanya kesel, Mas. Tapi ya buat apa saya bales kayak gitu. Toh ga ada gunanya.”

Saya menyeruput es teh yang esnya mulai mencair. Teman saya menyulut rokok. Menyemburkan asap ke langit-langit.

“Kalo sekarang, sudah ga begitu gelap. Cuman tetep aja suasana seram pasti ada.”

Beliau berbicara sembari merapikan mangkuk-mangkuk yang berserakan. Dua gelas digamit dan ditumpuk menjadi satu.

“Mas, doyan pusaka?”

“Maksudnya, Pak?”

“Kalo iya, tiap Selasa Kliwon dan Jumat Kliwon, bisa pergi ke gudang pusaka. Gak jauh dari sini. Dekat Watu Gilang.”

Tawarannya menarik. Kebetulan saya lagi suka mendalami hal-hal mistis. Dan tentu saja, saya akan ke sana bersama teman saya ini.

“Gak banyak orang tahu, lho, Mas. Padahal di situ gudangnya. Bagi orang-orang yang percaya, ya sudah pasti bisa narik pusakanya.”

Tapi, menarik pusaka tidak semudah yang dibayangkan orang. Ada yang memang bisa dengan kekuatan diri. Ada yang perlu berdialog dengan pemilik pusaka. Ada juga yang perlu bantuan dari jin lain untuk menariknya.

Kalo kamu masih ingat salah satu adegan film “Keramat”, ada adegan pria gundul berkacamata mendapatkan berkah pusaka. Merah delima.

Namun, karena tidak bisa menguasai, dia terseret dan masuk ke alam lain. Meskipun itu film, dan biasanya fiksi, mendapatkan pusaka, kalo tidak benar-benar menguasai, yang hadir makhluk lain menguasai tubuhmu.

Pelanggan datang lagi. Wadi menundukkan kepala kepada kami dan bergegas melayaninya.

Tinggal dua suap lagi, mie ayam saya habis. Beruntungnya, saya masih menyisakan tetelan yang rasanya mak legender.

Ketika mengangkatnya dan hendak memakannya, tiba-tiba imajinasi saya menjadi liar. Tetelan tersebut berubah menjadi sepotong jari kelingking sebelah kiri.

Potongannya persis seperti salah satu adegan drama Korea yang hits. Kingdom sesi pertama. Saat itu, si perawat kaget karena ketika ingin mengambil kuah, tersangkut sebuah jari—yang ternyata adalah korban tewas karena zombie.

Lalu, saya jadi khawatir, apakah setelah memakan tetelan itu, saya akan menjadi zombie pula?

Entahlah. Sampai saat ini, saya masih merasa baik-baik saja. Begitu pula dengan teman saya. Yang jelas, saya akan mengulangi makan mie ayam Pak Wadi. Lha enak benget, lurr.

Tentu saja lain waktu pada siang hari. Sebab, jika malam hari, saya enggan bertemu hantu. Yang kadang suka berkeliaran di daerah ini. Dan suka menemani di kala kamu membaca cerita misteri.

Nabil di Antara Karisma Iqbal dan Inteligensi Agung

Hari lebaran pada malam hari saya habiskan bersama dua teman. Yang pertama adalah Agung Widyantoro. Dia biasa dipanggil Agung. Semasa kuliah di Malang, sebutannya adalah Agung Syi’ah. Disebut demikian karena mengenal dan memahami luar dan dalam tentang Syi’ah.

Yang kedua adalah Nabil Lintang Pamungkas. Dia biasa dipanggil Nabil. Perawakannya besar, berbehel. Kalo di kampus, dia salah satu mahasiswa yang disegani baik kalangan dosen maupun mahasiswi.

Mereka berdua adalah dua dari sekian perantau yang terjebak di Jogja. Dari 80 anak kos-an, tinggal berdelapan. Dan mereka dua dari delapan.

Mengisi jadwal karantina hanya dengan mengerjakan tugas dari kampus. Terkadang, karena bosan, mereka berdua masak. Seusai masak, memfoto makanan kemudian mengunggahnya ke status WA. Foto sama persis.

Kadang, karena saking gabutnya di kos, Agung mengendarai motor. Keliling kota Jogja. Pernah suatu ketika, Agung kangen dengan masjid. Dia bergegas ke salah satu masjid tertua di Jogja, daerah Kotagede.

Di sana, dia seorang diri. Seperti uji nyali, masuk menelusuri masjid hingga tempat istirahat terakhir para raja-raja. Nabil pernah mengatakan Agung itu aneh. Kadang suka menyendiri di tempat-tempat yang tak biasa.

Menurut saya, Agung tak aneh. Dia itu sufi.

Berbeda dengan Agung, Nabil lebih banyak di kosan. Luapan rindu terhadap kota Malang kadang dilampiaskan dengan menelepon pacarnya, Risma. Kadang, kalo senggang, dia malah lebih sering bertukar kabar dengan kakak angkatnya, Iqbal.

Iqbal adalah teman seangkatan Agung. Bak pohon kembar, mereka selalu berdiskusi menghabiskan puluhan kopi dan puluhan lembar kertas untuk menemukan konsep demokrasi yang hakiki. Sedangkan Nabil lebih banyak menyimak.

Hasil pergulatan pikiran di warung kopi selama hampir tujuh tahun berbuah hasil. Kemampuan baca yang meningkat diaplikasikan pada kegiatan tulis-menulis.

Sejauh ini, dua jurnal telah dituntaskan baik Iqbal maupun Nabil. Satu jurnal dari Agung. Ketiganya pun menjadi idola bagi adik-adiknya di Malang. Karisma dan intelegensi menjadi alasan mengapa mereka layak digemari.

Kini, Agung dan Nabil menempuh pendidikan lagi di Jogja. Sedangkan Iqbal di Surabaya. Ketiganya berjanji. Ketika usai sekolah, mereka membangun negara.

Negara dengan Cerita Coro-Coro di Warung Kopi.

Lebaran

Gimana ya rasanya berkumpul dengan keluarga?

Jika ingatan saya tak berkhianat, selepas adek pertama wisuda, kami bisa berkumpul. Itu dua tahun lalu. Setelahnya, kami berpisah. Kembali ke pekerjaan masing-masing. Mencari rezeki di tanah rantau.

Dan ternyata, hingga lebaran kali ini, kami tak bisa berkumpul juga. Berbagai faktor yang menjadi penyebabnya.

Lebaran di saat pandemi memang membuat kita benar-benar harus belajar sabar. Tak bisa bertemu dengan adik dan kakak. Tak bisa bersua dengan bapak dan ibu.

Lebaran tahun 2020, saya terpisah sejauh ratusan kilometer dari dua adik. Kebetulan mereka berada di ibu kota. Juga, saya terpisah dengan istri, yang sedang mengandung anak kedua kami, dan anak pertama kami.

Lebaran kali ini saya cukup dengan Mama. Sebenarnya ini pilihan yang sangat sulit. Di satu sisi, saya tak enak hati dengan istri karena sedang hamil tua. Di sisi lain, saya sungkan meninggalkan Mama seorang diri saat begini.

Maklum, untuk pertama kalinya, Mama tidak berlebaran dengan Bapak. Beliau telah berpaling ke dunia lain, di atas sana, empat bulan yang lalu.

Pagi tadi, saya bangun pukul 07.30. Seharusnya saya tidak tidur selepas subuh. Tapi, melihat Mama yang seusai subuh menangis sembari bersimpuh, saya sedih sekali. Saya pun masuk kamar dan tak terasa tidur kembali.

Ketika bangun, saya langsung mandi kemudian mengajak Mama bergegas mengunjungi rumah adek saya yang kedua dan Bapak.

Alhamdulillah rumahnya masih terawat baik. Tanah sebagai pijakan cukup gembur. Sinar matahari bisa masuk melalui ventilasi tanah. Dindingnya sedikit kotor namun dengan sigap Mama membersihkannya.

Di situ kami berdoa. Agar Bapak dan adek selalu sehat di rumah barunya. Unik memang. Adik pertama dan ketiga berkumpul di Jakarta. Saya dan Mama berkumpul di Jogja. Bapak dan adek kedua berkumpul di Barzah.

Mau melaksanakan silaturahmi virtual kayak orang-orang, ternyata memang bisa. Sarana yang digunakan tak mampu meretas batas di antara kami semua. Hanya silaturahmi melalui doa yang bisa kami lakukan.

Sehat dan bahagia selalu untuk semuanya. Semoga kita bisa berjumpa dan berkumpul bersama seperti sedia kala di lain kesempatan. Amin.

Berbahagialah yang masih bisa berkumpul dengan keluarga. Manfaatkanlah waktu sebaik-baiknya. Sebab, kita tak tahu kapan jarak dan waktu akan memisahkan.

Mohon maaf lahir dan batin.

Minyak Kucing

Hari ini genap 40 hari kampung kami melakukan sistem buka tutup. Dibuka setiap pukul 5 pagi dan ditutup pukul 9 malam. Di antara pukul 21-05, kampung memberlakukan ronda. Meskipun, pada praktiknya cukup memantau aktivitas keluar masuk manusia dari pukul 21-02.30. Selebihnya, kita pasrahkan saja pada ayam, kucing, dan anjing.

Setiap Kamis malam, saya kebagian tugas jaga. Saya memilih hari itu karena orang lain enggan. Alasannya, malam Jumat adalah keramat. Malam yang keramat untuk memanjatkan doa. Seperti ini teksnya.

“Allahumma janibnasyaithana wa janibnisyathanamarazaqna”.

Oleh karenanya, sebagai pemuda yang dianggap sudah menjadi bapak, tetapi disebut bapak juga wagu karena kontur wajahnya sejenis Xabiru, saya mengalah.

Toh, dengan memilih hari itu, barangkali saya mendapatkan ide untuk menulis cerita misteri di rubrik Malam Jumat di Mojok dot co. Setidaknya, hingga saat ini, dua tulisan yang telah tayang di sana berkat aktivitas ronda pada malam Jumat.

Tadi malam, saya datang agak awal. Sesuai kebiasaan yang telah berlaku, setiap orang yang berjaga atau sekadar mampir, wajib makan malam di pos. Kebetulan, ada opor ayam. Berkah dalem.

Sebelumnya, bergiliran mulai dari sop, soto, nasi uduk, nasi kuning, hingga sayur lodeh. Sebenarnya, itu menu berbuka puasa di masjid. Tetapi, karena ditiadakan, dipindah ke malam saat orang-orang kebagian menjaga pos.

Seperti biasa, sembari makan, kami mengobrol apa saja. Kalo malam itu, obrolan dimulai dari sebuah kejadian di daerah Sorogenen, Jogja. Konon, seorang pria berbaju merah dan bercelana jeans 3/4 yang positif COVID-19 kabur dari ambulans.

Namun, Humas Pemda DIY membantah kebenaran berita tersebut. Melalui Twitter, mereka mengabarkan, itu hanyalah simulasi.

Sayangnya, kabar tersebut seperti busa bantal yang terkoyak. Terlanjur tersebar ke langit. Sehingga susah untuk ditangkap. Apalagi kondisi seperti ini.

Saat menandaskan opor ayam, dan meletakkan piring di ember, saya melihat seekor kucing hendak menyebrang. Ia tampak ragu-ragu. Maju atau mundur.

Eh, mendadak lari. Alhasil, sebuah sepeda motor Astrea Grand yang melaju cukup kencang dari utara menuju selatan menabrak.

Kucing terpental kira-kira lima meter. Pengendaranya berusaha lari. Namun, salah seorang dari kami meneriaki.

“Malam Jumat, Suuuu!”

Entah kaget karena teriakan atau dikira hendak dihakimi massa, dia putar balik. Yang meneriaki, memegang leher kucing dan membawanya ke trotoar.

Bentuknya seperti huruf C. Meringkuk. Kaki depan sebelah kanan bergetar.

“Kayake sakaratul maut,” ujar bapak di sebelah kiri saya.

Kucingnya dibelai. Seakan ingin mengucapkan kata perpisahan, mulut kucing terbuka. Wajah pria yang menabrak tampak tegang.

Dari belakang saya, seorang pria berperawakan Hulk datang kemudian jongkok dan mendekati kucing itu. Seketika dia mengeluarkan botol. Isinya minyak.

Saya mendekatinya. Dari baunya, saya mengenali minyak ini.

“Kutus-kutus, Pak?”

“Iyo, Mas.”

Saya kaget. Memangnya kutus-kutus manjur untuk hewan?

Sumber foto: ibusegalatau.com

Di sebelah kiri saya, dua orang serempak berucap, “Woh yo bener nek dikei kutus-kutus.” Yang lain mengangguk.

“Dua pekan lalu, kucing ini terjatuh dari loteng. Lumpuh. Dua hari kemudian, karena pemiliknya bingung, seluruh tubuhnya diolesi minyak kutus-kutus. Ajaib, Mas. Setelahnya bisa jalan bahkan lari!”

Batin saya, ampuh juga khasiat kutus-kutus.

Dan, keajaiban itu tak terjadi hanya sekali. Untuk kedua kalinya, kaki dan tubuhnya kembali luwes. Kucing melompat. Menggoyangkan kepala dan berjalan seperti biasa. Lagi.

Kami menggelengkan kepala. Kucing sakti. Apakah kucing memang dianugerahi nyawa berjumlah 9? Ataukah karena efek minyak kutus-kutus?

Saya tak tahu pasti. Saya juga belum pernah menemukan penelitian dampak minyak kutus-kutus terhadap kucing. Yang jelas, sepemahaman saya, khasiatnya hanya untuk manusia. Dan itu terbukti di mana-mana. Sila cari di Google.

Rambut

Sudah hampir 3 bulan, saya tak memangkas rambut. Biasanya, per dua bulan, saya pergi ke tempat potong rambut. Kalo melihat di cermin, rambut saya cukup panjang. Hal ini mengingatkan saya pada tahun 2009. Zaman itu, rambut bisa menyentuh bahu.

Saya bukannya tidak mau potong rambut. Bukan juga karena alasan pandemi. Sebab, kalo boleh jujur, ada tempat potong rambut yang menarik perhatian. Letaknya hanya sepelemparan jambu dari rumah saya. Tapi, saya memang ingin memanjangkan rambut alias gondrong.

Dulu, saat gondrong, ada sebutan yang cukup populer. Gondrong Ndeso alias gondes. Menurut saya, sematan tersebut diberikan karena tak sesuai dengan bentuk muka dan postur tubuh. Muka saya, memang tak bisa dibilang ganteng. Tubuh saya, cekingnya luar biasa. Tapi, nekat saja jadi gondrong. Maklum, pelampiasan selepas SMA.

Sekarang, agaknya saya percaya diri. Motivasi mempertahankan rambut panjang adalah memompa diri agar tubuh lebih berisi. Setidaknya, bisa macam Duta Sheila On 7 era 2018-2019, Virzha, atau Once Mekel.

Makanya, sehari-hari, selain push-up, saya menggunakan benda yang membangkitkan dan membentuk otot bisep. Mulanya, saya hanya mampu menekan maksimal lima kali, baik tangan kanan maupun kiri. Kini, bisa mencapai lima belas kali. Pencapaian yang cukup lumayan.

Meskipun begitu, tampaknya belum cukup memengaruhi badan saya. Maksudnya, ketika mencoba timbangan badan, naik tak sampai satu kilogram. Sungguh berat rasanya. Mungkin, setelah Ramadan usai, berat badan bisa bertambah.

Oleh karena itu, saya bertaruh dengan istri. Andaikan dalam waktu dua bulan ke depan, berat badan saya tak bertambah, mau tidak mau, saya harus potong rambut.

Ucapkan Amin dalam hati, Teman-teman. Semoga saya bisa menuntaskan tantangan ini.  

Kamis

Siang ini Jogja kembali hujan. Sudah beberapa hari turun air dari langit pada bulan Ramadan. Cukup unik. Biasanya cobaan hawa panas yang membuat es degan atau est teh terasa menggoda. Kalo sekarang, boro-boro tergoda, yang ada hanya tidur. Bahkan, waktu tidur lebih banyak siang daripada malam.

Grup wasap Bapak-bapak mulai rame lagi. Beberapa orang mengkhawatirkan jika pariwisata DIY benar-benar buka. Ada yang berandai-andai akan terjadi manusia bergelimpangan di jalan. Beberapa dari mereka malah bercanda,

“Daging giling dengan rasa gado-gado semakin menjamur.”

Agak cringe guyonannya. Sungguh saya tak menduga. Beberapa dari mereka mengingatkan bahwa ada baiknya kualitas ronda perlu ditingkatkan.

“Kalo merasa laki-laki, ya ikut ronda. Gak usah terlalu lama. Minimal ketok rupane.”

Ya sebagai makhluk sosial, memang sudah seharusnya ikut. Bukan himbauan tapi keharusan. Dari warga untuk warga oleh warga. Begitulah kira-kira.

Seharian ini saya mantengin taimlen. Tidak ada keributan yang berfaedah. Rata-rata masih aman. Tadi juga saya sempat melakukan pertemuan lewat Zoom. Alhamdulillah, masih ada yang menawari pekerjaan. Berkah dalem rasanya.

Malam setelah berbuka, saya menyempatkan pergi ke salah satu toko buah. Rencananya, besok pagi saya akan mengantarkannya ke daerah Bantul. Oleh-oleh untuk Pakde saya. Beliau salah satu orang yang berjasa dalah hidup saya. Sejak kecil, walaupun tak terlalu sering ke sana, selalu banyak canda dan tawa. Padahal, obrolan yang sering dilontarkan berbau politik. Entah kenapa menyenangkan saja.

Begitulah cerita hari ini. Besok Kamis libur. Para pekerja juga menghentikan pekerjaan untuk sementara. Setidaknya, tanggal merah di kalender mengingatkan pada kita.

Merah tandanya berhenti. Bukan hati-hati. Apalagi berjalan terus.

Jogja: New Normal

harian jogja

Sumber foto: https://twitter.com/Ternoda_/status/1262600008144052224?s=20

Seharusnya tulisan ini terbit kemarin. Akan tetapi, karena suatu hal, hari ini saya akan mengunggah dua tulisan.

Kemarin, akhirnya saya pergi ke kantor. Terakhir kali ke sana, kalo tidak salah, pada awal Mei. Saya ke sana pun bukan ingin menjelajahi atau mengetahui jalanan Sleman lengang atau padat, tapi ingin bertemu dengan seorang teman.

Dia ingin berzakat fitrah melalui saya. Sebenarnya, bisa saja lewat m-banking. Tapi dirinya merasa kurang afdol kalo belum ketemu saya.

Inginnya saya berangkat pagi. Namun, karena perlu membetulkan gawai yang agak ribet, saya baru beranjak dari halaman depan rumah pukul 10.30.

Mengendarai motor dengan kecepatan lamban. 40km/jam. Jadi, perjalanan yang sejatinya hanya 20 menit, dengan kecepatan itu, saya sampai di kantor pukul 11.00. Tiba di sana, saya kira, saya adalah orang terakhir. Ternyata tidak. Saya orang kedua yang tiba di kantor.

Usut punya usut, anak-anak baru tiba menjelang zuhur. Waktu tidur yang agak terbalik menjadi penyebabnya. Meskipun begitu, pekerjaan pun tetap baik dan kondisi lingkungan kantor cukup terjaga.

Di kantor, seperti biasa, saling berbagi cerita dan gibah. Apalagi, kalo udah lama tidak bertemu. Dasar manusia!

Pukul 14.00 kami rapat. Menentukan arah dan strategi pascalebaran. Akan seperti apa kehidupan new normal? Tunggu kejutannya! Yang jelas, seusai rapat, kami pesan makan. Bukan untuk dimakan saat itu juga, melainkan saat berbuka puasa.

Pilihan makanan terlalu banyak. Hal ini disebabkan rangkaian dan lomba diskon dari masing-masing platform ojek daring. Menyenangkan bagi pembeli, pengemudi ojek, dan warung. Tapi tak tahu apakah itu juga merupakan keuntungan dari platformnya. Yang penting, kami senang.

Pulang ke rumah pukul 16.00. Tiba di rumah, gerimis menyambut. Tak lama, hujan deras. Jogja, dalam tigah hari ini, sering terjadi hujan. Kadang deras. Kadang disertai angin kencang. Kemarin malah sempat terjadi gempa kecil di Pacitan. Terasa hingga Bantul.

Apakah bumi baik-baik saja? Semoga iya. Yang jelas, Jogja aman. Tingkat keamanan terhadap warganya sungguh luar biasa. Buktinya, mulai Juni, pariwisata DIY dibuka kembali. Selamat datang, Jogja New Normal.