Maju Buntu, Mundur Gagal: Sebuah Kisah tentang Penjual Mie Ayam di Kotagede

Namanya Dawi. Pria beruban dengan postur sedikit membungkuk. Jalannya agak tertatih. Tangannya gemetaran saat memberikan semangkuk mie ayam kepada saya.

Itu mangkuk yang kedua bagi saya. Sebelumnya, saya memesan semangkuk mie ayam bakso+tetelan. Karena di lidah cocok, saya memesan lagi. Kali ini, hanya mie ayam biasa.

Dokumen pribadi

Saat pengunjung hanya tersisa saya dan seorang teman, beliau mengambil tempt duduk, membenahi posisi, dan mulai bercerita.

“Saya ini dagang udah 34 tahun. 28 tahun keliling dan 6 tahun di sini.”

Kata di sini yang dimaksud adalah sebuah gubug—walaupun aslinya tak terlihat gubug namun beliau lebih suka menyebutnya demikian.

“Dagangan saya mulanya bukan mie ayam. Dulu, bakso. Ganti soto. Ganti lagi mie ayam. Mbalik ke bakso. Eh, rejekinya mungkin di mie ayam.”

“28 tahun keliling mana aja, Pak?”

“Cuma keliling sekitar sini. Jagalan, Watu Gilang, Pasar, ya sekitar situ-situ lah, Mas. Gak pernah jauh.”

“Kenapa gak pernah jauh, Pak?”

“Ga tahu. Mungkin hokinya di sini.”

Dawi masuk ke Kotagede tahun 1970. Beliau datang dari Wonosari. Saat tiba di Kotagede, situasi sepi. Tak banyak orang. Jika malam, lebih sering melihat makhluk yang tak kasat mata.

“Wah di sini itu dulu gelap sekali. Tiap belokan pasti ada aja yang kayak begitu (baca: hantu). Apalagi hampir di setiap gang ada kuburannya.”

Saya mengamati sekitar. Duh, kok ya kebetulan gubug ini tepat di belakang kuburan. Makanya, tak heran ketika mencari mie ayam ini melalui Google Maps, saat kami tiba, posisinya pas di pintu kuburan.

Sumber: beritasatu.com (ilustrasi)

Beliau kembali bercerita. Untuk urusan bertemu bahkan berdialog dengan makhluk halus, beliau mengisahkan ceritanya bisa lebih dari dua malam. Terlalu banyak.

“Saya itu pernah, Mas. Dari pukul 23.00-02.30 gak bisa keluar dari tempat itu. Gerobak saya ga bisa maju dan ga mampu mundur. Saya mengucap apa pun yang saya bisa. Tetep aja ga bisa. Saya cuman pasrah.”

Dia mengucapkan nama tempat itu yang saya belum pernah melewatinya.

“Kalo ada yang berani keliling di atas jam 9. Ampuh banget, Mas!”

Teman saya memegang lehernya. Mungkin dia merasa bulu kuduknya merinding, atau ada yang meniup tepat di tengkuk lehernya. Saya menelan ludah dan mencoba menerka di mana tempat itu.

“Dulu, waktu awal-awal buka mie ayam, saya sempat punya harapan besar, Mas. Punya tempat pas lalu lalang kendaraan. Di Kotagede juga. Apalagi sewa tempat kok ya kebetulan dapat murah. Tapi…”

“Tapi kenapa, Pak?”

“Tetap aja diganggu, Mas!”

“Seperti apa gangguannya, Pak?”

Beliau berkisah pernah suatu kali menemukan sekeranjang bunga mawar. Merah dan putih. Itu disebar tepat di bawah panci, tempat untuk memanaskan kuah.

“Anak saya yang menemukannya, Mas. Saya bilang disingkirkan aja.”

Pada waktu yang lain, beliau kembali menemukan barang serupa. Kali ini, beliau temukan di dalam panci. Beliau baru menyadari saat mengangkat mie dari panci.

“Saya sampai mengucap astagfirullah, cari rezeki kok ada saja yang menghalangi.”

Bahkan, para tetangganya pun heran. Ketika hendak membeli dagangannya saat siang, warungnya selalu tertutup. Padahal, menurutnya, tak pernah tutup kecuali kalo sudah malam.

“Tetangga itu sampai bilang kalo dagangan kok mesti tutup. Saya juga heran. Tiap orang mau memarkirkan motor, copot helm, eh helmnya dipake lagi. Ga jadi beli.”

Beliau mengisahkan sembari menatap langit-langit gubug. Kemudian beliau mengalihkan pandangan ke gubugnya.

“Saya kalo ingat itu, rasanya kesel, Mas. Tapi ya buat apa saya bales kayak gitu. Toh ga ada gunanya.”

Saya menyeruput es teh yang esnya mulai mencair. Teman saya menyulut rokok. Menyemburkan asap ke langit-langit.

“Kalo sekarang, sudah ga begitu gelap. Cuman tetep aja suasana seram pasti ada.”

Beliau berbicara sembari merapikan mangkuk-mangkuk yang berserakan. Dua gelas digamit dan ditumpuk menjadi satu.

“Mas, doyan pusaka?”

“Maksudnya, Pak?”

“Kalo iya, tiap Selasa Kliwon dan Jumat Kliwon, bisa pergi ke gudang pusaka. Gak jauh dari sini. Dekat Watu Gilang.”

Tawarannya menarik. Kebetulan saya lagi suka mendalami hal-hal mistis. Dan tentu saja, saya akan ke sana bersama teman saya ini.

“Gak banyak orang tahu, lho, Mas. Padahal di situ gudangnya. Bagi orang-orang yang percaya, ya sudah pasti bisa narik pusakanya.”

Tapi, menarik pusaka tidak semudah yang dibayangkan orang. Ada yang memang bisa dengan kekuatan diri. Ada yang perlu berdialog dengan pemilik pusaka. Ada juga yang perlu bantuan dari jin lain untuk menariknya.

Kalo kamu masih ingat salah satu adegan film “Keramat”, ada adegan pria gundul berkacamata mendapatkan berkah pusaka. Merah delima.

Namun, karena tidak bisa menguasai, dia terseret dan masuk ke alam lain. Meskipun itu film, dan biasanya fiksi, mendapatkan pusaka, kalo tidak benar-benar menguasai, yang hadir makhluk lain menguasai tubuhmu.

Pelanggan datang lagi. Wadi menundukkan kepala kepada kami dan bergegas melayaninya.

Tinggal dua suap lagi, mie ayam saya habis. Beruntungnya, saya masih menyisakan tetelan yang rasanya mak legender.

Ketika mengangkatnya dan hendak memakannya, tiba-tiba imajinasi saya menjadi liar. Tetelan tersebut berubah menjadi sepotong jari kelingking sebelah kiri.

Potongannya persis seperti salah satu adegan drama Korea yang hits. Kingdom sesi pertama. Saat itu, si perawat kaget karena ketika ingin mengambil kuah, tersangkut sebuah jari—yang ternyata adalah korban tewas karena zombie.

Lalu, saya jadi khawatir, apakah setelah memakan tetelan itu, saya akan menjadi zombie pula?

Entahlah. Sampai saat ini, saya masih merasa baik-baik saja. Begitu pula dengan teman saya. Yang jelas, saya akan mengulangi makan mie ayam Pak Wadi. Lha enak benget, lurr.

Tentu saja lain waktu pada siang hari. Sebab, jika malam hari, saya enggan bertemu hantu. Yang kadang suka berkeliaran di daerah ini. Dan suka menemani di kala kamu membaca cerita misteri.