USIA

Gelaran Asian Games (AG) 2018 dibicarakan oleh banyak pihak. Mulai dalam negeri hingga luar negeri. Mulai dari yang mendukung hingga yang menyindir. Lengkap.

Namun, dari semua itu ada fakta yang menarik. Sekadar informasi, atlit termuda di Asian Games 2018 berasal dari Indonesia. Namanya Aqqila (9 tahun). Ia akan mewakili Indonesia dari cabang papan luncur.

Tak ada target yang dibebankan pada Aqqila di AG. Selain karena usianya masih muda, olahraga papan luncur baru dipertandingkan pada Asian Games tahun ini.

Yang penting, mereka bisa meraih pengalaman dan memperkuat mental bertanding. Namun, menurut wawancara yang telah diulas di Beritagar.id, Aqqila menargetkan tembus di babak paling akhir. Kalo beruntung, ya dapat medali.

Selain atlit termuda, Indonesia juga menyumbang salah satu atlet tertua di AG. Namanya Michael Bambang Hartono yang berlaga di cabang Bridge. Kalo mendengar kata Hartono, yang ada di benak saya adalah mall dan rokok.

Dan memang, beliau adalah bos dari salah satu perusahaan rokok terbesar di Indonesia. Bos Djarum.

Yang perlu kamu ketahui adalah, beliau salah satu manusia yang cukup antusias dalam memajukan bridge di Indonesia. Dan jangan salah, beliau sudah jauh-jauh hari menyiapkan mental dan fisik untuk mengikuti ajang empat tahunan ini.

Usianya memang tak lagi muda. 78 tahun. Tapi semangatnya membara. Bahkan, beliau menargetkan berani meraih dua medali emas. Kalo beruntung, ya bisa lebih.

Nah, yang menarik lagi adalah, beliau akan mewariskan hadiah medali emas (1,5 Miliar) untuk pendidikan atlit selanjutnya. Lha, 1,5 M bagi bos Djarum cuma sepersekian upil dari total pendapatan Djarum, lurr. Apalagi menurut riset Majalah Forbes, beliau merupakan orang terkaya kedua di Indonesia~

Apakah ini berarti bisa digeneralisasi bahwa Djarum ingin memberikan sesuatu yang berguna bagi pendidikan atlet? Yang jelas, saat saya kuliah, beasiswa Djarum adalah salah satu capaian mahasiswa paling bergengsi.

Eh kemarin, ia baru saja memperoleh medali perunggu. Luar biasa. Selamat, Pak Bambang Hartono. Tua-tua keladi, makin tua makin jadi.

Yang menjadi pelajaran bagi kita adalah, usia tak akan menghalangi seseorang untuk meraih prestasi setinggi-tingginya. Dan barangkali, melihat keberhasilan Bambang Hartono, membuat si calon presiden dan wakil presiden Indonesia untuk periode selanjutnya akan semakin pede.

Dunia Masa Kecil

Kembali ke masa kecil adalah impian saya. Bermain layang-layang, sepak bola, adu tangkas kelereng, petak umpet, dan masih banyak permainan lainnya. Bermain sejak pulang sekolah hingga sore hari bahkan menjelang magrib, adalah kepuasan bagi saya saat itu.

Saya tak pernah berpikir tentang kelelahan, dehidrasi, cedera, atau segala sesuatu yang bersifat negatif. Bagi saya, permainan itu menimbulkan keceriaan, tawa yang lepas, dan hati yang bungah.

Saya tak pernah berpikir apakah malam setelah bermain, saya mampu mengerjakan tugas sekolah–yang kadang terlalu banyak. Yang penting dalam benak saya setelah bermain, saya akan makan enak dan perut akan kenyang.

Saya tak pernah berpikir apakah bermain hingga magrib, nantinya diberi teguran oleh orang tua. Toh, dalam benak saya, jika saya ditegur, teman-teman yang ikut bermain dengan saya juga akan ditegur.

Dalam dunia masa kecil, kami hanya ingin meluapkan kebahagiaan, menyemai kebersamaan, meramu keceriaan, merekam kemenangan hingga tertawa tanpa batas.

Kami tak peduli nantinya selepas menjalani masa kecil, kami akan melihat kekejaman, kesombongan, hingga kengerian dunia luar. Dan, barangkali dunia luar akan membuat kami menjadi liar.

Kami tak peduli tentang omongan orang-orang yang lebih tua bahwa dunia luar akan banyak bahaya yang mengintai ataupun kejahatan yang dibingkai. Yang kami pedulikan hanyalah tanah yang lapang tanpa perlu ada gangguan, rintangan atau hambatan.

Lapangan yang bisa kami manfaatkan untuk beragam aneka permainan. Hari ini sepak bola, besok bermain layang-layang, dan lusa bermain gobag sodor.

Tapi, jikalau saya sekarang meminta kembali ke masa kecil kepada Sang Pencipta, apakah akan dituruti keinginan saya?

Jikalau dituruti, ternyata Sang Pencipta berkata, “Engkau boleh kembali ke masa kecil, tapi masa kecil yang sedang dihadapi oleh anak-anak milenium.” Apakah saya akan menyanggupi permintaan itu? Jikalau menyanggupi, apakah saya akan menikmati bermain bersama mereka?

Di lubuk hati yang paling dalam, saya justru tak yakin. Bukan berarti tak mau meleburkan kebersamaan dengan mereka, namun agaknya saya akan mengalami kegagapan. Baik dari metode berinteraksi maupun beragam permainan yang dimanfaatkan.

Saya khawatir malah akan merusak kebersamaan. Saya khawatir tak mampu menyamai level permainan mereka. Saya khawatir.

Dalam benak saya, anak-anak milenium menikmati lapangan yang ukurannya jauh lebih kecil daripada lapangan yang saya mainkan. Jikalau saya bisa bermain dalam ukuran 6×10 meter, dalam dunia milenium, saya hanya bisa bermain lapangan dengan ukuran 5 inci.

Saya tak bisa membayangkan apakah dunia yang mereka mainkan akan menularkan kebahagiaan, merawat interaksi antarmuka, atau menyumbang keceriaan. Dengan ukuran 5 inci, saya membayangkan dunia yang sungguh sempit.
Namun, dalam dunia yang saya jalani saat ini, saya melihat mereka tetap mengeluarkan tawa walaupun kadang sumir, tetap berteriak walaupun kadang terpaksa.

Tapi saya tak tahu apakah mereka tertawa dengan penuh kelapangan hati, atau berteriak dengan lantang tanpa hambatan yang berarti. Yang saya tahu mereka mengeluarkan ekspresi begitu saja. Tanpa terkendali.
Saya malah berpikir seperti ini. Jangan-jangan mereka menggunakan dan mencoba memanfaatkan lapangan dengan ukuran 5 inci, hanya karena saat ini mereka tak bisa menemukan lapangan yang pernah saya mainkan saat dunia masa kecil.

Lapangan yang kini sudah berubah menjadi hutan beton. Hutan yang tak lagi menyediakan keteduhan secara alami melainkan hanya menyajikan ketentraman, walaupun sesaat.

Kalaupun masih ada lapangan yang tersisa, barangkali waktu penggunaan tak tahan lama. Orang-orang dewasa lebih suka mengalih fungsikan lapangan menjadi sesuatu yang bersifat materi.

Menarik minat kaum awam supaya menginvestasikan dana. Banyak. Bahkan cenderung berlebih. Sehingga lapangan untuk anak-anak berkurang. Bahkan bisa dikatakan hilang. Tanpa jejak.

Kalau sudah begitu, saya tak heran jika anak-anak milenium mungkin tak akan mengerti bagaimana rasanya menerbangkan layang-layang, menghilang dan muncul kembali seperti petak umpet, atau bermain kejar-kejaran seperti di gobag sodor.

Saya akan mencoba memahami dan mulai untuk menikmati bagaimana rasanya bermain dalam lapangan dengan ukuran 5 inci. Saya akan mencoba mencari cara untuk melarutkan kesenangan dalam dunia permainan daring.

Tapi, saya tak yakin. Saya masih berharap akan bermain seperti biasa saat dunia masa kecil. Bermain tanpa lelah. Bersama teman-teman hingga tak kenal waktu. Saya masih berharap.

Dan, semoga harapan itu akan saya peram. Sebab, suatu saat saya masih ingin bermimpi kembali ke masa kecil. Entah bagaimanapun caranya. Bukan begitu, kawan-kawan kecilku?

Dipublikasikan pertama kali di FKY 30 oleh Bunda Kata