MUNDUK

Akhirnya saya menginjakkan kaki di Bali lagi setelah lima tahun lamanya. Saat itu, saya mengunjungi Gianyar untuk menghadiri pernikahan kakak sepupu. Kalo kali ini, kedatangan saya membawa misi. Jelajah kretek.


Saya diberitahu oleh teman-teman bahwa di Bali, lebih tepatnya di Munduk, terdapat perkebunan cengkeh. Luasnya lebih dari 350 hektar. Saya membayangkan apabila berkunjung ke sana pasti asyik sekali. Menghirup dedaunan cengkeh sembari menikmati pemandangan pohon-pohon cengkeh.


Di hari pertama, kami mengunjungi Danau Tamblingan, sebuah danau yang terletak di Buleleng. Di sana kami menjelajahi hampir seluruh area dan dipandu oleh Bli Putu Ardana. Cukup asyik menikmati penjelasan beliau. Menyenangkan sekaligus menambah wawasan baru.

Di hari kedua, kami menjelajahi perkebunan cengkeh. Dipandu oleh Bli Bondol dan Bli Komang Armada, kami seperti mendaki gunung lewati lembah. Kadang naik, kadang turun. Selain dipandu oleh mereka, kami juga belajar bersama Bli Putu Wijaya. Di sini kami diceritakan tentang cengkeh di Munduk.


Tahun ini, panen cengkeh terbilang cukup baik. Dengan kisaran harga 85-95ribu per kilogram, para petani cengkeh menikmati hasil sebesar 70%. Namun, tidak sampai 100% karena kekurangan pemetik cengkeh. Kekurangannya diambil dari orang-orang di luar Munduk bahkan ada yang dari Jawa.

Meskipun begitu, panen adalah berkah. Tidak hanya bagi masyarakat Munduk, melainkan juga Bali. Untuk kamu ketahui, panen cengkeh hanya bisa dilakukan setahun sekali. Berapa hasil panennya? Yang jelas banyak dan dalam hitungan rupiah. Bukan dolar ya. Kalo dolar, nanti utang Indonesia bisa lunas dan itu yang membayarnya cukup para petani cengkeh di Munduk~

Selain itu, beliau sedikit bercerita tentang dilema pada perkebunan cengkeh. Yaitu, tentang daun cengkeh yang jatuh dari pohon. Sebagian kecil masyarakat awam, akan mengambil daun cengkeh itu kemudian dijual lagi dan memang menghasilkan nilai ekonomi. Nilainya mungkin tak seberapa. Tapi, ini berkah. Berkah masyarakat.

Akan tetapi, berkah itu kemudian cenderung menjadi masalah. Daun cengkeh yang jatuh seharusnya tidak diambil. Sebab, hal tersebut merugikan secara ekologi. Kelembaban tanah tak dijaga. Humus akan hilang. Dan akhirnya, terjadi eksploitasi berlebihan.

Para pemilik sudah memberikan pengetahuan demikian, utamanya kepada pengambil daun cengkeh. Namun jika berbenturan dengan nilai ekonomi, mereka tidak bisa melarang. Sebab, sampai saat ini, belum ada solusi yang apik nan cerdik untuk mengedukasi mereka.

Ada semacam keyakinan bagi pemilik kebun cengkeh. Apabila cengkeh mengarah ke laut, kualitasnya cenderung baik. Selain itu, secara spiritual ada penghormatan kepada tanaman cengkeh. Namanya Dewa Samhara (kalo salah, mohon dibenarkan) sebagai manifestasi Tuhan dalam konteks merawat tanaman.

Cerita-cerita yang sedemikian rupa membuat kelelahan kami selama perjalanan menjadi hilang. Kami diajak berpikir dan belajar. Merawat dan meruwat tanaman cengkeh.
Selepas cerita, kami menelusuri salah satu air terjun terbaik di Munduk. Namanya Labuan Kebo. Tingginya lebih dari 15 meter. Di sini, kami boleh mencari titik mana yang paling pas untuk berfoto. Seperti contoh, Mz Iqbal yang berfoto telanjang dada, Mz Reza yang asyik tenggelam sembari sesekali menyibakkan rambut super bleaching, atau milord Eswe yang berpose tiduran menghadap dua bule perempuan berbikini sembari berteriak ke muka mereka,

“Hi, my lov”~. Rang anih.

Di hari ketiga, kami menjelajah ke luar Munduk. Bergabung bersama Teater Kalangan yang dikomandoi milord Eswe, sang Mat Kretek. Di sana, kami menyuarakan nada, “Selamatkan Kretek Kita, Selamatkan Indonesia” dan menyiarkan kata #selamatkankretek #negerikretek dan #tolakpact.


Kami sadar upaya kami hanya mampu menjaring melalui media sosial. Tapi, kami yakin melalui media sosial, sebuah pesan akan tersampaikan.

Di Munduk kami menghargai setiap detik demi detik kebersamaan sebuah keluarga. Di Munduk kami menikmati setiap makanan yang disajikan oleh tuan rumah. Makanan yang membuat kami betah dan selalu latah karena ingin terus melahap. Lagi dan lagi.


Di Munduk kami menangkap kebahagiaan, merawat harapan, hingga menautkan cita-cita. Di Munduk kami akan kembali. Bersama lagi.


Tabik!

Cek Kesehatan

Minggu selalu menarik bagi sebagian pekerja. Dengan Minggu, mereka bisa melepas penat setelah menghabiskan waktu di kantor. Saya pun demikian.

Tadi pagi, selepas subuh saya olahraga kecil agar tubuh saya segar. Jika orang memandang bahwa olahraga digunakan sebagai penurun kolestrol, saya menganggapnya lain. Saya berolahraga karena saya ingin makan enak. Itu penting.

Setelah berolahraga, saya keluar rumah. Sejenak mendengar suara burung dan menghirup udara pagi yang segar. Tapi, para tetangga sudah mulai sibuk. Masing-masing orang sudah membawa peralatan yang sepertinya digunakan untuk kerja bakti.

Benar dugaan saya. Kampung yang saya tinggali, Nologaten, sedang dikunjungi oleh salah satu pejabat. Ia adalah Menteri BUMN, Rini Soemarno. Rupanya, ada makna di balik kunjungan tersebut. Menabur benih ikan yang di antaranya ikan bawal dan nila, di Sungai Gajah Wong. Kebetulan, kampung saya berdekatan dengan sungai itu.

Selepas kerja bakti yang dirasa cukup singkat, saya melakukan kunjungan rutin, yaitu ke Sunday Morning UGM. Tempat di mana kamu bisa membeli jajanan atau pakaian.

Sebelum ke sana, terlebih dahulu istri mengajak saya untuk berkunjung ke Graha Sabha Pramana. Sekadar untuk lari mengelilingi satu-dua putaran. Namun, ternyata ada maksud tertentu dari istri.

“Kamu kalo sampe GSP harus cari tempat cek kesehatan, buat cek gula kamu.”

Saya sendiri sebenarnya malas. Terlebih, saya malas untuk melihat hasilnya. Sebenarnya imbauan tersebur sudah berulangkali. Tak hanya diucapkan oleh istri, tapi juga mama. Dasar imbauan tersebut adalah luka kaki kiri mulai dari dengkul hingga menuju tulang kering tak kunjung sembuh. Selalu berdarah bahkan bernanah.

Berulangkali saya mengatakan bahwa lukanya butuh proses. Jadi mungkin agak lama. Namun mereka tak percaya. Demi melegakan hatinya, saya pun mau mengikuti cek kesehatan.

Di sudut barat laut tampak beberapa anak-anak yang menawarkan cek kesehatan. Saya bergegas ke sana. Kemudian oleh anak itu ditanya nama dan umur. Lalu saya dicek tinggi badan, berat badan, dan lain-lain.

Hasilnya?

Normal. Antara tinggi dan berat badan pun ideal. Yang menggembirakan adalah usia sel saya. 18 tahun. Itu artinya 10 tahun lebih muda dari usia saya. Kemudian saya menuju tempat cek gula darah.

“Kok tangannya dingin, Mas?” tanya mbak itu.

Saya ingin menjawab, “Grogi ketemu kamu, mbak.” Namun saya hanya membatin.

Saat dicek, diambil darahnya, saya menunggu dengan hati berdebar. Takut hasilnya tak sesuai harapan. Ternyata harapan itu masih ada. Hasilnya normal. Angka 78 adalah angka yang sangat normal, karena aturannya di bawah angka 200. Lega hati saya.

Sedangkan istri saya justru mendapatkan hasil di luar dugaan. Lemaknya cukup tinggi dan usia sel lima tahun lebih tua. Si Mbak itu memberitahukan bahwa ia harus lebih banyak mengonsumsi buah dan sayur.

Saya tersenyum simpul. Ini artinya dana keuangan bisa lebih hemat, karena tak harus banyak mengonsumsi ayam apalagi kambing. Namun, demi membahagiakan istri, agaknya saya mengabaikan imbauan mbak itu.

Saya mengajak istri untuk makan di Tengkleng Pangestu. Untuk terakhir kalinya, karena mungkin saya tak lagi ke situ bersamanya sebelum lemak dan usia sel normal.

Kecuali kalo dibelikan kantor, itu lain cerita.

Menuntaskan Senja Di Mak Semarangan

Desember belum saja datang namun hujan sudah menerjang. Datangnya pun tak semena-mena. Terus-menerus bahkan tak mau berhenti. 24 jam.

Itu yang saya alami ketika hujan mendera Jogja di Sabtu kelam. Bagaimana tidak? Tiga universitas mulai dari bagian utara, tengah, dan selatan serempak mengadakan wisuda.

Kamu bisa bayangkan bukan? Sudah hujan tak kunjung berhenti, wisuda serentak di tiga universitas dan itu adalah hari Sabtu. Lalu apa yang terjadi? Jogja macet, cet, cet. Macet.

Kalo kamu punya pasangan, mungkin tak jadi masalah. Menikmati rintik hujan ditemani dengan pelukan dari kekasih. Duh. Bagaimana dengan saya yang menjadi bujangan? Ngenes sih iya. Merana? Sudah jelas.

Oleh karena itu, saya pun ingin menghibur diri dengan mencari tempat yang membuat kondisi hati menjadi gembira ria.

Beruntung, salah satu teman menghubungi saya untuk bergabung ngopi di suatu tempat. Letaknya di Jalan Monjali. Lebih tepatnya di seberang pom bensin Monjali. Namanya Mak Semarangan.

Nama yang unik. “Mungkin pemiliknya seorang wanita tua yang ingin menghabiskan waktu di Jogja.” batin saya.

Dugaan saya benar. Begitu masuk di pintu utama, terpampang sketsa wanita tua di dinding. Berkacamata dengan rambut sebahu. Saya berani bertaruh bahwa dulunya beliau adalah wanita cantik nan jelita.

Di lantai pertama terdapat etalase kudapan berupa pai dan minuman berupa sirup kawista. Oh iya, kamu juga jangan kaget. Ketika kamu membuka dengan menarik pintu masuk, selain ada foto dengan penuh sketsa wanita tua, ada semacam lesehan yang di desain layaknya ruangan pengantin.

Saya tertawa kecil. “Idenya boleh juga.” gumam saya. Mungkin, harapan dari pemilik agar setiap orang yang masuk ke sana segera memberanikan diri untuk naik ke pelaminan. Kemudian masuk ke ruangan pengantin. Agar bisa dianggap pasangan yang halal.

Kemudian saya naik ke lantai kedua. Isinya cukup luas. Ada beberapa sketsa “kekinian” di dinding. Aksesoris yang ditaruh di sudut-sudut juga menarik. Cocok buat kaum milenial yang hobi cekrak-cekrik. Kemudian unggah di media sosial.

Lanjut lagi. Saya naik ke lantai paling atas. Lantai tiga. Di sini, tempatnya tak terlalu luas. Hanya ada satu meja panjang. Namun, ada tempat yang sangat cocok bagi kamu untuk mengerjakan tugas sekolah maupun kuliah.

Andai kamu adalah pejuang skripsi, tesis, maupun disertasi, saya sangat menyarankan kamu untuk singgah di tempat ini. Terutama di lantai ketiga.

Saya duduk menghadap sketsa kartun DC dan Marvel. Suasananya sangat nyaman. Apalagi didukung hujan. Sejuk. Untung saya bersama banyak teman. Andaikan sendiri, mungkin saya akan tertidur.

Kemudian untuk menambah kesejukan di ruangan tersebut, saya memesan kopi house blend mak semarangan. Kopi khas Mak Semarangan. Selain itu, saya memesan pai apel dan quinche cheese.

Kudapan tersebut saya pesan karena namanya yang cukup keren. Harapan saya, rasanya bisa memuaskan lidah.
Saya memencet bel yang tersedia. Pramusaji datang. Menanyakan pesanan saya, kemudian bergegas turun untuk membuatkan pesanan saya.

Tak sampai 15 menit, hidangan saya datang. Aroma kopi menguar. Wangi. “Ini pasti enak.” kata teman di sebelah kanan saya.

Dan benar. Ia tak bohong. Saya menyeruput kopi itu. Seteguk demi seteguk. Sungguh menyegarkan sekaligus menghangatkan kerongkongan saya. Favorit.

Kemudian saya mencuil pai apel. Tak terlalu manis. Namun rasanya cukup menggigit. Kalo rasa dari quinche cheese sungguh mengagumkan. Lezat paparampa!!

Jika kamu ingin menghabiskan sore yang hujan sedang turun, saya sarankan memesan kopi house blend Mak Semarangan dengan quinche cheese. Sungguh perpaduan yang manis. Dijamin akan membuat kamu terkesan. Dan ingin mengulanginya kembali.

Sejenak saya iseng. Jalan kesana-kemari. Ingin melihat pesanan di beberapa meja pengunjung. 3 dari 5 memesan quinche cheese. Nah, berarti pesanan saya terverifikasi. Memang quinche cheese yang menjadi kudapan enak di tempat ini.

Saya kembali ke tempat duduk. Menandaskan kopi. Sedikit demi sedikit. Karena jika langsung dihabiskan, saya akan kecewa. Saya tak mau menuntaskan rasa kopi tersebut langsung dalam sekali teguk. Lebih baik pelan-pelan saja. Maka rasa kopi tersebut menjadi paripurna.

Tak terasa, saya menghabiskan dua jam di tempat tersebut. Hujan berangsur reda. Saya bergegas kembali menuju rumah. Saya tak mau menjadi bagian dari kemacetan Jogja. Apalagi itu adalah malam minggu.

Tempat rekomendasi saya bertambah lagi. Mak Semarangan akan menjadi salah satu tempat favorit untuk singgah. Bisa jadi seiring berjalannya waktu, Mak Semarangan akan tampil menjadi salah satu destinasi favorit di Jogja. Yah, semoga harapan saya tak memudar. Karena ketakutan saya, tempat tersebut beralih menjadi apartemen.

Dan untuk Mak Semarangan, saya ingin memberikan dua kata untuk rasa minuman dan kudapan. Lezat paparampa!!!

Merekam Rindu yang Terselip di Kedai Gib-Gib



Jogja terasa sepi saat lebaran. Maklum, identitas Jogja sebagai kota pelajar membuat banyak pelajar yang balik kandang ke kampung halaman. Nah, disaat itulah waktu yang tepat jika kamu ingin berkeliling Jogjakarta. 

Seorang kawan pernah mengatakan bahwa sebenarnya jika ingin mengelilingi Jogjakarta cukup dengan waktu tiga jam. Caranya sungguh mudah. Kamu cukup mengelilingi jalan lingkar atau yang biasa disebut dengan ringroad, maka itu sama saja kamu berkeliling setengah Jogjakarta. Tak percaya? cobalah.

Bagi saya, Jogjakarta adalah rumah. Tempat dimana semua kenangan, rindu, dan harapan pernah hadir di kota tersebut. Yang berpendapat demikian tak hanya saya, hampir setiap orang yang pernah tinggal di Jogja merasakan hal yang sama. Tak kecuali dengan teman-teman saya semasa sekolah. 

Rindu dengan teman-teman boleh dijumpai dengan acara reuni. Acara yang membangkitan gairah dan kenangan lawas. Merekam kesedihan, menertawakan kesengsaraan, meredakan kebahagiaan hingga melantunkan senyuman. Empat hal yang terjadi saat bertemu dengan teman-teman lawas. 

Saat itu, kebetulan beberapa teman kecil nan lawas sedang berkumpul di Jogjakarta. Karena hampir lama kami tak bersua, kami ingin menyempatkan diri untuk sekedar tertawa ngakak bersama. Mengenang masa-masa remaja tanggung yang sering berbuat keonaran. 

Maka dari itu, kami mencari tempat yang pas untuk sekadar melepaskan rindu. Seorang teman menyarankan sebuah tempat. Kedai Gib-Gib. Saya sempat mengernyitkan dahi. Apakah itu kedainya mas Gibran anaknya Jokowi? Atau tempat ngopi?. Teman saya hanya bilang, “Kalo mau cari tempat reuni, paling pas ketemuan di Kedai Gib-Gib.”

Saya pun hanya mengiyakan perkataan teman saya. Kemudian saya bergegas untuk segera menuju kedai tersebut. Letaknya di Jalan Wahid Hasyim no 42 Jogjakarta. Pikir saya, ini pasti tempat hits. Karena setahu saya, sepanjang jalan tersebut ada banyak kedai, kafe, atau tempat ngumpul. Mulai dari kafe dengan harga minimalis hingga kafe dengan harga luar biasa. 

Dugaan saya tepat. Kedai Gib-Gib bersebelahan dengan Kedai OAK, salah satu kedai yang cukup ngehits di seputaran Jogjakarta. Begitu saya masuk, saya disambut banyak tong dan ban mobil. Oh ternyata kedai Gib-Gib membuat sensasi dengan merasakan duduk di atas ban mobil dengan mejanya berupa tong. 

Kedai Gib-Gib menawarkan aneka macam kudapan roti, calzone, dan juga sandwich. Bagi saya yang penyuka roti, tentu ini tawaran menarik dan menggiurkan. Terlebih kata teman saya, roti yang dihasilkan adalah roti dengan kualitas mumpuni. Tak kalah dengan toko roti yang harga selangit dan memiliki banyak cabang dimana-dimana. 

Apalagi calzone. Ini hidangan utama dan andalan di kedai Gib-Gib. “Pastel besar” tersebut kata teman saya itu renyah dan rasanya mak nyuss. Mau rasa apa aja dijamin akan memanjakan lidah dan menyenangkan mata. 

Karena iming-iming tersebut, saya memesan calzone creamy nori. Itu adalah calzone yang berisi keju dan rumput laut. Sedangkan teman saya memesan roti bakar. Saya hanya berharap semoga rasanya sesuai ekspektasi. 

Sembari menunggu pesanan tiba, saya berbincang dengan salah satu teman saya yang secara kebetulan pemilik dari Kedai Gib-Gib. Namanya Yasa. Ia bukan sekadar pemilik tunggal. Ada Singgih dan Satria. Saya penasaran kenapa namanya Gib-Gib. Kok bukan diberi nama Calzone Jogja atau Calzone cepat saji. Menurut Yasa, Gib-Gib adalah nama panggilan anak dari salah satu pemilik. Tidak mau diberi nama lain karena dulunya pernah jualan dengan memakai nama tersebut saat masih berkonsep gerobakan. Daripada diberi nama susah dan njlimet lebih baik mempertahankan nama lama. 

Yasa juga menjelaskan bahwa kedai Gib-Gib awalnya adalah tempat pembuatan roti. Pemasarannya tak hanya rentetan kedai-kedai besar di Jogjakarta melain mencakup ke luar Jogjakarta. Karena salah satu pemilik pandai membuat calzone, maka dibuatlah kedai yang menyajikan roti dan calzone. 

Cukup 15 menit saya menunggu, pesanan telah tiba. Mata saya berbinar-binar melihat empat potongan pizza tersaji di meja. Ditambah dengan aroma roti bakar yang cukup menggoda mulut saya. Rasanya saya ingin menyumpal kedua makanan tersebut ke dalam mulut saya. Tak peduli masih panas, saya mencoba mengangkat salah satu pizza. 

Ada mozzarella yang lumer ketika saya meraihnya. Aduh, ini menambah gairah saya untuk segera menghabiskan pizza ini. Hanya butuh tiga tiupan, maka tandas pizza yang berada di tangan kanan saya. Sungguh, pernyataan teman saya benar adanya. Terbaik. Bintang sembilan.

Berikutnya roti bakar. Ukuran yang cukup besar membuat mata saya sedikit terbelalak. Bentuknya persegi empat dipotong menjadi dua bagian. Sekali lagi, tak butuh waktu lama. Roti segera diraih dan dalam waktu sekejap hilang ditelan oleh mulut saya. Terbaik. Bintang sembilan. 

Tak heran, banyak kedai maupun toko roti ternama banyak yang memesan roti dari kedai Gib-Gib. Saya berani jamin. Itu roti terenak yang pernah saya coba di Jogjakarta. Saya pikir kamu atau teman-teman kamu harus mencoba. Cobalah. Rasakan sensasinya. Pasti ketagihan. Jika saya salah, kamu pasti hanya menyanggah.

Kedai Gib-Gib telah beroperasi sejak Maret 2017. Menurut teman saya, dari harii ke hari pelanggannya makin bertambah. Tak terkecuali bagi pelanggan yang memesan lewat ojek online. Saya hitung sejak saya duduk memesan makanan hingga menandaskan senua kudapan, ada 11 sampai 12 ojek online yang wara-wiri di kedai tersebut. 

“Calon pengusaha sukses” ujar saya kepada Yasu. Yang dipuji hanya tersenyum sembari menundukkan kepala dan mengucap kata “Amin”. 

Tak terasa, sembari makan dan ngobrol ngalor ngidul berbagai hal, malam semakin larut. Kami harus mengakhiri obrolan panjang sebelum jam 00.00. Kedai tersebut tutup tepat dini hari. Obrolan yang menyenangkan disambut dengan kudapan yang membahagiakan. Paduan yang pas untuk mengisi super reuni saat Lebaran. 

Gib-Gib adalah salah satu contoh kedai yang merangkak dari usaha gerobak hingga menjadi sebuah kedai. Suatu usaha yang harus diapresiasi. Tak mudah bagi seorang pengusah untuk jatuh kemudian bangkit kembali secara simultan. Butuh tekad dan mental yang kuat. Pilihan berbisnis dan cita rasa yang disajikan adalah kunci untuk mempertahankan sebuah bisnis makanan. Dan Kedai Gib-Gib telah mengajarkan kepada saya sebuah hal. “Jangan pernah ragu untuk berbisnis.”

Dimuat di minumkopi.com 7/7/2017

Jogjakarta Rasa Padang

​Foto: Dokumen Pribadi

Barang dagangan mulai digelar. Nasi bungkus berbentuk kerucut tertata dengan rapi. Delapan ke bawah dan lima ke samping. Total ada 40 buah. Selain itu, ada pula sate-sate yang tersusun dengan epik. Ada sate puyuh dan sate usus. Sungguh menggoda mata dan memanjakan lidah. Apalagi ditambah tempe kemul yang berukuran telapak tangan dewasa. Lengkap sudah sajian pada malam itu. 

Letaknya berada di pusat kota Yogyakarta. Kamu tak perlu repot untuk mencarinya. Tunggu saja pukul 11 malam. Maka lapak mulai digelar tepat di depan pintu Mall Malioboro. Tak ada papan nama. Tak ada papan petunjuk. Namun orang seringkali menyebutnya Angkringan Padang.

Diberi julukan Padang pun oleh para pelanggannya. Usut punya usut, penjualnya asli orang Padang. Tak hanya itu, jika kamu membeli nasi bungkus maka yang tersaji didalamnya adalah nasi dan lauk angkringan pada umumnya. Perbedaannya hanya satu yaitu menggunakan sambal merah khas Padang. Lauknya pun berbagai macam. Ada T2, TB, TJ, dan masih banyak lainnya. Apa itu?

Kamu mungkin bingung. Saya pun demikian. Setelah saya menanyakan singkatan tersebut pada sang pemilik maka saya menemukan jawabannya. T2 berarti Teri dan Telur, TB berarti Telur Balado, TJ berarti Teri/Telur Jengkol. Sebenarnya masih banyak variannya. Sayangnya, karena saya sangat lapar maka saya hanya memperhatikan ketiga menu tersebut.

Duduk lesehan arah melingkar. Seperti sedang berdiskusi. Tapi kali ini lain. Dihadapan saya ada satu buah nasi T2, 3 tempe kemul dan es teh tawar. Saya hanya ingin menikmatinya. Suapan demi suapan. Gigitan demi gigitan. Dan tegukan tegukan. Menikmati teri, nasi dan menyantap telor secara bersamaan. Setelah sedikit penuh didorong dengan es teh tawar khas angkringan Padang. Sempurna.

Saya benar-benar merasakan suasana Jogjakarta di malam itu. Rame tapi tak berisik. Cerah tapi tak berawan. Sibuk tapi tak sendiri. Semua berkelindan menjadi satu. Saling tegur sapa. Saling memberikan informasi baik. Ini yang mungkin diucapkan oleh Joko Pinurbo bahwa Jogja terdiri dari 3 hal. Rindu, Pulang, dan Angkringan.

Saya benar-benar menghayati apa itu Jogjakarta. Sesuai dengan slogannya. Berhati nyaman dan istimewa. Kalo kata Kla Project, ada setangkup haru dalam rindu. Rindu Jogjakarta itu rindu dengan kesederhanaan orang-orangnya. Saling senyum tanpa ada intrik. Saling tertawa tanpa ada tabir kepalsuan. 

Inikah yang dinamakan pulang ke Jogjakarta ? Ya, tepat sekali. Menyusuri loronh dari rel kereta api menuju benteng Vredeburg. Melewati lintasan pedagang yang mulai berkemas. Menikmati sajian musik lokal dari para musisi jalanan. Sungguh ini malam yang istimewa bagi saya.

Saya berani bertaruh, suasana seperti ini tidak bisa dinikmati setiap malam. Terlebih Jogjakarta berkembang pesat. Malioboro yang pada sejarahnya merupakan taman bunga telah berubah menjadi taman kota. Tempat duduk lebih banyak daripada bunga-bunga yang ditanam. Simbol kebesaran tentang bunga-bunga telah tergantikan dengan simbol kemoderenan tentang tempat singgah. 

Toh, sebenarnya itu juga baik. Jogjakarta memang harus mengikuti perkembangan zaman. Manusia semakin banyak. Kepadatan penduduk makin bertambah. Predikat Jogjakarta sebagai kota dengan tempat tinggal ternyaman di Indonesia menjadi salah satu akarnya. Orang-orang yang memasuki usia senja lebih mengakhirkan hidupnya di Jogjakarta.

Tapi tak semua perkembangan zaman harus diikuti. Jogjakarta yang terkenal dengan sajian alam, jangan sampai mengekor kota lain dengan sajian beton. Cukup alam yang menjadi primadona. Bukan beton yang menjadi daya tariknya.

Namun tampaknya terlambat. Jogjakarta telah berjalan dengan cepat. Mau tak mau daripada selalu dikatakan tertinggal dari kota besar lainnya maka Jogja harus berkembang. Ini bukan permasalahan peningkatan hunian beton. Ini masalah penyesuaian. Memang masih ada yang mau tinggal dalam rumah kayu seperti zaman raja dahulu? 

Nah, kalo soal rasa, bolehlah berubah. Terkadang lidah selalu ingin mencoba makanan yang baru. Apalagi angkringan ini. Mana ada yang menawarkan makanan macam ini. Saya kira Pakde (sebutan untuk pemilik Angkringan Padang) memang ingin mengakuluturasi lidah masyarakat Jogja. Terbiasa dengan nasi sekepalan tangan namun dipadu dengan sambal merah khas Padang. Akulturasi yang berhasil. Cita rasa lidah Jogja dibarengi dengan pedasnya sambal. 

Seorang teman berkata, “setelah malam ini, mungkin aku akan menjadwalkan makan di angkringan ini seminggu 3x”. Namun saya berseloroh, “kalo dirimu seminggu 3x, maka aku akan kesini tiap malam”.

Pakde berhasil memberikan pengalaman dan pengetahuan baru bahwa tak hanya busana yang melalui proses akulturasi melainkan juga makanan pun mampu. Itu semua hanya tersaji di Angkringan khas Padang milik Pakde.
Nb: Tersenyumlah ketika melihat Pakde karena belio adalah mantan orang penting di Indonesia.

Berwisata di Klaten: dari Soto Mbah Gito hingga Sabung Ayam

​Suasana Soto Mbah Gito ⊙ Moddie Alvianto Wicaksono

Hingar bingar pilkada yang ramai di seluruh Indonesia membuat kepala saya terkadang terasa pening. Cuitan demi cuitan hingga pernyataan demi pernyataan saling silang dan saling sulut antar warga. Tak hanya pada situasi nyata, melainkan di media sosial. Hal ini yang membuat saya gerah dan muak. Harapan saya pun cuma satu; hentikan segala omong kosong ini.

Di saat lamunan saya mengambang di antara kepulan asap, salah seorang kenalan mengajak saya pergi ke Klaten pada saat hari H pilkada. Ia berencana mengajak saya berkeliling kota Klaten selama setengah hari. Ajakan tersebut langsung saya sambut dengan antusias. Alangkah menarik jika saya mengisi kekosongan pada hari libur dengan berkeliling kota secara gratis cuma-cuma. Apalagi ternyata Klaten sedang tidak dirundung pilkada.

Berangkat pagi hari dari Jogja adalah sebuah pilihan yang tepat. Hanya butuh waktu 1 jam, saya sudah sampai di Klaten. Letaknya yang bersebelahan dengan Jogja dan jalanan yang kosong melompong, membuat perjalanan saya lebih cepat dari biasanya.

Terik matahari menyapa dengan bahagia ketika saya telah sampai pada destinasi pertama. Semesta sepertinya mendukung saya dan beberapa teman untuk menikmati dan menyelami riak air di wahana ini, Pemandian Jolotundo. Letaknya tidak jauh dari kota Klaten. Hanya berkisar 20 menit perjalanan. Jika Anda sedikit bingung, temukanlah petunjuk ke arah Pasar Jatinom, Anda akan cepat menemukan tempat ini.

Kenalan saya berkata, “ini airnya asli dari pegunungan. Rasakan kesegarannya, Mas.” Perkataannya mengingatkan saya pada sebuah iklan produk yang berlatar belakang suara Cak Lontong.

Tepat sekali pernyatannya. Ketika jempol kaki kiri menyentuh air, seketika rasa dingin menjalar dari ujung kaki hingga kepala. Terlebih ketika kepala terendam seluruhnya di Jolotundo, mak brrrr rasanya. Sejuk dan dingin berkelindan menjadi satu.

Wahana pun penuh. Mulai dari orang tua, muda, orang dewasa, hingga anak kecil berkumpul di tempat ini. Wajar, karena ini hari libur. Harga masuk ke pemandian Jolotundo cukup murah yaitu 3 ribu saja. Di area sekitar kolam pun banyak penjaja makanan dan minuman, tentu juga dibanderol dengan sangat murah. Inilah yang menjadi daya tarik orang-orang untuk mengunjungi pemandian Jolotundo. Dan itu baik bagi pariwisata Klaten.

Kalau sudah begini, rasanya kami pun tak ingin cepat usai. Berendam lama-lama demi mendinginkan badan dan menjernihkan pikiran. Bayang-bayang karut marut politik pilkada pun seketika lenyap. Namun, tentu saja kami harus beranjak untuk melanjutkan destinasi lain. Satu setengah jam dirasa cukup.

Setelah berenang dan berendam cukup lama, rasa lapar jelas merongrong di perut kami. Kami langsung beranjak ke Pasar Jatinom. Kami ingin menyantap salah satu soto terbaik di pasar itu. Letaknya tepat bersebelahan dengan pasar manuk (burung) Jatinom, Soto Mbah Gito.

Ada yang spesial dari Soto Mbah Gito. Soto tersebut hanya buka pada saat Legi (kalender Jawa). Jadi dalam sebulan bisa jadi hanya dibuka selama 4x. Dan soto tersebut dipandang orang-orang sebagai soto legenda. Pemiliknya adalah Mbah Gito yang merupakan generasi pertama. Saat kami berkunjung, beliau masih tampak sehat di usia menjelang 90. Terkadang masih melayani pembeli dan bahkan mengajak kami mengobrol.

“Lenggah rumiyin nggih, Nak (duduk dulu ya nak),”ucap Mbah Gito kepada kami.

Warungnya cukup sederhana. Hanya terdiri dari beberapa kursi dan beberapa meja. Peralatan masak pun masih menggunakan kayu. Sesuatu yang jarang ditemui di era saat ini. Dan ini yang menjadi kekhasan dari Soto Mbah Gito.

Anda mungkin kaget. Jika biasanya soto disajikan dengan mangkok ayam jago, kali ini Anda akan mendapatkan piring ayam jago. Dan ini sudah dilakukan sejak warung ini berdiri.

Ketika soto datang, saya kembali kaget. Porsinya cukup banyak. Dan Anda tahu harganya? Hanya Rp10 ribu. Saya sampai menggelengkan kepala. Mungkin kalau soto ini disajikan di daerah ibukota maka harga bisa 2-3 kali lipat.

Kudapannya juga cukup beragam. Tentu yang paling diserbu adalah gorengan. Mulai dari tahu, tempe, bakwan, hingga pisang. Mengapa banyak diserbu? Selain rasanya maknyusss, harganya cukup Rp500 saja per item. Saya kembali menggelengkan kepala sembari tertawa kecil. Seakan tak percaya. Hahaha

Jangan tanya rasanya. Tapi daripada Anda penasaran, perlu saya beritahu. Rasanya enak, gurih, dan mantap surantap. Beberapa teman bahkan harus nambah 1 porsi lagi karena luar biasa enaknya soto Mbah Gito. Dilengkapi dengan remah-remah gorengan yang bertaburan di atas soto, maka tuntaslah rasa lapar yang merongrong di perut kami. Rasanya puas dan bisa dikatakan harga kaki lima rasa bintang lima. Bahkan kalau perlu lebih dari bintang lima.

“Mangke mbok menawi mriki malih, seng isuk rawuhe nggih, Mas (Lain kali kalo datang kesini, lebih pagi ya Mas),” ujar Mbah Gito saat kami ingin bersalam-salaman, pamit, dan berfoto ria dengan beliau.

Ketika kami keluar dari warung Mbah Gito, kami disambut dengan hiruk pikuk penonton. Oh, ternyata sabung ayam. Waw, di saat budaya ini mulai punah. Tampak di Pasar Jatinom, sabung ayam masih dilestarikan. Ayam yang dipilih pun tidak main-main. Harganya pun bisa melonjak jika memenangkan sebuah pertarungan. Ini yang menjadi minat penonton. Sesekali teriak “Ayo” atau pun tepuk tangan menghiasi arena sabung ayam.

“Ini hanya terjadi pada saat Legi, Mas. Dan ini demi kearifan lokal,” ujar Pak Dul yang mengantarkan kami berkeliling melihat arena sabung ayam.

Saya kira itu pernyataan yang tepat. Memang, banyak agama dan budaya yang saling bersinggungan. Ada yang boleh, ada pula yang dilarang. Namun kearifan lokal sejatinya memang harus dijaga dan dikontrol. Hal ini supaya kita sebagai generasi milineal tak tercerabut dari akar budaya Indonesia. Dan Klaten masih menjaga pesona kearifan lokal tersebut.

Kami kemudian diajak berkeliling pasar Jatinom. Di sana banyak barang yang dijajakan, mulai dari stagen yang merupakan barang paling dicari oleh wisatawan. Di bagian depan terdiri dari pakaian macam jas, batik, maupun stagen. Di bagian tengah terdiri dari penjaja makanan seperti sate maupun gule kambing. Tak ketinggalan pula penjaja tembakau linting masih banyak tersedia di pasar tersebut.

Sedangkan di belakang terdiri dari alat-alat dapur maupun alat-alat besi macam palu dan arit, eheem. Ini serius. Malah hampir di setiap sudut terdapat palu dan arit. Hal ini sesuatu yang wajar karena banyak dari masyarakat Jatinom bekerja sebagai petani.

Rasanya sungguh puas. Mengelilingi Klaten. Mengunjungi destinasi menarik. Menyantap makanan lezat dan menikmati sabung ayam. Dan ini menjadi poin penting bagi pariwisata Klaten. Setidaknya slogan Klaten Bersinar dapat wangi dan harum menyerbak melalui pariwisata bukan melalui dinasti politik oligarkinya.

Tukisan ini dimuat di minumkopi.com pada tanggal 26 Februari 2017.

Menyantap Cita Rasa Nasi Goreng Tembakau

 

Nasi Goreng Tembakau | © Moddie Alvianto Wicaksono

Apa yang kamu ketahui tentang Temanggung? Kopi? Tembakau? Jika kamu menyebutkan keduanya, maka jawabannya tepat sekali. Kalo boleh dibilang, kopi dan tembakau menjadi dua komoditi penting bagi Temanggung.

Kamu bisa lihat bahwa Temanggung termasuk dalam 10 penghasil kopi terbaik di Indonesia. Ada beberapa daerah di Temanggung yang termasuk penghasil kopi, seperti Kandangan, Lereng Sindoro, Lereng Sumbing, atau Wonotirto. Nama daerah yang disebut terakhir berhasil meraih juara dua kontes kopi di SCAA Expo 2016 USA dengan varietas kopi arabika Wonotirto.

Jika kamu masih mengingat nama Mukidi pada awal tahun 2016, tentu kamu tidak bisa meninggalkan ingatan tentang Temanggung. Ya, Mukidi adalah pria asal Temanggung. Dan Mukidi memiliki Rumah Kopi Temanggung. Ia juga menjual berbagai varietas kopi termasuk kopi asli Temanggung.

Selain kopi, tembakau menjadi hal paling penting dari Temanggung. Tembakau pula yang menggerakkan perekonomian Temanggung. Tak heran, sempat beberapa tahun silam ada demo dari petani Tembakau menyangkut isu tembakau yang kurang sehat. Dan itu jelas mengganggu perekonomian mereka.

Banyak masyarakat yang bergantung dari tembakau. Dan dari tembakau pula banyak olahan yang dihasilkan. Kita mungkin mengenal bahwa tembakau hanya digunakan untuk rokok. Namun dari Temanggung, kita mengenal olahan lain. Apa itu? Nasi Goreng Tembakau.

Saya tak pernah membayangkan bagaimana jadinya ketika tembakau dicampurkan dengan nasi goreng. Sepengetahuan saya, tembakau hanya digunakan untuk rokok. Tak ada yang lain. Tapi masyarakat mengolahnya dalam bentuk lain.

Sesungguhnya bagaimana rasanya? Pahit? Manis? Lalu baunya seperti apa? Wangi? Apek? Saya pun tak bisa menduga-duga. Apalagi saya juga tak pernah sekali pun mencoba untuk merokok. Tentu akan menjadi pengalaman menarik bagi saya jika mencoba tembakau. Dan itu akan menjadi pengalaman pertama seumur hidup saya untuk mencoba tembakau. Tentunya dalam bentuk nasi goreng.

Pengalaman tersebut saya coba ketika rasa lapar menyerang secara tiba-tiba di malam minggu kemarin. Kebetulan saat itu, saya dan istri sedang berada di kota Temanggung untuk suatu urusan. Sang istri menyarankan saya untuk menyantap kuliner unik Temanggung. Namanya nasi goreng tembakau. Saya hanya sedikit tersenyum sembari mengernyitkan dahi. Unik dan aneh.

Tapi karena perut berbunyi berulangkali, apa boleh buat saya terima tawaran istri saya. Mencoba nasi goreng tembakau.

Letaknya hanya sejauh tendangan Tsubasa Ozora dari alun-alun kota Temanggung. Lebih tepatnya sebelah barat alun-alun tersebut. Namun untuk menuju tempatnya, kamu harus hati-hati. Kenapa? Karena letaknya tepat di pertigaan yang jalannya curam ke bawah. Boleh dibilang, tempatnya berada di daerah tusuk sate.

Kalau pun masih bingung, carilah tulisan Temanggung Bersenyum dengan blok warna merah. Kalo ndak ketemu juga? Ya sudah tanya Mbah Google. Dijamin ketemu.

Begitu masuk ke ruangannya (saya lebih suka menyebut kedai), mungkin Anda sedikit terkagum-kagum. Warna kuning dan merah mendominasi. Di sebelah kiri ada beberapa foto artis. Salah satunya penari Indonesia yaitu Didik Nini Thowok. Di sebelah kanan ada 21 foto mantan bupati Temanggung. Mulai dari bupati pertama yaitu Raden Tumenggung Ario Djojo Negoro hingga bupati saat ini yaitu Bambang Sukarno.

Jika masuk lebih dalam maka kamu akan menemukan televisi kuno dan beberapa majalah dan buku tentang sejarah maupun pesona Temanggung.

Kedai Temanggung Bersenyum sudah ada sejak 3 tahun silam. Kedai ini terdiri dari dua lantai. Banyak orang lebih memilih di lantai dua. Mungkin supaya mereka lebih leluasa untuk mengobrol dan menikmati hawa yang cukup dingin pada malam itu. Saya dan istri sengaja memilih di lantai pertama. Alasannya, lebih dekat dengan dapur dan lebih mudah mencium bau masakan.

Istri saya memesan nasi goreng jawa sedangkan saya tentu saja memesan nasi goreng tembakau. Sebenarnya ada yang lebih khusus lagi, nasi goreng tembakau srintil. Namun karena saya belum pernah mencoba tembakau dan biar ndak kaget maka saya mencoba nasi goreng tembakau saja.

Hanya perlu menunggu tidak lebih dari 15 menit saja, nasi goreng tembakau hadir tepat di hadapan saya. Baunya harum. Wangi. Tapi bagaimana rasanya? Suapan pertama, biasa saja. Suapan kedua, ya sama saja seperti pada suapan pertama. Kemudian saya mencoba mencampurkan tembakau yang diletakkan di atas nasi goreng.

Oh, hmm, ada sensasi unik di mulut saya. Sedikit pahit namun baunya tetap wangi. Dan secara tak sadar saya menghabiskan nasi goreng tembakau tersebut kurang dari 5 menit.

Ternyata enak juga. Saya tak menyangka jika nasi goreng ditambahkan tembakau ada sensasi tersendiri di mulut. Dan kita harus menghargai kreativitas masyarakat Temanggung dalam meracik tembakau. Fantastista.

Soal harga, kamu akan mendapatkan harga yang pantas. Cukup 14 ribu saja. Tapi jika kamu ingin mencoba menu lain maka ada lumpia, bakpao, ataupun dimsum. Ada pula minuman macam Bir Plethok maupun Wedang Uwuh.

Namun, tetap saja alangkah sayang sekali jika kamu melewatkan kuliner unik dari Temanggung yang satu ini. Nasi Goreng Tembakau.

Tulisan ini dimuat di minumkopi pada tanggal 2/2/2017.

Tawa, Canda, dan Bahagia di Tahun Baru

Di seluruh dunia bahkan di Indonesia, tahun baru selalu dihadirkan secara semarak. Kembang api bertebaran, petasan dibunyikan maupun terompet ditiupkan. Riuh orang akan berkumpul dalam satu titik yang kemudian akan berteriak bersama. Selamat Tahun Baru. Begitulah ucapannya.

Tetapi kami menikmati tahun baru dengan cara yang lain. Sejenak kami ingin memalingkan keriuhan Jogjakarta dengan menepi untuk menyesap keheningan di DolaNdeso. Sebuah tempat yang menyajikan suasana pedesaan di daerah Kulonprogo.

Kami berjumlah 21 orang bersepakat menuju DolaNdeso pada sabtu siang. Ini dilakukan demi menghindari keramaian maupun kemacetan. Kami adalah saya, istri, Kang Amal, Teh Nipong, Mbak Desti dan Teuku Nico. Selain itu ada sekumpulan pemuda-pemudi yang tergabung pada salah satu butik terkenal di Indonesia. Reisa Garage. Bunda Reisa, Ayahanda Aham, Hiday, Aprisa, temannya Aprisa, Vero, Jara, Atin, Ana, Dika, Didik, Yodi, Joshua, Angga, Tika, dan Wak Komar.

Di DolaNdeso, kami sengaja memilih tempat yang paling ujung. Tempat yang terhindar dari keramaian sehingga kami bisa melepaskan zat endorphin secara teratur. Tidak sulit bagi kami untuk melakukannya. Karena begitu sampai di tempat yang kami pilih, hamparan danau buatan berisi daun teratai dan tanah yang lapang menjumpai pandangan mata kami.

Di sisi selatan, terdapat wahana outbound yang berjumlah 10 macam. Disana kami saling mencoba satu persatu. Ada Joshua yang terpeleset ketika melewati seutas tali. Ada Didik yang secara sengaja menceburkan seluruh badannya ke dalam air ketika bermain Flying Fox. Ada pula Aham yang secara tidak sengaja mengalami ‘kecelakaan’ bersama Reisa sehingga mereka tenggelam di danau asmara.

Malam sembari menanti pergantian tahun baru, kami berkumpul di pelataran Ombo. Duduk melingkar sembari mengucap janji dan harapan untuk tahun 2017. Ada yang berharap segera menikah. Diberikan momongan. Ingin menjadi lebih baik. Ingin menjadi lebih beruntung. Kalo awak-awak Reisa Garage, harapannya semua sama. Kenaikan gaji atau mendapatkan tunjangan yang lebih baik.

Semoga Ayahanda Aham dan Bunda Reisa senantiasa mendengarkan dan mengabulkan. Mungkin.

Setelah itu kami yang terbagi 4 tim menyanyikan pelbagai lagu. Aham menyanyikan lagu milik Geisha. Kemudian Atin menyanyikan lagu berbahasa Inggris. Saya agak lupa. Sepertinya Taylor Swift. Desty menyanyikan lagu Andeca-andeci. Dan last but not least, Didik menyanyikan lagu Terlalu Manis milik Slank.

Di sisi lain, para mamah-mamah muda menyiapkan berbagai kudapan untuk disajikan dan dinikmati. Ada tempura, jagung, sosis, dan roti. Meskipun mulanya sedikit kesulitan untuk membuat api di anglo. Tapi berkat keahlian dan ketekunan Kang Amal, Mas Angga dan Ayahanda Aham maka segala permasalahan terselesaikan.

Makanan matang. Beberapa dari kami mulai menikmati aneka macam kudapan. Tak berapa lama, petasan dan kembang api mulai menyeruak dan memenuhi cakrawala. Para awak-awak Reisa Garage macam Yodi dan Didik tak mau ketinggalan. Lari menuju sawah dan segera membakar petasan.

Duar. Duar. Duar. Suara dari petasan memekikkan telinga. Berkelindan menjadi satu hingga membentuk suara yang beraneka macam. Sejenak kami sempat dimarahi oleh Pak Gondrong. Tapi kami tak kunjung kehilangan akal. Berlari cepat menuju mobil dan kembali meledakkan petasan di tengah sawah.

Semoga suara dari petasan tersebut menandakan tahun 2017 akan lebih berarti bagi kami. Setelah itu, kami tertidur pulas hingga beberapa dari kami pun mendengkur lumayan keras.

Esoknya, kami bersiap menuju danau asmara. Sebagian awak-awak Reisa Garage yang masih berbau kencur segera bergelut dengan lumpur di tempat tersebut. Kami para sesepuh tampak harus bergantian dengan remaja masjid Condongcatur yang kebetulan juga memenuhi danau asmara.

Toh begitu mereka usai, kami pun tak luput untuk menceburkan diri. Mencoba rintangan dan halangan satu demi satu. Mata desty mencoba menyirobok tatapan Nico. Ya. Mereka mencoba mengikatkan batin dan pikirannya untuk melewati bambu romansa. Sayang, akibat teriakan dari mamah-mamah muda membuyarkan konsentrasi mereka. Desty terjatuh.

Setelah hampir 1 jam lebih, kami bersih diri. Tak lupa kami memercikkan kenangan dengan foto bersama di pendopo DolaNdeso. Mengucapkan terima kasih kepada mbak Wita selaku pengelola DolaNdeso. Kemudian kami beranjak menuju destinasi berikutnya.

Destinasi selanjutnya adalah Hutan Mangrove dan Pantai Pasir Mendit.

Disini animo pengunjung luar biasa. Hari-hari biasa hanya berkisar 200-300 pengunjung. Namun menurut info yang saya dengar, hari minggu itu pengunjungan mencpai 10x lipat. Hampir 2000 orang.
Wisata yang baru dibuka pada awal tahun 2016 memang tergolong langka bagi masyarakat Jogjakarta. Ya. Seumur-umur saya berpijak di tanah Jogjakarta, baru kali ini mengunjungi hutan mangrove.

Ekspektasi saya melayang kemana-mana. Menganggap hutan mangrove seperti di Kalimantan maupun Sumatra yang sangat indah. Anggapan saya sedikit salah. Tak sedikit pula yang kecewa. Termasuk Fero dan Jara. Pada Maret 2016, dulunya hutan mangrove tak seramai ini bahkan jalan masuknya sudah berbeda. Kalo sekarang lebih rumit dan jarak tempuh lebih panjang.

Kalo Jara menganggap tempatnya biasa saja. Toh, masih bagus yang ada di Balikpapan. Setidaknya ini menjadi pekerjaan rumah tidak hanya bagi pemerintah melainkan juga masyarakat yang menikmatinya. Terlihat masih banyak sampah berserakan.

Harga tiket tergolong murah. Hanya 4 ribu rupiah. Dan harga tersebut sepadan dengan fasilitas yang diberikan. Kami melewati taman cemara. Kemudian mengekor untuk saling menahan nafas.

Ya, itu kami lakukan karena harus melewati jembatan cinta. Sejatinya namanya kurang tepat. Seharusnya jembatan goseng. Goyang dan Senggol.

Sebelum melewati jembatan goseng, kami ingin menikmati naik perahu di sungai ‘Amazon’. Saya bisa berkata begitu karena memang mirip. Cuman ndak ada buaya dan piranha. Hanya ikan darat. Tapi toh tetap saja beberapa dari kami agak tegang untuk menikmati perahu tersebut. Bayang-bayang buaya dari pantai Congot sedikit menghiasi pikiran kami. Untungnya itu tak terjadi di sungai ini.

Berikutnya kami melewati jembatan cukup aduhai nan membuat jantung bedegup kencang.

Betapa mengerikannya. Tak ada pegangan bagi kami yang menuju pantai. Satu per satu kami melewatinya. Sensasi goyang dan angin kencang mewarnai perjalanan yang begitu riang. Dan saya pun sempat melamun. Membayangkan anak-anak SD yang tempo hari harus berjalan melewati jalan terjal dan jembatan yang hanya bisa dilewati dengan ke-enam jemari kaki. Dan itu terjadi di Indonesia.

Sesampai di pasir mendit, saya, istri, Kang Amal, dan Teh Nipong bergegas menuju ke pinggir laut. Menikmati deburan ombak dan sayupan angin yang berhembu dari timur ke barat. Kalo kata istri saya, tidak sah apabila ke pantai tidak terkena air laut. Dan itu kami lakukan menjelang air pasang sekitar pukul 16.16.

Menjelang jam 5 sore, kami beranjak. Melewati kembali jembatan goseng dengan hati-hati. Dan tiba di tempat parkir dengan selamat sentausa.

Bahagia dalam keintiman perjalanan adalah hal yang harus dilakukan manusia ketika raga dan jiwa masih sehat. Karena perjalanan adalah alasan mengapa bahagia itu diciptakan.

Menepi untuk Menyesap Segelas Kopi Klothok

Pemandangan bagian belakangPemandangan bagian belakang Kopi Klothok | © Moddie Alvianto Wicaksono

Awan mendung menggelayut di langit tak menyurutkan keinginan saya dan beberapa untuk menyusuri jalan Kaliurang, Yogyakarta. Oleh salah satu tetangga sebelah rumah, kami disarankan untuk mengunjungi sebuah warung kopi di daerah tersebut. Letaknya dekat salah satu kampus swasta ternama di Yogyakarta. Katanya, warung kopi tersebut pas untuk dikunjungi orang-orang yang ingin sekadar menjauhi keriuhan Yogyakarta.

Benar sekali. Yogyakarta kini memang sangat ramai. Terutama di saat-saat liburan sekolah. Berjubel bus dan mobil pribadi dari luar kota hampir memenuhi seluruh tempat-tempat wisata. Mulai pantai, gunung, warung makan, maupun warung kopi. Tak terkecuali warung kopi yang akan kami tuju.

Kopi klothok, demikian namanya. Jangan salah menyebut huruf “o” dengan diganti “a”. Karena jika diganti “a” maka akan menjadi sejenis sate kambing asal daerah Imogiri, Yogyakarta bagian selatan: sate klathak.

Tak sulit untuk menemukan lokasi penjual kopi klothok ini. Papan-papan dengan tulisan ‘kopi klothok’ cukup jelas dengan latar belakang warna kuning. Jika Anda berjalan dari arah selatan maka Anda akan menemukannya tepat di sebelah kanan. Jalan masuknya cukup sempit. Jika menggunakan mobil, maka harus bergantian satu dengan yang lain.

Begitu sampai di tempat, puluhan mobil tertata rapi memnuhi area parkir. Begitu pula dengan sepeda motor. Benar kata tetangga saya. Warung kopi yang buka dari jam 8 pagi sampai jam 5 sore ini memang tak pernah sepi pengunjung. Termasuk senja di Selasa sore itu.

Kopi Klothok di tengah kami
Kopi Klothok di tengah kami | © Moddie Alvianto Wicaksono

Ada dua rumah yang bisa digunakan sebagai tempat bersantai. Bagi yang ingin dekat dengan keriuhan dan keramaian, maka pilihlah tempat yang penuh dengan perabotan berbahan material kayu. Namun jika ingin agak menyepi, maka tersedia tempat yang bahkan bisa membuat Anda tertidur di tempat tersebut.

Kami sengaja memilih tempat yang ramai. Sengaja ingin berbaur muda-mudi, bapak-ibu sampai kakek-nenek. Sayang, hari itu kami tak mendapati kursi di depan, ahirnya kami pun menempati tempat lesehan. Letaknya di luar dengan menghadap hamparan sawah dan sungai. Mengambil dan menggelar tikar dekat dengan kurungan burung pipit. Sejenak mengamati goyangan rumput dan mendengar kicauan burung-burung yang bersahutan. Syahdu? Ya, mungkin diksi itu yang paling tepat menggambarkan suasana senja itu.

Bagaimana tidak, hamparan sawah hijau menjadi pemandangan kami, semilir angin menerpa muka-muka lelah. Sejenak kami terbebas dari polusi, telinga diperdengarkan tawa-tawa bahagia orang-orang bercengkrama. Mereka khidmat menikmati kopi dan sajian pelengkap berupa pisang goreng yang nikmatnya tiada dua, belum lagi suara sendok yang beradu dengan piring dari para penikmat sayur lodeh yang konon menjadi menu andalan di sana.

Semua makanan diambil sendiri oleh pengunjung. Bebas sebebasnya. Kalo perlu ambillah sebanyak-banyaknya. Jangan sampai ada yang terlewat. Untuk menikmati pisang goreng dan jadah maka Anda harus antri terlebih dulu. Kami pun rela mengantri demi seporsi pisang goreng dan seporsi jadah.

Nyesss. Hangatnya pisang goreng langsung mendarat di mulut saya. Meski panas, kami menyantap dengan lahap beserta dengan remah-remahnya. Kopi kami seduh sedikit demi sedikit. Sungguh nikmat rasanya. Tak rugi, kami beserta rombongan jauh-jauh melewati kemacetan Jogja demi menyantap segepok pisang dan secangkir kopi.

Kami kemudian tergerak untuk segera mencicipi sayur lodehnya. Mulut kami sampai klomohklomoh menyantapnya. Rasanya mantap surantap. Apalagi ditambah dengan tempe goreng yang bentuknya sama persis dengan ukuran tangan saya.

Macam-macam Lodeh
Macam-macam Lodeh | © Moddie Alvianto Wicaksono
Pisang Goreng dan Tempe
Pisang Goreng dan Tempe | © Moddie Alvianto Wicaksono

Usai menyantap semua sajian itu, ada beberapa macam makanan dan minuman yang menurut saya menjadi andalan: kopi klothok, pisang goreng, jadah, dan lodeh. Ada tiga macam lodeh yang tersedia. Tapi saran saya, sekali lagi jangan pernah melewatkan untuk tidak makan lodeh tersebut.

Harga yang ditawarkan di warung ini juga menjadi magnet dari warung kopi klothok. Hal inilah yang mungkin menarik puluhan bahkan mungkin ratusan pengunjung setiap harinya. Tak hanya pengunjung lokal, tapi mulai artis, seniman, budayawan, bahkan menteri pernah singgah di warung ini.

Dan tak heran, warung kopi klothok akan menjadi destinasi favorit bagi wisatawan dalam negeri maupun mancanegara. Kami sudah merasakan syahdunya di Kopi Klothok, kamu kapan?

Artikel ini telah dimuat di minum kopi pada 28 Desember 2016.

Ragusa bersama Jakarta

Tiba-tiba 1 helikopter melayang kesana-kemari di area Monas. Beberapa saat kemudian muncul 2-3 helikopter di belakangnya. Keriuhan menuju tanggal wiro sableng (baca:212) tampaknya membuat banyak pihak bersiaga. Termasuk helikopter tersebut.

Suara baling-baling helikopter tersebut mengikuti langkah kami menuju salah satu kedai tertua di Jakarta. Kedai Ragusa. Kedai Eskrim yang telah ada di daerah tersebut sejak lebih dari 70 tahun silam. Bahkan Ragusa telah ada sebelum bangsa Indonesia merdeka dari penjajahan.

Kami mampir sejenak ke Ragusa untuk menghilangkan tenggorokan yang sudah terlanjur kering akibat cuaca panas Jakarta. Begitu masuk, tampak foto-foto kolonial berjejer di kanan kiri. Foto menu berada diatas foto-foto kolonial. Perabotan yang ada di Ragusa masih terawat dengan baik. Persis seperti apa yang ada di beberapa foto tersebut.

Tak ada pramusaji yang menyilahkan kami untuk duduk. Kami bebas memilih tempat duduk. Kami memilih duduk tepat di depan perempuan renta yang berdiri sambil sibuk menghitung jumlah uang. Tampaknya perempuan tersebut adalah pemilik dari Ragusa. Ketika kami duduk, ia menyuruh pramusaji untuk bergegas melayani kami. Kemudian kembali menghitung uang.

Pramusaji menyodorkan beberapa menu yang membuat kami segera ingin melahap eskrim tersebut. Chocolate sundae, banana split, dan raisin rum adalah menu eskrim yang kami pilih. Sayangnya, raisin rum sedang kosong. Padahal menurut sepupu saya, raisin rum adalah eskrim terbaik Ragusa. Dengan sedikit tambahan alkohol, maka cita rasa raisin rum bakal meledak di mulut. Sayangnya, kali ini hal tersebut hanya angan-angan.

ragusa

Kedai Ragusa ©Alit

Tua, muda, remaja, renta, berpasangan, dan jomblo mengisi tempat duduk yang telah tersedia pada siang itu. Ada yang bercengkrama masalah kantor, ada yang swafoto kemudian mengabadikan foto tersebut di salah satu media sosial, dan ada pula yang membicarakan hiruk pikuk politik Jakarta. Kota ini memang selalu ramai diperbincangkan. Terutama menjelang hari itu.

Semangkuk chocolate sundae dan banana split telah hadir di hadapan kami. Suapan pertama. Ah, rasanya masih sama seperti yang dulu. Sama seperti 15 tahun yang lalu terakhir kali ke Ragusa. Dan memesan menu yang sama. Seperti nostalgia. Kenangan masa.

Cuaca Jakarta memang cukup panas. Saya menghabiskan chocolate sundae tak lebih dari 10 menit. Tenggorokan seperti tercekat. Ditambah hawa menyengat. Dan tensi politik Jakarta yang kian meningkat membuat saya lahap menghabiskan semangkuk chocolate sundae yang sungguh nikmat.

Harga yang ‘cukup’ terjangkau membuat Ragusa selalu menjadi tujuan kuliner eskrim. Sembari memesan eskrim, ada pula yang memesan sepiring sate dan lontong di kedai sebelah. Tampaknya pemilik Ragusa tidak memberi biaya tambahan jika pengunjung memesan makanan di lain kedai. Tidak seperti kedai modern masa kini.

Ragusa selalu menawarkan cita rasa. Manis, legit dan dingin. Jakarta selalu menghadirkan aneka rupa. Senang, tegang atau remang-remang. Terutama menjelang dua satu dua.