Akhirnya saya menginjakkan kaki di Bali lagi setelah lima tahun lamanya. Saat itu, saya mengunjungi Gianyar untuk menghadiri pernikahan kakak sepupu. Kalo kali ini, kedatangan saya membawa misi. Jelajah kretek.
Saya diberitahu oleh teman-teman bahwa di Bali, lebih tepatnya di Munduk, terdapat perkebunan cengkeh. Luasnya lebih dari 350 hektar. Saya membayangkan apabila berkunjung ke sana pasti asyik sekali. Menghirup dedaunan cengkeh sembari menikmati pemandangan pohon-pohon cengkeh.
Di hari pertama, kami mengunjungi Danau Tamblingan, sebuah danau yang terletak di Buleleng. Di sana kami menjelajahi hampir seluruh area dan dipandu oleh Bli Putu Ardana. Cukup asyik menikmati penjelasan beliau. Menyenangkan sekaligus menambah wawasan baru.
Di hari kedua, kami menjelajahi perkebunan cengkeh. Dipandu oleh Bli Bondol dan Bli Komang Armada, kami seperti mendaki gunung lewati lembah. Kadang naik, kadang turun. Selain dipandu oleh mereka, kami juga belajar bersama Bli Putu Wijaya. Di sini kami diceritakan tentang cengkeh di Munduk.
Tahun ini, panen cengkeh terbilang cukup baik. Dengan kisaran harga 85-95ribu per kilogram, para petani cengkeh menikmati hasil sebesar 70%. Namun, tidak sampai 100% karena kekurangan pemetik cengkeh. Kekurangannya diambil dari orang-orang di luar Munduk bahkan ada yang dari Jawa.
Meskipun begitu, panen adalah berkah. Tidak hanya bagi masyarakat Munduk, melainkan juga Bali. Untuk kamu ketahui, panen cengkeh hanya bisa dilakukan setahun sekali. Berapa hasil panennya? Yang jelas banyak dan dalam hitungan rupiah. Bukan dolar ya. Kalo dolar, nanti utang Indonesia bisa lunas dan itu yang membayarnya cukup para petani cengkeh di Munduk~
Selain itu, beliau sedikit bercerita tentang dilema pada perkebunan cengkeh. Yaitu, tentang daun cengkeh yang jatuh dari pohon. Sebagian kecil masyarakat awam, akan mengambil daun cengkeh itu kemudian dijual lagi dan memang menghasilkan nilai ekonomi. Nilainya mungkin tak seberapa. Tapi, ini berkah. Berkah masyarakat.
Akan tetapi, berkah itu kemudian cenderung menjadi masalah. Daun cengkeh yang jatuh seharusnya tidak diambil. Sebab, hal tersebut merugikan secara ekologi. Kelembaban tanah tak dijaga. Humus akan hilang. Dan akhirnya, terjadi eksploitasi berlebihan.
Para pemilik sudah memberikan pengetahuan demikian, utamanya kepada pengambil daun cengkeh. Namun jika berbenturan dengan nilai ekonomi, mereka tidak bisa melarang. Sebab, sampai saat ini, belum ada solusi yang apik nan cerdik untuk mengedukasi mereka.
Ada semacam keyakinan bagi pemilik kebun cengkeh. Apabila cengkeh mengarah ke laut, kualitasnya cenderung baik. Selain itu, secara spiritual ada penghormatan kepada tanaman cengkeh. Namanya Dewa Samhara (kalo salah, mohon dibenarkan) sebagai manifestasi Tuhan dalam konteks merawat tanaman.
Cerita-cerita yang sedemikian rupa membuat kelelahan kami selama perjalanan menjadi hilang. Kami diajak berpikir dan belajar. Merawat dan meruwat tanaman cengkeh.
Selepas cerita, kami menelusuri salah satu air terjun terbaik di Munduk. Namanya Labuan Kebo. Tingginya lebih dari 15 meter. Di sini, kami boleh mencari titik mana yang paling pas untuk berfoto. Seperti contoh, Mz Iqbal yang berfoto telanjang dada, Mz Reza yang asyik tenggelam sembari sesekali menyibakkan rambut super bleaching, atau milord Eswe yang berpose tiduran menghadap dua bule perempuan berbikini sembari berteriak ke muka mereka,
“Hi, my lov”~. Rang anih.
Di hari ketiga, kami menjelajah ke luar Munduk. Bergabung bersama Teater Kalangan yang dikomandoi milord Eswe, sang Mat Kretek. Di sana, kami menyuarakan nada, “Selamatkan Kretek Kita, Selamatkan Indonesia” dan menyiarkan kata #selamatkankretek #negerikretek dan #tolakpact.
Kami sadar upaya kami hanya mampu menjaring melalui media sosial. Tapi, kami yakin melalui media sosial, sebuah pesan akan tersampaikan.
Di Munduk kami menghargai setiap detik demi detik kebersamaan sebuah keluarga. Di Munduk kami menikmati setiap makanan yang disajikan oleh tuan rumah. Makanan yang membuat kami betah dan selalu latah karena ingin terus melahap. Lagi dan lagi.
Di Munduk kami menangkap kebahagiaan, merawat harapan, hingga menautkan cita-cita. Di Munduk kami akan kembali. Bersama lagi.
Tabik!