Andres Townsend: Aku Bukanlah Anak Emas


TALKSPORT-Andros-Townsend

Sumber foto: talksport.com

Aku bukanlah pemabuk.

Aku juga bukan pemakai narkoba.

Aku bahkan tak pernah terpikirkan sepanjang hidupku memasuki sebuah kelab malam.

Dan juga aku pernah kehilangan 46 grand hanya dengan sekali ketuk ponselku. Aku bahkan tak keluar dari ruanganku. Aku mungkin menjadi satu-satunya anak dalam sejarah yang kehilangan £46,000 di tempat tidur pada hari Rabu malam di Blackpool.

Ini bukanlah cerita anak emas. Aku akan menceritakan kepadamu sejelas-jelasnya.

Anda bukanlah membaca sebuah kisah dongeng, maaf, aku harus memberitahukanmu. Aku tidak suka membicarakan tentangku terlalu banyak, juga aku tak ingin menceritakan kisahku ke seluruh dunia. Aku mengatakan kepada orang-orang di luar sana–yang telah disalahpahami, merasa tertekan, tersesat, khususnya untuk mereka yang telah berjuang melawan kecanduan.

Aku di sana, 100%.

Tetapi, sebelum kita mendapatkan hal tersebut, Anda membutuhkan sebuah kilas balik masa lalu.

Setiap bagian dari kita, baik dan buruk, memiliki alasan di balik itu semua, kan?

Mengapa kamu bahkan tahu sebuah nama Andros Townsend–seorang anak yang berasal dari Chingford?

Okee, kita memulai dengan sebuah cerita tentang saudaraku, Kurtis Townsend.

Dia lebih tua delapan tahun dariku sehingga secara alami, dia adalah idolaku. Dia mungkin menjadi pahlawan jika dia ahli dalam matematika atau puisi, tetapi yang terjadi dia adalah pesepak bola yang andal, sehingga dia adalah panutanku.

Aku mempunyai sebuah obsesi, yaitu suatu saat aku akan menjadi seperti Kurtis, segala yang dia ajarkan tentang sepak bola. Salah satu lapangan akademi Arsenal terletak di seberang jalan rumah kami–memang kenyataannya demikian. Jadi saat saya berada di luar sana, rasanya ingin menendang dan masuk menjadi bagian tokoh-tokoh sepak bola Corinthian.

Masih ingatkah Anda? Generasi 90-an pasti tahu akan hal itu. Tubuh yang ramping dan kepala yang besar. Mereka bahkan tak berpindah! Mereka hanyalah patung. Akan tetapi, aku sangat terobsesi dengan keberhasilan Corinthians, tim favoritku. Setiap Natal, Aku mendapatkan semacam darah baru dalam tubuhku. Aku memiliki Ronaldo, Henry, Zola, dan Cafu. Lalu, Ronaldinho datang selama perayaan jendela transfer dan kami memiliki aneka drama. Seseorang perlu ke bangku cadangan, kan?

Dramas. Pers telah menyebarluaskan.

Itualah duniaku. Aku tidak melakukannya setengah-setengah. Ketika aku berusia tujuh tahun. Aku bersiap di Akademi Tottenham, dan Kurtis mencoba peruntungan di Wimbledon. Di mimpiku, kami akan bermain bersama di Premier League suatu saat nanti.

Anda tidak dapat memberitahukanku tentang perbedaan. Dia adalah pahlawanku.

Sayangnya, hidup tidaklah seindah bayangan di benakmu.

Ketika Kurtis berusia 18, dia berada dalam perjalanan untuk melanjutkan sebuah pertandingan semiprofesional di Luton dengan kawan-kawannya. Naas, mobil yang ditumpangi mereka mengalami kecelakaan. Semua selamat kecual kakakku.

Kamu tahu, aku selalu membenci ketika seseorang menulis sebuah kisah tentang atlit yang kehilangan sosok yang begitu dekat dengannya, dan mereka membuatnya terlihat seperti kematian sseseorang adalah puncak kesuksesan.

Kehilangan kakakku membuat diriku bekerja lebih keras. Itu membuatku kesulitan mencetak lebih banyak gol. Itu terasa sakit dan mengerikan selama beberapa waktu. Itulah yang terjadi. Aku rindu setiap kenangan bersama dengannya.

Ingat sebuah lagu Puff Daddy dan Mary J. Blige yang rilis setelah kematian Biggie Smalls?

Setiap langkah yang kuambil, setiap langkah yang akan kulakukan

Setiap hari, setiap kali aku berdoa

Aku akan merindukanmu 

Mereka menyanyikannya, dan aku tak tahu kenapa, tetapi itu menghancurkanku. Aku memulai berpikir tentang kakakku, dan aku tak berhenti menangis. Aku bahkan tak sanggup berbicara menjelaskan mengapa semua ini bisa terjadi. Aku hanya bisa menangis dengan keras sehingga guruku memintaku untuk pulang ke rumah.

Ketika kamu kehilangan pahlawanmu, itu bukanlah bagian dari dongeng. Itulah kehidupanmu dan kamu tak bisa kembali ke masa itu. Rasa sakit menjadi bagian dalam kehidupanmu. Aku selalu merasa emosional. Aku selalu merasa kepalaku pening seketika.

Tetapi, itu tak membuat diriku sehat terutama aku masih muda. Kembali ke masa lalu, aku adalah seseorang yang berbakat tetapi merasa congkak. Aku pun tak yakin apakah congkak adalah kata yang tepat. Aku sungguh merasa tak memiliki banyak pengalaman hidup karena aku pergi bermain dengan pria yang lebih berumur ketika berusia 17 tahun. Dan lebih mengejutkan lagi, Spurs mengirimku ke Yeovil Town, semacam berita yang tak ingin kudengar. Mengirimkan seorang pemain sayap yang licin untuk bermain di League One dan bermain bersama orang-orang yang menanggung pajak… apakah ini sesuatu yang keliru?

Bayangkan, aku berusia 17 tahun! apakah kamu pernah melihat pemuda berusia 17 tahun di jalanan baru-baru ini?

Aku tidak sedang bergurau ketika aku mengatakan bahwa bermain di Premier League justru lebih mudah. Sebagai pemain yang bertalenta, kamu perlu perlindungan. Kamu makan salmon di kantin dan tidur siang. Kamu tak bisa makan pub food selama lima jam di bus selama perjalanan menuju Carlisle. Di Premier League, kamu bisa menjadi sedikit brengsek dan tak ada yang berani mengganggu dirimu. Di League One, semuanya berbeda. Di Yeovil, kami berada di zona degradasi. Kawan-kawan di timku bermain hanya untuk mata pencahariannya. Mobil mereka, rumah mereka. Saya tak mengetahui perspektif apa yang mereka punya.

Pada salah satu pertandingan yang kujalani, aku tak begitu cukup berlari dan bek mereka menakutiku, “Kembalilah, kembalilah!”

Jadi aku berkata padanya apa yang aku rasakan di Spurs ketika dia mengatakan padaku untuk kembali.

Aku berkata padanya, “F*ck off.”

Dan, dia bukanlah anak berusia 17 tahun. Dia berusia 26 dan bermain untuk hidupnya. Dia tak mampu berkata apa pun dan kembali ke bangku cadangan. Dia menunggu.

Lalu, aku berlari kecil ke ruang ganti saat pertengahan babak seperti tak ada sesuatu yang baru saja terjadi. Mungkin dia akan berkata F*ck off sekarang? Mungkin kami akan adu mulut. Mungkin dia akan mengadu ke manajer.

Tetapi ini League One. Dan di League One, jika kamu mengatakan kepada bek berupa F*ck off, dia tak akan berlari ke wartawan atau media sosial. Dia datang ke ruang ganti mencoba untuk membunuhmu.

Aku meloncat ke bangku, berlari mengelilingi ruangan, terkejut. Seluruh kawanku menahanku untuk kembali. Sebab, itu mengerikan.

Kembali ke masa lalu, aku tak tahu apa yang telah kulakukan. Aku seperti belum mencapai kedewasaan karena aku tak mengalami kehidupan di dunia nyata. Aku dikirim ke Yeovil bersama kawan terbaikku dari Akademi Spurs dan kami tinggal di sebuah motel di bawah sebuah pub. Setiap makanan kami dapatkan dari pub karena kami tak memiliki dapur di ruangan dan kami juga tak memiliki mobil.

Kamu tak dapat bermain selama 90 menit sebagai seorang pesepak bola professional yang makan steak dan chips setiap malam. Itu hal yang mustahil. Jadi kami berjalan ke toko suatu hari dan membeli sebuah kompor elektrik yang berukuran mini. Kami menaruhnya di meja kayu yang terletak di kanan atas di samping tempat tidur. Ingatlah, kawan, itu bukanlah tempat yang aman! Tidak direkomendasikan bagi siapa pun! Aku hanya mencoba mengingatnya. Tetapi, ya, itu adalah sebuah komposisi dapur illegal. Kami memasak ayam dan menanak nasi setiap malam. Dan bagian lucunya, sekarang aku mengingatnya, yang kami lakukan bukanlah konsep dapur yang baik, jadi kami juga mencuci peralatan dapur yang kotor di kamar mandi kemudian kami ikut mandi di dalamnya. Aku takt ahu apakah itu jenius atau tingkah out of the box. Dan itulah kehidupanku selama setengah musim di League One.

Aku tak tahu apakah ini sebuah rekor atau bukan, tetapi aku memulainya ketika berusia 17 tahun, aku mengakhiri sebagai pemain pinjaman dari sembilan klub berbeda selama empat tahun. Itulah masa ketika aku belajar tentang kehidupan dan menjadi sebuah lelaki, tetapi aku menghabiskan waktuku di hotel dan bus, bermain gajet, atau bermain FIFA. Itu masa sulit karena aku berada di lingkungan yang mana aku tak mendapatkan kesempatan yang lebih. Aku merasa sendiri dan bosan, jika boleh jujur.

Tentu saja, ini sulit untuk komplain. Ya, kamu hidup dalam mimpimu. Kamu tak perlu berurusan dengan masalah yang harus dihadapi kebanyakan orang. Tetapi kamu tetaplah manusia, dan aku tak yakin orang-orang memahami seberapa kuat pesepakbola mampu melewati periode keraguan dan depresi.

Bagiku, emosiku seperti roller coaster dan aku melewati fase terberatku. Ketika aku berumur 19 tahun, aku baru saja kembali dari masa peminjaman yang kurang menguntungkan di Ipswich. Itu lucu sebab managerku adalah Roy Keane. Dia melakukan sebuah rutinitas yaitu ketika usai pertandingan, berjalan menuju ruang ganti, mendatangi satu per satu pemain untuk memberikan komentar. Tentu saja, buah pikirannya.

Aku tak akan pernah lupa ketika dia mendatangiku selepas pertandingan usai. “Kamu berlatih sangat baik tiap pekan. Sempurna. Tetapi, ketika pertandingan tiba, permainanmu seperti tai busuk!”

Kemudian dia melangkah ke pemain lainnya.

Seperti sebuah mantra [mengerikan] di Ipswich.

Jadi, sungguh mengejutkan ketika aku dipanggil lagi oleh Spurs dan mendapatkan debutku dalam FA Cup di White Hart Lane. Itu terjadi begitu cepat. Aku menghabiskan hidupku hanya untuk satu momen. Aku bukan hanya anak akademi melainkan keluargaku hidup di Spurs sepanjang waktu. Aku tumbuh, berkembang, dan belajar menjadi pemain sayap yang lihai karena David Ginola. Aku tidak bermimpi menjadi pemain Real Madrid atau Manchester United. Mimpiku hanya untuk Tottenham Spurs.

Suatu waktu, aku berjuang di Championship, berusaha membuat malu Roy Keane. Beberapa minggu berikutnya, aku mencetak gol di White Hart Lane di depan keluargaku, menjadi pemain terbaik dalam laga tersebut, dan menyaksikan namaku terpampang di seluruh kertas. Aku ingat, aku kembali ke rumah setelah pertandingan usai, dan aku menghidupkan komputer, googling, dan mencari setiap artikel yang memuat namaku. Tiap cuitan, tiap video di Spurs.com. Aku mengulanginya. Menontonnya lagi dan lagi.

Dalam benakku, aku bersiap menjadi pemain Spurs, kan? Kamu tak dapat menasehatiku. Aku berjuang mencapai mimpiku.

10 hari kemudian, apa yang terjadi?

Aku kembali ke Watford.

Watford. Milwall. Leeds. Birmingham. QPR. Apakah aku melupakan sesuatu? Segalanya menjadi tak jelas bagiku saat ini. Aku berpindah lima klub lebih, sebelum kembali ke Spurs, dan aku pikir itulah permulaan masalahku.

Aku memulai semuanya dengan kebosanan, kalo boleh jujur.

Aku ingat pada sebuah klub. Ada banyak cibiran di ruang ganti tentang perjudian. Tak ada yang berbahaya. Tak ada pula tentang pengaturan pertandingan atau semacamnya. Hanya memasang taruhan pada kuda atau rugby atau semacamnya. Itu adalah bagian dari budaya. Aku tak pernah bertaruh sebelumnya, dan untuk alasan yang sama, aku tak pernah mabuk. Aku paham dengan diriku. Ketika ada sesuatu yang membahayakan bagi diriku, aku lebih baik menghindarinya.

Aku ingat ketika suatu kali, untuk pertama kalinya, aku berjudi. Aku merasa bosan di dalam sebuah hotel, malam sebelum pertandingan mulai, dan aku melihat di televisi untuk aplikasi tentang taruhan gratis. Aku mengunduhnya dan memasang sedikit taruhan untuk melewatkan waktu.

Dalam beberapa bulan, aku kehilangan kontrol. Itu hanyalah kepribadianku. Biasanya, orang-orang memasang £10 pada akhir pekan dan tak memikirkan lagi di kemudian hari. Tetapi segalanya aku konsumsi secara lengkap. Jika kamu mengalahkanku di FIFA, aku akan bermain melawanmu hingga mampu membantaimu. Jika kamu mengalahkanku dalam pertandingan tenis atau panahan, aku akan menghabiskan waktuku selama sebulan, dan aku akan datang untuk menghabisimu. Aku perlu menjadi sempurna untuk apa yang semua telah kulakukan.

Itu seperti sebuah perjudian, kecuali kamu tak menyukainya. Aku terus menggali diri dalam lubangku. Lalu, dalam sekejap mata, aku benar-benar kecanduan. Aku ingat, ketika itu bermain untuk Birmingham, semalam sebelum aku berlaga dalam playoff semifinal. Aku mencoba tidur, istirahat. Sebab, esoknya adalah pertandingan terbesar dalam karirku, dan aku tak bisa tertidur. Aku mengecek ponselku, dan memasang taruhan.

Malam itu, aku kehilangan £46,000 untuk satu taruhan.

Aku berpikir, aku telah kehilangan £3000 dalam seminggu.

Pukulan yang telak bagiku. Karena kamu merasa sangat kosong. Kamu seharusnya fokus pada sepak bola, sesuatu yang begitu kamu cintai, dan hanya sekarang kamu berpikir, “Bagaimana cara mendapatkan uangku kembali?”

Saat aku bermain untuk Leeds, yang seharusnya membuat senang para penggemar, aku justru kalah taruhan. Aku tak mengingat jumlahnya. Tapi aku sangat hampa, aku mematikan ponsel, dan tertunduk lesu di tempat tidur. Aku depresi. Kehilangan fokus untuk melakukan apa pun.

article-2504312-18B68E0000000578-111_623x415

Sumber foto: dailymail.co.uk

Aku tak dapat berhenti hingga suatu kali aku tertangkap. Dan terima kasih, Tuhan, aku tertangkap. Ketika FA menghukumku mengenai larangan bermain sepak bola, itu membuatku kembali kepada realita. Aku menutup diri selama setahun dan itu menuju titik terberat dalam karirku. Ketika sesuatu yang kamu cintai menghilang begitu saja dalam hidupmu, hal tersebut mengubah pandanganmu. Aku sungguh berterima kasih pada FA yang telah menyelamatkanku dan menyadarkanku bahwa aku hanyalah remaja bodoh yang suka membuat kesalahan.

Mereka menghukumku dengan beberapa kalimat, dan aku pergi ke konseling untuk bercerita mengenai kecanduan terhadap judi. Itu tak hanya menyelamatkan karir sepak bolaku, melainkan juga menyadarkanku sebagai manusia. Sebab, hal tersebut membuatku terbuka terhadap segala kemungkinan untuk berbicara kepada seseorang yang meyakinkanku bahwa aku cukup baik.

Dengar, tak ada cerita yang lurus-lurus saja. Tetapi di diriku mengalami sesuatu yang dramatik. Lihatlah, semuanya menjadi tak spesial.

Ketika aku berusia 21 tahun, aku masih bergulat di Championship, dan aku mendapatkan peringatan tentang kebiasaan bermain judi. Itu membuat kepalaku pening, dan jujur saja, jika aku melihat video itu kembali, aku mungkin mengubur mimpiku untuk bermain di Premier League.

Setahun kemudian, aku bermain untuk Inggris di stadion Wembley.

Orang-orang bertanya melihat perubahan diriku yang begitu cepat. Aku bekerja sangat keras dan sesuatu yang tak terduga terjadi dalam hidupku. Tetapi, jujur, Andre Villas-Boas mengubah posisiku dari sayap kiri ke sayap kanan.

Aku menghabiskan karirku bermain di posisi kiri.

Boom! Pindah ke sisi kanan dan sering menggunakan kaki kiri. Ulangi.

Alangkah beruntungnya diriku, ketika aku kembali ke Spurs pada usia 22, kami memiliki salah satu pemain terbaik dunia yang berada di sayap kiri. Aku setim bersama Gareth Bale. Jadi, manajer memindahkanku dari kiri ke kanan. Segalanya berjalan mudah. Aku justru bisa meningkatkan kecepatanku, masuk ke dalam, dan menembak ke gawang.

hi-res-149908475-andros-townsend-of-tottenham-hotspur-greets-gareth-bale_crop_north

Sumber foto: bleacherreport.com

Kadang-kadang, di dalam sepak bola, segala sesuatunya menjadi mudah.

Rasanya seperti semalam. Aku baru saja menjadi pemain Premier League, namun telah berpindah menjadi pemain Inggris.

Suatu ketika, sekretaris Spurs meneleponku. Saat itu, posisiku sedang memakirkan mobil di tempat parkir. Dia mengabarkanku bahwa aku terpilih untuk bermain di Kualifikasi Piala Dunia.

“Kamu bergurau?”

“No, Andros.”

Aku bertanya hingga keempat kalinya. Dan dia selalu menjawab dengan kalimat itu.

Ini adalah keajaiban Tuhan: pertama kali aku melangkah ke ruang ganti dan aku melihat Wayne Rooney duduk di sana, tubuhku mulai berkeringat. Aku bukanlah pendiam, tetapi aku mungkin tak bisa mengeluarkan dua kata saat aku masuk di sana dan meninggalkan Wembley. Aku berusaha bertahan menjadi diriku. Aku mencetak gol dari jarak jauh pada malam itu, tetapi aku mengingatnya kembali setelah pertandingan usai, aku kembali ke rumah, berjalan menaiki tangga. Aku membuka kamar, menutup pintu, dan derai airmata mengucur di pipiku. Aku duduk dan menangis sepanjang malam.

hi-res-184156097-andros-townsend-of-england-in-action-during-the-fifa_crop_north

Sumber foto: bleacherreport.com

Ketika kamu masih muda, aku berpikir kamu sombong, tapi tak cukup percaya diri—itu menjadi mungkin. Ada banyak pemain di luar sana yang menunjukkan kehebatannya di luar namun menjadi yang lain ketika berada di dalam. Atau, di lapangan dia menjadi seperti itu sedangkan ketika kembali ke rumah kembali menjadi seperti dirinya.

Kembali, aku tak terlalu siap dengan segalanya ketika pertandingan itu usai. Ketika aku membuka Twitter, dan menyebut namaku, aku tak ingin membacanya tapi tak mungkin. Banyak yang menyebutku sebagai pemain emas berikutnya. Ada semacam tekanan pada diriku. Setelah beberapa bulan debutku di timnas, aku mengalami hamstring yang kupikir terlihat biasa-biasa saja. Ternyata tidak. Aku mulai kesulitan berlari. Dan itu mengakhiriku untuk bermain sepak bola.

Ketika orang-orang berkata bahwa diriku yang sekarang berbanding terbalik saat usia 22, ya, mereka benar.

Setelah cedera hamstring, aku tak lagi eksplosif dan cepat. Tetapi, tak beruntungnya, aku sulit menerima hal itu. Aku mencoba sesuatu yang sama seperti tahun 2013. Itu menjadi permulaan yang buruk bagiku. Aku tak siap menghadapi knockback saat berusia 20an. Aku mengalami periode terburuk bersama Spurs, dan aku kembali ke rumah, memutar ulang video saat bermain untuk Inggris, dan berkata dalam hati,

“Mengapa aku tak dapat bermain seperti ini lagi?”

Bagian paling nelangsa dalam hidupku dan tak akan terlupakan karena harus mengakhiri karir bersama Spurs. Jujur saja, aku merasa frustasi, duduk di bangku cadangan, dan tak bisa berlari. Ketika kamu menyadari bahwa waktumu bersama sebuah klub segera berakhir, itu mengerikan. Jika kamu adalah pesaing, pasti akan membuatmu marah. Tetapi jika itu klub—kesayangan, dan jelas berakhir…. Jujur, aku sangat kecewa.

Aku mengakhiri rasa frustasiku dengan bertemu pelatih fitness saat pertandingan usai. Aku menjadi tak berguna, bergulat dengannya, dan mendorongnya. Aku segera melupakannya karena bagaimanapun Spurs adalah klub idola dan aku tak ingin pendukung Spurs mengingatnya sebagai memori kelam.

Seperti sebuah perjudian. Sesuatu pasti akan terjadi. Aku termenung, memikirkan hal-hal yang barangkali ada yang salah dalam diriku.

Mamaku adalah orang yang mengubah hidupku. Ketika aku berada di Crystal Palace untuk musim pertama, aku cukup frustasi dan mentalku lemah. Mama berusaha, entah bagaimana caranya, mencari jalan keluar. Dia menemukan semacam kursus psikologi olahraga. Lalu, dia menyodorkan nomor telepon yang terdapat dalam brosur itu.

Tiba-tiba, dia mengirimku pesan. “Kamu butuh bicara kepadanya.”

Begitulah Mamaku. Dia luar biasa. Ada satu cerita menarik. Ketika aku berusia 15, Spurs mengeluarkanku dari akademi. Mereka berkata pada Mamaku, “Anakmu akan keluar dari sini.”

Dia kembali ke akademi keesokan harinya dan berbicara hampir sejam dengan direktur. Lalu, dia kembali ke rumah dan berkata kepadaku, “Kamu balik ke Spurs. Aku menggaransimu.”

Dan itu terjadi! Dalam setiap langkah, dia selalu ada di belakangku.

Aku berkata padamu, dan dengarkanlah–Jika ada anak yang angkuh dari Chingford mengatakan seperti ini kepadamu, kamu dapat memercayainya—hal terbaik yang pernah aku bicarakan dengan psikolog olahraga.

Sebagai atlet, pesepak bola, manusia, atau entah apa pun itu, tentu saja tak ingin mengakui yang keliru dalam dirinya. Aku pandai menyembunyikannya. Aku tetap mendongakkan kepala seraya berakting tak ada sama sekali yang salah. Akan tetapi, jujur, aku masih saja terobsesi dengan diriku yang dulu. Dengan mentalku yang cukup tebal, aku masih berharap itu bisa terjadi.

Tapi, suatu hari, kamu harus lihat, kamu bukanlah seorang anak lagi. Kamu harus tumbuh dan menerima masa depanmu yang mungkin tak kamu harapkan. Betapa sang psikolog sangat berarti dalam hidupku. Akhir musim di Crystal Palace membuatku berdamai dengan diriku dan menjadi manusia.

Ini lucu, jika kamu bertemu dengan seseorang di jalan, dan menyebutkan namaku, mereka mungkin bereaksi, “Oh, dia telah kembali (lagi).”

Tentu, mereka akan membicarakanku pada musim 2013-2014, kamu tahu berapa gol yang kucetak?

Satu.

Berapa umpan kunci yang telah aku ciptakan?

Tidak ada.

Aku cukup terkesan, tentu saja dengan musim yang berbeda bersama Crystal Palace musim lalu. Aku mencetak enam gol dan satu umpan kunci. Jika itu membosankan, saya justru lebih suka membosankan dan berdamai dengan apa yang terjadi saat ini.

PA-36232626

Sumber foto: londonnewsonline.co.uk

Butuh 19 tahun bagiku bermain untuk Spurs, itu adalah momen terbaik dalam hidupku.

Butuh 22 tahun bagiku bermain untuk Inggris, itu adalah momen kedua terbaik dalam hidupku.

Butuh 28 tahun bagiku berdamai dengan diriku, dan sekarang masih dalam proses, dan akan menjadi daftar ketiga.

Mungkin, aku tak akan menjadi anak emas. Tetapi, pada akhirnya, aku berharap terus tumbuh dan menjadi pribadi yang lebih baik.

NB: Ini adalah artikel terjemahan dari https://www.theplayerstribune.com/en-us/articles/andros-townsend-this-is-not-a-golden-boy-story