Arab Saudi x Indonesia

Arogan. Barangkali itu kata pertama yang paling tepat untuk mengungkapkan perasaan saya atas eksekusi yang dilakukan pemerintah Arab Saudi terhadap Tuti Tursilawati, perempuan Indonesia tiga hari lalu di kota Ta’if.

Muak. Barangkali itu kata kedua yang paling tepat untuk mengungkapkan perasaan saya karena Tuti adalah orang Indonesia yang menjadi korban ke enam terkait hukuman mati sepanjang sepuluh tahun terakhir di Arab Saudi.

Dan sampai saat ini, masih ada 13 WNI yang terancam hukuman mati. Entah itu bisa diselamatkan atau tidak, yang jelas saya hanya bisa berharap pemerintah Indonesia memiliki kekuatan absolut untuk menghentikan kebengisan Arab Saudi.

Sebab, sudah jelas apa yang dilakukan Arab Saudi melanggar konvensi Wina tahun 1963. Konvensi itu mengatur negara yang melakukan penahanan, penyelidikan hingga eksekusi terhadap warga negara asing perlu diberitahukan terlebih dahulu.

Tapi, ya itu. Arab Saudi tetaplah Arab Saudi. Susah untuk mendengarkan opini atau nasihat dari negara lain seperti Indonesia. Apalagi kalo diberikan perintah untuk mematuhi aturan macam konvensi Wina. Kecuali yang kasi tiga hal demikian adalah Amerika Serikat.
Nahhh, itu lain cerita.

Namun, begini, saya punya cerita tentang buruh migran kita. Cerita yang selalu saya ingat. Sebab, ink hanyalah cerita minor yang barangkali jarang ada di Indonesia.

Suatu kali saya mendapatkan sebuah kesempatan untuk magang di sebuah lembaga di salah satu kota yang ada di Jawa Timur. Saat itu kebetulan saya menangani hal-hal yang berhubungan dengan pemberdayaan perempuan.

Suatu ketika, saya mendapat sebuah tugas ke salah satu daerah, yang katanya, penghasil (maaf) pekerja seks komersial (PSK). Mereka, para PSK itu nantinya akan dikirim ke Timur Tengah. Dan salah satu negara yang dituju adalah Arab Saudi.
Tentu saja, saya tak percaya cerita-yang-katanya, sampai nanti menemukan fakta yang benar-benar ada.

Ketika saya ke sana, tak tampak daerah itu adalah penghasil PSK. Malah saya seperti diajak kembali ke lingkungan rumah. Damai, asri, dan tenteram.

Kemudian saya dan seorang teman berkunjung ke salah satu toko di ujung jalan. Dari data yang saya peroleh, toko itu merupakan tempat bermukim salah seorang perempuan, yang lagi-lagi katanya, bekerja sebagai PSK.

Toko itu adalah toko kelontong. Menjajakan aneka bahan-bahan pokok dan juga bensin eceran. Secara tampilan pokoknya tampak rapi.
Seorang perempuan datang menyambut saya. Mungkin dia pikir saya akan membeli makanan macam snack gulai ayam atau akan mengisi bensin.

Saya menyampaikan maksud kedatangan ke perempuan itu. Berkenalan dengan beliau dan berbincang banyak hal. Dia mendengarkan saksama. Manggut-manggut. Namun, tiba-tiba airmata mengucur deras hingga membasahi pipinya.

Saya kaget. Saya khawatir. Apakah saya salah ucap, atau bagaimana ya. Kok ujug-ujug menangis. Kemudian saya bertanya, “Ada apa, Bu?”

“Anak itu memang bandel. Susah diberitahu.”

Lagi-lagi saya kaget mendengar ucapan beliau. Terhenyak sih lebih tepatnya.

Ibu yang saya ajak obrol adalah budenya. Dan anak yang baru saja dikatakan bandel adalah keponakannya. Kalo tidak salah, anak itu usianya belum genap 17 tahun.
Kemudian si Ibu bercerita. Anak itu sudah melanglang buana ke Timur Tengah. Alasannya ingin mencari kerja. Entah kerja apa yang dimaksud. Pokoknya kerja menghasilkan uang.

Si Ibu merelakannya karena anak itu sudah ditinggalkan orangtuanya. Tanpa sebab. Dan anak itu masih harus mengurus adiknya yang berjumlah dua.

Maka si Ibu pun mengiyakan saja saat anak itu pergi cari kerja di Timur Tengah. Dari beberapa negara Timur Tengah yang dikunjungi, Arab Saudi lah yang membuatnya betah. Sebab, di sana bergelimangan uang. Banyak.
Kemudian saya bertanya lagi. “Kerja apa, Bu?”

Si Ibu belum menjawab. Beliau tampak berulangkali menghela nafas. Airmata kembali membasahi wajahnya.

“Dia menjual tubuhnya.”

Glek. Saya terhenyak. Tubuh saya mendadak jadi panas. Mungkin saja darah mengalir menjadi lebih cepat dari biasanya.

Kemudian si Ibu bercerita kalo anak itu pernah ditangkap polisi Arab Saudi karena tidak memiliki dokumen legal. Dijebloskan ke penjara. Menjalani hukuman. Kemudian menanti “dipulangkan” alias deportasi.

Beruntung, saat itu pemerintah Indonesia sigap. Karena masih di bawah umur, anak itu diselamatkan dari hukuman yang lebih berat. Anak itu pun dibawa pulang oleh pemerintah Indonesia.

Setelahnya, anak itu diberi modal agar mendirikan suatu usaha. Dan modal itu digunakan untuk mendirikan toko kelontong. Toko yang saat itu saya kunjungi bersama seorang teman.

Namun, usaha tersebut tidak dilanjutkan. Dia menyerahkan usahanya kepada budenya. Dia pun lebih memilih untuk kembali ke Arab Saudi. Alasannya sederhana.

“Di sana enak, tiap malam bisa dapat uang banyak. Berlimpah pula. Lah, di sini? Boro-boro dapat uang banyak. Untung aja susah. Lebih banyak ruginya.”

Blarrr. Si Ibu bercerita seperti mendapat angin puting beliung. Tak menyangka keponakannya itu bisa menjawab hal demikian. Di luar logika, menurutnya.

Saya pun mau menggelengkan kepala kok ya gimana. Saya hanya diam saat si Ibu mengulang kalimat itu. Saya juga heran. Kok ya ada anak yang berpikiran seperti itu.

Ini mengerikan. Jelas. Uang memang menjadi salah satu pemuas kebutuhan manusia. Namun, jika uang dicari dengan hal seperti itu, tentu saja tidak elok. Apalagi dilakukan oleh anak di bawah umur.

Saya percaya di luar sana banyak TKI yang benar-benar menggantungkan hidupnya pada negara macam Arab Saudi. Di awal tahun 2018, Zaini menjadi korban karena ia dituduh membunuh majikannya, padahal faktanya tidak demikian.

Dan di akhir tahun 2018, Indonesia kembali berduka. Tuti yang pergi untuk mencari nafkah, harus dieksekusi karena (lagi-lagi) dituduh membunuh majikannya. Padahal Tuti dipaksa untuk mengikuti birahi majikannya namun Tuti menolak.

Dua cerita di atas adalah gambaran. Sebagai makhluk hidup, kita harus terus hidup. Membingkai kehidupan dengan berbagai cara. Salah satunya menyelami kehidupan dengan hijrah ke luar negeri.

Mereka sama-sama mencari nafkah namun dengan tujuan yang berbeda. Kita tidak bisa menebak jalan pikir seseorang. Yang perlu dilakukan adalah mengolah jalan pikir seseorang agar tidak menyimpang. Mulai dari lingkup terkecil adalah keluarga, dan yang paling penting adalah pemerintah juga ikut serta.

Saya percaya buruh migran adalah pahlawan kita. Pahlawan devisa. Dan mereka adalah salah satu ujung tombak diplomasi Indonesia.

Namun, salah satu cerita di atas adalah suatu bentuk anomali yang, sekali lagi, sangat jarang dijumpai di Indonesia.