Balada Kaki Panjang

Beberapa orang terlahir memiliki kelebihan. Bahkan diantaranya berlebihan. Itu kata-kata teman saya yaitu Samid. Namun dari kata-kata tersebut kalo kamu cermati baik-baik, itu kalimat sarkastik. 

Punya uang banyak hasil jualan. Eh ternyata masih juga korupsi. Punya kitab banyak. Eh bukan dibaca seluruhnya tapi cuman dibaca sepotong. Dijadikan adu domba pula. Punya wajah ganteng. Eh bukannya kalem malah pengen poligami istri orang. Ya begitulah makna kata-kata itu. 

Sebenarnya saya juga demikian. Kebetulan saya punya sepasang kaki. Kebetulan pula bisa digunakan untuk menendang bola. Menyaduk tulang kering. Hingga yang paling fenomenal. Mengaduk mie. 

Kenapa bisa begitu? Mulanya dari sesuatu yang tak sengaja. Kaki saya panjang sebelah. Tak kelihatan kalo dari jauh. Coba kamu ketemu saya. Lihat secara dekat dan jelas. Asal jangan sampai melekat. Bahaya. Nah, nanti kamu tau kalo kaki kanan saya lebih panjang setengah inci daripada kaki kiri. Iya, hanya setengah inci. Tapi itu cukup memberikan perbedaan.

Tidak hanya itu. Jari-jari saya panjangnya diluar kebiasaan masyarakat Indonesia. Lebih panjang daripada kunci sepeda motor Honda. Ini yang membuat saya kesulitan untuk memilih sepatu murah. Hiks. Derita bagi saya.

Sejak SD, saya hanya memiliki sepasang sepatu. Itu saya cari sampai berdarah-darah. Ukuran 43 untuk anak usia 9 tahun adalah sangat fenomenal. Sudah susah dicari, harganya juga tak murah. Akhirnya kadang saya pesan. Dan butuh waktu cukup lama. Hmm.

Kadang saya miris dan hati cukup teriris. Sepatu buatan Indonesia tak ada yang ukuran seperti saya. Kadang impor. Dan pake sepatu impor pun, saya dianggap tidak nasionalis. 

“Sok-sokan le pake sepatu impor, situ ndak nasionalis ya?”

Kadang kalo ada orang yang ngomong kayak gitu, pengen saya bilang.

“Sampeyan pengen dicokot grandong apa distaples lambenya?”

Tapi ya gimana. Kenyataannya begitu. Indonesia tak mengakomodir manusia kebutuhan khusus seperti saya. Malah saya lebih sering bukan dianggap manusia. Mau tau apa mereka menyebutnya? Hobbit. 

Tak jarang saya selalu merawat sepatu dengan baik. Dan juga kaki saya. Hobi saya main bola. Tentu jaman seusia saya kala SD, melakukan tendangan pisang ala David Beckham adalah impian anak bangsa. Tapi tak jarang, banyak yang tak bisa melakukannya.

Berbagai riset dilakukan. Ada lewat teknologi. Ada yang lewat manual. Ada pula yang lewat perdukunan. Yang terakhir mengira bahwa kaki Beckham adalah kaki turunan dari persalinan Mak Lamipr dengan Hulk. Namun faktanya adalah kaki kiri Beckham lebih pendek daripada kaki kanannya. Makanya ia bisa sempurna melakukan tendangan bebas. Seperti saya.

Sungguh suatu anugerah terindah yang pernah kumiliki. Seperti lirik Sheila On 7. Dan kebetulan saya bisa melakukan apa yang dilakukan beckham. 11-14. Cuman bedanya ia lebih ganteng daripada saya. Itu saja. 

Persoalan kaki tak hanya berujung pada bola. Beladiri pun begitu. Saya diminta menendang setinggi-tingginya. Banyak orang yang percaya bahwa saya bisa melakukan apa yang disebut tendangan Bruce Lee. Sayang, saat melakukannya, kaki saya tercantol pagar. Karena saat kembali ke tanah, kaki kanan saya tidak mendarat dengan sempurna. Alias tak seimbang. 

Walaupun begitu, saya kadang tetap bangga dengan kaki saya. Kalo ada perlombaan 17 agustus seperti lompat jauh. Jelas saya pemenangnya. Lha wong jari-jari saya panjangnya naudzubillah kok. Kadang juri heran. Kok bisa ya? Jangan-jangan saya alien dari planet lain. Kalo sudah begitu saya tinggal bilang.

“Afwan, kaki ane keturunan Arab Saudi.”

Nah kalo sudah begitu, saya malah dilarang ikut lomba lompat jauh lagi. Takutnya menang terus. Dikira saya manusia adidaya layaknya Raja Salman. Padahal ya ndak. Atau mungkin dulunya si juri sedang terjangkit Saudiphobia. Mungkin sih.

Menginjak usia dewasa, saya memiliki posisi favorit dalam sepakbola. Gelandang. Seperti Gennaro Gattuso mantan da’inya AC Milan. Di posisi futsal pun saya ditempatkan sebagai breaker alias perusak. Posisi ini baru saya temukan setelah bermain dengan pemain futsal favorit saya. Darmanto Simaepa.

Ia salah satu guru saya dalam bermain futsal. Mengajarkan cara mengambil bola. Merebut bola. Cuma satu yang tak ia ajarkan. Memungut bola. Kaki-kaki saya serasa maksimal. Biasanya saya hanya digunakan mengumpan. Sekarang bisa buat merusak kaki orang. Minimal tulang kering. 

Trik ini saya gunakan ketika bermain futsal tempo lalu. Kebetulan saya satu tim dengan beliau. Kami diajak latih tanding dengan sebuah tim antah berantah. Saya berulang kali ‘sengaja’ menabrakkan diri ke badan lawan. Menungkak tulang kering. Merebut bola secara liar. Tapi tentu saja sesuai dengan peraturan futsal yang berlaku. 

Hingga sampai pertandingan berakhir, mas Darmanto berujar kepada saya.

“Kamu ini, muka Cina, kaki Arab tapi otak Indonesia.” Saya dan beberapa teman kaget mendengarnya. “Kenapa begitu mas?”

“Satu. Matamu yang sipit itu cermat sekali. Tahu kemana arah bola. Tahu cara bermain untung. Kedua, kakimu yang astagfirullah panjangnya itu baik sekali buat merebut maupun mengambil bola. Dan selalu bikin frustasi pemain lawan. Tapi yang terakhir ini. Saya agak kecewa.”

“Kenapa mas?”

“Kamu mudah terkena kartu merah.”

21 Mei

21 Mei. Ini adalah salah satu tanggal yang selalu diingat dan dikenang oleh masyarakat Indonesia. Terutama tanggal 21 Mei 1998. Kenapa begitu? Karena pada tanggal tersebut, wajah Indonesia berubah. Dari orba menjadi reformasi. Ngerti kan reformasi?

Jangan-jangan kamu ga ngerti apa itu reformasi? Jangan-jangan yang kamu ingat bahwa 21 mei bukan hari kelahiran reformasi melainkan hari kelahiran yang lain. Loh, siapa? Secara kebetulan tanggal 21 mei adalah hari kelahiran beberapa orang terkenal. Seperti si pemain Juventus Mario Mandzukic, aktor ganteng Darius Sinarthya dan aktris cantik yang sedang naik daun Tatjana Saphira.

Oh iya kurang satu, penulis cum-idola masa kini. Sama seperti Tatjana, blio juga sedang naik daun. Hingga menghasilkan buku best seller di Indonesia. Daun yang jatuh tak pernah membenci angin. Tere Liye. Tau kan? Kalo nggak tau ya kebangetan. Mungkin mainmu kurang jauh dan bacaanmu kebanyakan hoaks. 

Ngomong-ngomong soal reformasi, apa sih sebenarnya reformasi? Saya mencoba menjelenterehkan. Kalo dilihat secara etimologi kan berarti re itu ulang dan formasi itu susunan. Jadi reformasi adalah susunan ulang. Benar begitu? Benar atau salah ya suka-suka saya. Kalo kata reformasi, era sekarang adalah eranya kebebasan berpendapat dan berekspresi. Ye kan?

Tapi apa yang disusun ulang? Sistem negara Indonesia? Susunan kabinet menteri Indonesia? Atau berita-berita yang semakin hari semakin absurd saja? Yang mana mau direformasi? Salah satunya? Atau justru ketiga-tiganya?

Waw, tunggu dulu. Mari kita bedah satu per satu.

1. Sistem negara Indonesia. Kamu yakin mau menyusun ulang sistem negara Indonesia? Lha, kamu siapa? Mahasiswa yang gemar bakar ban di jalan? Atau rakyat yang suka menyebar kebencian? 

Asal kamu tahu, sistem negara kita berbentuk Republik. Lebih lengkap lagi yang sering didengungkan orang-orang. Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jadi ya wajar beberapa saat yang lalu ada ‘mitos’ pembubaran salah satu ormas yang katanya juga besar di Indonesia. Hizbut Tahrir Indonesia.

Mereka memiliki ide tatanan negara Indonesia harus diganti khilafah. Dengan sistem itu maka rakyat Indonesia dijamin masuk surga. Wow. Sapa yang tak mau sih masuk surga? Enak ya, mereka sudah punya kavling di surga. 

Tapi masalahnya begini, mereka ya dibilang anti Pancasila. Dianggap makar kalo pengen mengubah tatanan negara. Ada lo Undang-undangnya. Kita ini Pancasila. Sila kelima itu jelas. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Adil buat yang kaya semakin kaya. Dan yang miskin semakin miskin. Emang khilafah bisa begitu? Kalo iya saya dukung! Serius. Semoga bisa menang di peradilan yaaa.

2. Susunan kabinet menteri Indonesia. Nah kalo ini apanya yang mau disusun ulang? Orang-orang di kabinet? Atau pergantian sebutan nama kementerian? Karena ini era reformasi, mari kita menyalurkan pendapat. Memberikan gagasan. Atau mengeluarkan ekspresi. Sapa tau melalui suara rakyat, susunan kabinet menteri Indonesia bisa berubah. Dari Andrew Gardfiled menjadi Spiderman. Dari Hugh Jackman menjadi Logan. Dari Indonesia Hebat menjadi Indonesia Hebat Sekali. 

Tapi apa mampu suara rakyat bisa tembus ke pemerintahan? Jangan-jangan ada adagium seperti ini. Suara rakyat boleh ditimang tapi suara presiden yang boleh dipegang. Lho kok begitu? Itu mah sama aja fasis. Katanya era reformasi yang demokratis punya slogan dari rakyat, untuk rakyat, oleh rakyat. Mungkin kamu lupa bahwa presiden kan mantan rakyat. Jadi suara kita terwakili oleh presiden. Kan sama saja. 

3. Berita absurd. Nah kalo ini mungkin boleh lah disusun ulang. Banyak berita berseliweran tak jelas dan tak bersumber. Asal denger dari orang, langsung saja diamini bahwa berita tersebut adalah sebuah kebenaran mutlak. Padahal ya belum tentu loh. 

Tapi karena dasarnya kita malas baca atau mengecek sumber-sumber lain makanya langsung saja diputusi kalo berita itu sebuah kebenaran hakiki. Disebar ke grup WA, Line dan sebagainya. BOOM. Sepelemparan pepaya California maka berita tersebut menjadi kebenaran tunggal. 

Boleh dipercaya atau tidak, kita kan malas untuk mengklik 2x. Misal kamu membagikan berita. Judulnya bombastis. “Ahok Masuk Islam”. Trus kamu kasih narasi yang agak provokatif gimana gitu. “Karena masuk Islam, Ahok tak lagi dipenjara.” Wah dijamin berita tersebut menjadi viral di Indonesia bahkan dunia. 

Padahal mungkin saja, saat kita buka beritanya bahwa ternyata Ahok sedang mengunjungi salah satu rumah orang Islam. Atau ternyata Ahok sedang berkunjung ke Masjid. Tapi, tapi, karena fakor kita yang mudah terpukau oleh judul tanpa memperhatikan isi jadilah kita manusia yang absurd juga, 

Benar bahwa, jangan lihat buku dari sampulnya. Ya persis. Jangan lihat berita dari judulnya. 

Toh sebagai masyarakat Indonesia, kita sepatutnya bersyukur. Di era semakin absurdnya keadaan negara, kita masih bisa menikmati kebebasan. Apa itu? Kebebasan menikmati makanan impor. Mengendarai kendaraan impor. Memegang gawai impor hingga mengkritik politisi impor. Maaf, yang terakhir sedang hijrah ke Arab Saudi. 

Dan sesungguhnya jika setiap tanggal 21 Mei kita menyanyikan Darah Juang maka sudah saatnya kita menyanyikan lagu paling ngehits abad ini. Katanya juga lagu impor lho.

“Kau tak perlu berbohong, kau masih menginginkannya. Ku rela kau dengannya, Asal Kau Bahagia”

Setelah Emmanuel Macron Menang Telak

Setelah melalui pergulatan panjang sejak 24 April hingga 8 Mei 2017, akhirnya pada putaran kedua pemilu, Prancis mendapatkan pemimpin baru. Ia adalah Emmanuel Macron, penggerak partai En Marche! (Bergerak!).

Macron memenangkan perolehan suara dengan hasil cukup telak dari Marine Le Pen, kandidat dari Front National. Macron mendapatkan suara sebanyak 65,1 %, sedangkan Le Pen mendapatkan suara 34,9%. Hasil ini tidaklah mengejutkan jika melihat pada jajak pendapat sebelumnya bahwa Macron diprediksi menang dengan suara lebih dari 60%.

Kemenangan Macron diklaim banyak pihak berhasil membuktikan praduga sebelumnya bahwa Prancis memang membutuhkan pemimpin yang membangun nilai-nilai Republik. Dengan slogan liberte, egalite, fraternite (kebebasan, kesetaraan, dan persaudaraan), Macron dianggap sebagian besar masyarakat Prancis mampu mengejawantahkan nilai-nilai sebenarnya dari Prancis.

Jika dilihat lebih jauh, sejatinya kemenangan Prancis bisa dicermati pada beberapa faktor. Pertama, faktor kebersamaan masyarakat Prancis dan dunia internasional untuk menolak Le Pen sebagai pemimpin Prancis. Usai kemenangan Macron pada putaran pertama yang berlangsung pada 24 April, tim kampanyenya bergerak untuk mencari dan mencoba mendulang suara dari kandidat yang tersisih. Ada tiga kandidat yang tersisih: Francois Fillon, Benoit Hamon, dan Nicolas Dupont Aignan.

Fillon dan Hamon berkomitmen tidak akan memberikan suara kepada Le Pen. Namun berbeda dengan Aignan yang melakukan tindakan sebaliknya. Tampaknya Macron berhasil mengendalikan situasi, kondisi serta pesonanya untuk mendulang suara dengan bantuan dari pendukung Fillon dan Hamon hingga memperoleh kemenangan mutlak.

Masyarakat Prancis lebih jeli dalam melihat situasi pemilu kali ini jika dibandingkan pada tahun 2002. Mereka tidak ingin terjebak pada situasi yang telah dialami Inggris dan Amerika Serikat. Macron berusaha menjelaskan pengaruhnya bahwa tidak ada jalan bagi orang-orang rasis dan radikal untuk menguasai Prancis. Secara tidak langsung, Macron menunjuk kepada kedua pemimpin dunia, yaitu Theresa May dan Donald Trump.

Kedua, munculnya pemimpin muda dunia. Pasca Swedia dan Kanada, kini Macron menjadi bagian dari ketiga pemimpin muda dunia. Dilihat pada sejarah Prancis pun, mantan Menteri Urusan Keuangan, Digital, Media era Hollande dinobatkan menjadi presiden termuda Prancis. Saat pemilihan telah selesai dilakukan, Macron menjadi presiden dengan usia 39 tahun.

Efek domino yang ditimbulkan dari ketiga negara tersebut tampaknya berhasil menginspirasi masyarakat Prancis untuk melakukan tindakan serupa. Kejenuhan dengan calon pemimpin tua, kebaruan pada pemimpin muda, semangat serta gairah pemimpin yang menyala membuat Macron dapat terpilih menjadi pemimpin Prancis. Hal tersebut seakan menjadi penanda bahwa partai-partai baru semacam En Marche! bisa juga menjadi pionir bagi kemunculan partai baru di belahan dunia lainnya.

Janji-janji Macron
Janji-janji yang telah diucapkan Macron sebenarnya bukan ide baru dan segar bagi masyarakat Prancis. Peningkatan pasar bebas, reformasi bisnis, hingga mengatasi masalah sosial adalah janji-janji yang juga diucapkan oleh rival-rivalnya. Namun keuntungan Macron adalah janji bahwa dirinya akan mereformasi UU Buruh. Undang-undang tersebut diklaim yang menjadi biang kerok bagi menurunnya tingkat perekonomian Prancis.

Hal ini diperparah pula dengan meningkatnya pengangguran di Prancis menjadi 10%. Pada akhirnya menyebabkan naiknya angka kriminalitas, utamanya di kota-kota pinggiran.
Selain itu, banyak pengusaha yang ikut mendukung Macron karena ia menjanjikan penurunan pajak bagi pengusaha. Ini menjadi anomali karena sebelumnya Macron adalah anggota partai sosialis yang tergabung dalam pemerintahan Hollande.

Saat Hollande memimpin, pajak pengusaha cukup tinggi sehingga pengusaha agak kesulitan mengembangkan usahanya. Hal inilah yang menjaddi titik poin mengapa ia keluar dari partai sosialis kemudian mendirikan En Marche!

Ketiga, kemampuan bahasa Prancis bagi pelamar suaka. Ini bukan hal baru. Sejak era Sarkozy telah ada kebijakan serupa yang dinamakan dengan French Immigration and Integration Law. Tampaknya Macron mengantisipasi dan memperkuat argumen yang pernah dikeluarkan oleh Le Pen tentang gelombang imigran. Masalah imigran adalah masalah bersama bagi masyarakat Prancis.

Jika Le Pen dan Fillon dengan jelas menolak dan menganggap kaum imigran adalah biang kerok dari kriminalitas dan meningkatnya kaum ekstrimis di Prancis, Macron melakukan hal serupa namun agak lebih ‘soft’.

Terakhir adalah kebijakan pemerintah tentang Uni Eropa. Selama kampanye berlangsung, Macron mendengungkan bahwa Prancis adalah bagian dari Uni Eropa dan selamanya akan tetap mendukung Uni Eropa. Janji tersebut yang menarik perhatian bagi pemimpin dunia macam Kanselir Jerman Angela Merkel dan Presiden Komisi Uni Eropa Jean Claude Junker untuk selalu mendukung Macron.

Respons terhadap janji tersebut diungkapkan ketika Macron secara resmi terpilih menjadi pemimpin baru Prancis. Angela Merkel mengatakan bahwa ini kemenangan bagi Eropa yang kuat dan bersatu. Sedangkan Jean Claude Junker mengungkapkan bahwa pemilih Perancis telah memilih masa depan Eropa.

Meskipun Macron secara resmi terpilih sebagai presiden Prancis, masih ada jalan terjal yang menanti. Di antaranya adalah memastikan dukungan mayoritas di Parlemen pada pemilu legislatif Juni mendatang. Bukan tidak mungkkin, Le Pen dan Melechon akan berusaha mengimbangi pergerakan Macron dengan meraih suara mayoritas di Parlemen. Dengan begitu, ada perimbangan baik di kekuasaan eksekutif dan legislatif.

Selain itu, apakah benar janji yang diucapkan tentang masalah pengangguran, kriminalitas, hingga ekstrimis mampu diselesaikan dalam lima tahun mendatang? Janji-janji itulah yang akan terus ditagih oleh masyarakat Prancis. Berkaca dari pemilu Amerika Serikat, sebaiknya Macron belajar dari Trump untuk mengimplementasikan janji kampanye dengan baik.

Meski janji Trump dilihat oleh dunia internasional menimbulkan perpecahan konflik, setidaknya Trump berhasil membuktikan janjinya. Hal inilah yang akan dibutuhkan oleh Macron jika dirinya tidak ingin bernasib buruk seperti yang telah dialami pendahulunya, Francois Hollande.

Tulisan ini dimuat di geotimes tanggal 15 Mei 2017

Korea Utara dalam Pusaran Konflik

Sekali lagi dunia internasional terhenyak. Fenomena ISIS di Timur Tengah yang tak kunjung usai kini bergeser ke daerah Asia Pasifik. Sekitar awal Maret 2017 hingga kini, Semenanjung Korea berada di titik kulminasi konflik. Akankah terjadi perang dunia III?

Memanasnya konflik di Semenanjung Korea ditengarai oleh uji coba peluncuran rudal yang dilakukan oleh Korea Utara sejak awal Maret 2017. Alasan mendasar Korut melakukannya adalah ingin menunjukkan kekuatan kepada dunia internasional dan menjaga kedaulatan serta menjaga keamanan wilayahnya. Namun, jika dilihat lebih lanjut, alasan Korut yang lain adalah masifnya kekuatan Amerika Serikat dalam membombardir Timur Tengah. Salah satunya dengan mengeluarkan ibu dari segala bom yang dijatuhkan di Afghanistan beberapa waktu yang lalu.

Aksi yang dilakukan Korut menuai reaksi dan ancaman keras dari dunia internasional. Diantaranya Amerika Serikat, Korea Selatan, dan Jepang. Ketiga negara tersebut bahkan mengancam jika Korut terus melakukan ujicoba nuklir maka peristiwa Libya dan Ukraina dapat terulang kembali. Perlu anda ketahui kasus di Libya dan Ukraina terjadi karena kedua negara tersebut mempunyai nuklir dan kepemilikannya melanggar aturan PBB.

Namun, tampaknya ancaman tersebut hanya dianggap oleh omong kosong belaka. Ujicoba nuklir terus dilakukan sampai berjumlah 6 kali hingga saat ini. Pada Selasa (25/4) bertepatan dengan ulang tahun angkatan bersenjatanya, Korut telah menembakkan artileri secara masif di wilayah Wonsan. Hal ini diluar dugaan karena banyak pengamat yang memperkirakan Korut akan meluncurkan rudal pada hari tersebut. Namun, tetap saja ancaman nyata akan terpampang karena Korea Utara memiliki kemampuan untuk memproduksi dan meluncurkan nuklir.

Konflik Korut dan Korsel

Konflik yang terjadi antara Korut dan Korsel sejatinya sudah berlangsung sejak lama. Ingatan tentang konflik tersebut mengarah pada Perang yang Terlupakan (Forgotten War) pada 25 Juni 1950-27 Juli 1953. Konflik tersebut dianggap salah satu yang terbesar di Asia karena hampir merenggut nyawa 2,5 juta jiwa.

Mulanya, konflik tersebut ditengarai invasi Korut ke wilayah Korsel. Kedua negara tersebut didukung oleh negara-negara besar yang saling bertolak belakang. Korut didukung oleh China dan Rusia sedangkan Korsel didukung oleh Amerika Serikat dan 21 negara besar lainnya. Alhasil, terjadilah perang yang pada akhirnya benar-benar memisahkan wilayah antara Korea Utara dengan Korea Selatan.

Pasca perang tersebut, Korut diisolasi oleh pihak Barat sedangkan Korsel dilindungi oleh Amerika Serikat sehingga mampu menikmati gemerlap sistem perdagangan internasional. Korut pun menjadi negara komunis yang dipimpin oleh diktaktor yang kaku yaitu Kim Il Sung. Inilah perbedaan yang menjadikan Korut ditangan pihak komunis sedangkan Korsel ditangan pihak kapitalis. 

Pada tahun 2000an, konflik yang ada sempat menjadi cair karena adanya pertemuan tingkat tinggi. Pada pertemuan tersebut menghasilkan kesepakatan yang dinamakan dengan Sunshine Policy. Maksud dari kebijakan tersebut adalah adanya pemberian bantuan kemanusiaan dan bantuan ekonomi dari Korsel untuk Korut (Levin dan Yong-Sup Han, 2002). Dengan adanya kebijakan tersebut diharapkan menurunkan intensitas konflik dan dibukanya kembali hubungan harmonis antara kedua negara.

Selain itu, sempat pula terjadi pertemuan enam pihak yang biasa sering disebut Six Party Talks yang terdiri dari Amerika Serikat, Rusia, Jepang, China, Korea Utara, dan Korea Selatan untuk bersepakat mengakhiri konflik. Bahkan keenam negara tersebut optimis akan terjadi simbiosis mutualisme dengan berhentinya produksi nuklir dan mengembalikan perdamaian dunia (Martin, 2008).

Namun, pada tahun 2008 Presiden Korsel yaitu Lee Myung Bak mengambil langkah keras terhadap Korut terkait nuklir. Korsel menganggap nuklir yang diproduksi oleh Korut sengaja dipersiapkan demi memperluas ancaman ke tetangga sekitar. Korut pun berusaha membantah namun dunia internasional bereaksi terlalu cepat sehingga menghakimi bahwa Korut dianggap melakukan provokasi tidak hanya ke Korsel melainkan dunia internasional. 

Nuklir Korea Utara

Ujicoba nuklir yang dilakukan oleh Korut sebenarnya bukan merupakan sesuatu yang baru. Sudah dari sejak zaman Kim Il Sung, Korut menegaskan ingin mengembangkan nuklir. Hal ini diperkuat dengan adanya kebijakan yang dicanangkan oleh presiden baru mereka yaitu Kim Jong Un. Ia mencanangkan two-track policy (the byujing line) yaitu melakukan perkembangan ekonomi dan menegaskan perkembangan senjata nuklir (Chanlett-Avery, dkk, 2016).

Jadi, memang tidak aneh jika Korut selalu mengembangkan produksi senjata nuklir. Namun yang menjadi problematika adalah apakah nuklir yang diproduksi oleh Korut hanya untuk menjada kedaulatan wilayah atau justru menjadi senjata pemusnah massal seperti di Iran, Libya dan Ukraina? Dalam laporan yang dirilis oleh the Institute for Foreign Policy Analysis (IFPA) mengenai Denuclearizing North Korea pada September 2011 sejatinya ada 3 hal yang menjadi titik permasalahan nuklir Korut.

Pertama, Korut mengembangkan dan meningkatkan senjata nuklir dan missil berpotensi menjadikan senjata pembunuh massal. Kedua, pergantian estafet kepemimpinan dari Kim Jong Il ke Kim Jong Un menuai reaksi negatif. Kim Jong Un dipandang lebih sering mengeluarkan kebijakan agresif dan tak terduga seperti penyerangan Korut ke Pulau Cheonan dan Yeonpyeong pada tahun 2010. Ketiga, kondisi Semenanjung Korea yang tak stabil dan tekanan politik dari masyarakat ke pemerintah membuat pemerintah Korut cenderung melakukan agresi dan tindakan ofensif. 

Laporan tersebut seakan menegaskan rangkaian peristiwa yang terjadi pada medio Maret-April ini. Masifnya rudal, nuklir, hingga yang terbaru artileri Korut membuktikan bahwa laporan tersebut benar adanya. Namun, dalih Korut adalah masuknya kapal induk USS Carl Vinson dari AL Amerika Serikat ditengarai menambah makin panasnya krisis Semenanjung Korea. Ditambah pula kapal USS Michigan yang telah tiba di Busan untuk berjaga-jaga siaga menghadapai perang. 

Amerika Serikat tidak henti-hentinya menyebutkan slogan bahwa demi menjaga perdamaian dunia, maka Amerika Serikat harus bertindak lebih jauh. Apakah benar Amerika Serikat benar-benar menjaga perdamaian dunia? Atau jangan-jangan Amerika Serikat sengaja turun dan hadir agar dapat mengelola konflik di Semenanjung Korea? Namun telah menjadi rahasia umum, selama negara belahan dunia manapun tidak tunduk pada Amerika Serikat maka Amerika Serikat akan berusaha dengan segala cara masuk ke wilayah tersebut. 

Sekali lagi, demi kestabilan dunia yang lebih baik maka Amerika ‘wajib’ menjaganya. Tidak hanya di Timur Tengah melainkan juga di Semenanjung Korea utamanya Korea Utara.

Referensi

Chanlett-Avery, Emma, dkk, 2016, North Korea: U.S. Relations, Nuclear Diplomacy, and Internal Situation, Congressional Research Service

Konishi, Weston S., 2011, Denulearizing North Korea: Exploring Multilateral Approaches to Risk Reduction and Peace Regime Buliding, The Institute for Foreign Policy Analysis. 

Levin, Norman D. dan Yong-Sup Han, 2002, Sunshine in Korea: The South Korean Debate over Policies Toward North Korea, RAND: Center for Asia Pasific Policy.

Martin, Matthew, 2008, The Six-Party Talks and New Opportunities to Strengthen Regional Nonproliferation and Disarmament Effort, The Institute for Foreign Policy Analysis.

Tulisan ini dimuat di edunews.id tanggal 8 mei 2017

Rock

Sejak kecil saya diperkenalkan musik oleh bapak saya. Mungkin saat itu saya baru berusia 6 tahun. Oleh bapak, saya diajak mendengar musik bergenre rock. Macam Deep Purple, Led Zeppelin, Scorpion, dan sebagainya. Saya hanya ikut mengangguk-angguk apabila bapak menggoyangkan kepala. Walaupun saya tak mengerti apa pentingnya tapi saya melihat bapak sangat menikmati ritme musik seperti itu. Terutama lagu Smoke On the Water dari ‘Deep Purple’ dan Rock and Roll dari ‘Led Zeppelin’.

Selain itu, saya juga diajak mendengar lagu-lagu macam Yes atau Genesis. Menurut bapak saya, musik mereka tergolong progressive rock atau prog rock. Bagi saya justru tidak. Nada rumit dan diulang berkali-kali. Membosankan. Tapi sekali lagi musik itu persoalan selera. 

Kala itu saya juga terkagum-kagum dengan petikan gitar Jimmy Page dalam lagu Stairway to Heaven. Konon katanya, jika membaca lirik tersebut dari belakang maka akan terbaca seperti ritual pemujaan setan. Entah itu benar atau salah. Saya pun tak peduli. Saya lebih peduli dengan bapak yang memainkan lagu tersebut cukup fasih dengan gitar kesayangannya. Gitar Yamaha tahun 1977.

Bapak sangat sayang terhadap gitar itu. Saat saya mencoba gitar untuk pertama kalinya, bapak berpesan “Gitar jangan digenjreng, tapi dipetik”. Saya mengiyakan saja. Lagu pertama yang diajarkan oleh bapak yaitu Stairway to Heaven. Aneh. Pemula kok disuruh belajar yang susah-susah. Saya lebih baik mencoba lagu Bintang Kecil atau Ilir-Ilir. Tapi ya gimana, tiap pagi mendengar lagu legendaris itu jadi mau ga mau terus mencoba mendendangkan lagu Stairway to Heaven.

Meskipun begitu tetap saja sampai saat cerita ini dibuat, saya masih tidak fasih memainkan lagu legendaris itu. Kalo dalam film, mungkin kita bisa menyebutkan Shawsank Redemption. Sama-sama legendarisnya.

Pada waktu itu saya bersikeras dan memohon kepada bapak untuk benar-benar bisa bermain gitar. Akhirnya bapak menyuruh saya mendengarkan seorang gitaris ternama. Joe Satriani. Belio adalah guru dari Steve Vai dan Kirk Hammet, gitarisnya Metallica yang mau datang ke Jakarta di tahun ini. 

Pertama kali mendengarkan Joe Satriani saat bapak memutarkan lagu Always with me, Always with you. Menurut saya itu lagu fantastis. Petikan brilian. Dan sekali lagi, bapak mampu memainkannya dengan cukup apik. Saya heran bagaimana bapak bisa sangat fasih memainkan dua lagu tersebut. Dahi saya mengernyit. Ternyata bapak hanya mendengarkan lagu melalui kaset sambil memetik senar untuk mencari nada pas. Otodidak.

Setelah itu, berturut-turut bapak sering memainkan gitarnya dengan lagu-lagu dari ketiganya. Joe Satriani, Deep Purple atau Led Zeppelin. Berulangkali. Kadang saya bosan juga. Lagu kok itu-itu saja. 

Kebosanan tersebut terobati dengan maraknya musik macam Greenday, Blink 182, SID, Netral ataupun Endank Soekamti. Ya, zaman SMP saya berusaha memainkan salah satu lagu dari band tersebut. Mereka tergolong punk rock.

Kalo kalian satu generasi dengan saya, pastinya waktu SMP wajib memainkan lagu-lagu dari mereka. Gaya vokal ala Billy Joe Amstrong, raungan gitar ala Tom DeLonge atau ritme bermain drum ala Travis Barker yang super cepat. Bisa meniru gaya mereka maka level bermainmu sudah level dewa langit.

Tapi kalo anda sedang pegang gitar, anda akan dianggap master jika memainkan melodi ini. Sweet Child O Mine dari Guns N Roses. Ohh, para penonton akan tunduk dan menyembah anda. Zaman saya itu lagu wajib di setiap festival band. Kalo lagu Indonesia, kita harus fasih memainkan melodi dari lagu Jengah-Pas Band. Itu juga lagu wajib untuk para gitaris.

Saya juga mengikuti tren. Mencoba memainkan lagu mereka. Salah satunya Basketcase dari Greenday. Saya langgar aturan dari bapak. Menggenjreng. Eh, tiba-tiba senar paling atas putus. Ah, saya merasa bersalah. Saya malu untuk lapor namun bapak lebih cepat tahu. Bapak hanya berkata “Sejak gitar ini dibeli, baru kali ini bapak ganti senar. Lain kali hati-hati kalo bermain gitar.” Dan itu terjadi tahun 2012. Rentang tahun yang cukup lama.

Sekarang zaman berubah. Rock memang tak semeriah zaman saya dahulu. Banyak band-band baru yang telah menggantikan arena rock. Payung Teduh, Maliq D’Essetials hingga Last Child. Era juga berubah. Rock tak (lagi) menggema.

Beberapa hari yang lalu, saya mencoba nostalgia dengan memainkan lagu yang bernuansa rock di teman-teman segenerasi saya. Highway to Hell dari AC/DC. Kalo anda penggemar rock, pasti wajib tahu lagu tersebut. Lagu yang membuat gitarisnnya si Angus Young kehabisan oksigen. Saat masuk bait pertama, teman saya nyeletuk, 

“Jangan kamu memainkan lagu itu!”. Suaranya kencang. Pekiknya terdengar nyaring di telinga sebelah kiri. Mungkin dia pikir saya salah nada dasar atau suara saya fals. Ternyata tidak.

“Emang kenapa mas?” Saya coba bertanya secara pelan sembari menghentikan genjrengan gitar.

“Itu lagu setan. Masak lagu menyuruh kita pergi ke neraka. Nanti kamu kafir!!”

Saya terdiam. Celakep plus mingkem. Saya hanya mbatin “ternyata kafir ada dimana-mana.” Daripada merusak suasana dan dikira tidak hormat pada senior maka saya berpikir untuk ganti lagu bukan rock. Lebih woles. Sheila On 7. Grup band paporit dari Yogya.

Saya memilih lagu Bunga di tepi jalan. Mengatur posisi duduk. Menaruh gitar di pangkuan paha. Memulai dengan petikan pertama hingga memasuki reff. Namun tiba-tiba senior saya meletakkan tangan kanannya tepat di bolongan gitar. Saya pun tak dapat menggenjreng.

“Kenapa mas?” Sekali lagi saya bertanya dengan pelan. Semoga tidak tersinggung kali ini.

“Kenapa kamu memainkan lagu itu? Katanya penggemar rock!” Lagi-lagi menghentak dengan suara keras.

“Oh itu.. saya sebenarnya ada lagu mirip kayak gitu cuman ga terlalu hafal lirik dan ga ngerti cara nyanyinya mas. Daripada lupa mending memainkan lagu Bunga di tepi jalan.” Saya mencoba berdiplomasi.

“Emang apa judulnya?” 

“Bunga yang dibakar.” Kemudian hening.