Beberapa orang terlahir memiliki kelebihan. Bahkan diantaranya berlebihan. Itu kata-kata teman saya yaitu Samid. Namun dari kata-kata tersebut kalo kamu cermati baik-baik, itu kalimat sarkastik.
Punya uang banyak hasil jualan. Eh ternyata masih juga korupsi. Punya kitab banyak. Eh bukan dibaca seluruhnya tapi cuman dibaca sepotong. Dijadikan adu domba pula. Punya wajah ganteng. Eh bukannya kalem malah pengen poligami istri orang. Ya begitulah makna kata-kata itu.
Sebenarnya saya juga demikian. Kebetulan saya punya sepasang kaki. Kebetulan pula bisa digunakan untuk menendang bola. Menyaduk tulang kering. Hingga yang paling fenomenal. Mengaduk mie.
Kenapa bisa begitu? Mulanya dari sesuatu yang tak sengaja. Kaki saya panjang sebelah. Tak kelihatan kalo dari jauh. Coba kamu ketemu saya. Lihat secara dekat dan jelas. Asal jangan sampai melekat. Bahaya. Nah, nanti kamu tau kalo kaki kanan saya lebih panjang setengah inci daripada kaki kiri. Iya, hanya setengah inci. Tapi itu cukup memberikan perbedaan.
Tidak hanya itu. Jari-jari saya panjangnya diluar kebiasaan masyarakat Indonesia. Lebih panjang daripada kunci sepeda motor Honda. Ini yang membuat saya kesulitan untuk memilih sepatu murah. Hiks. Derita bagi saya.
Sejak SD, saya hanya memiliki sepasang sepatu. Itu saya cari sampai berdarah-darah. Ukuran 43 untuk anak usia 9 tahun adalah sangat fenomenal. Sudah susah dicari, harganya juga tak murah. Akhirnya kadang saya pesan. Dan butuh waktu cukup lama. Hmm.
Kadang saya miris dan hati cukup teriris. Sepatu buatan Indonesia tak ada yang ukuran seperti saya. Kadang impor. Dan pake sepatu impor pun, saya dianggap tidak nasionalis.
“Sok-sokan le pake sepatu impor, situ ndak nasionalis ya?”
Kadang kalo ada orang yang ngomong kayak gitu, pengen saya bilang.
“Sampeyan pengen dicokot grandong apa distaples lambenya?”
Tapi ya gimana. Kenyataannya begitu. Indonesia tak mengakomodir manusia kebutuhan khusus seperti saya. Malah saya lebih sering bukan dianggap manusia. Mau tau apa mereka menyebutnya? Hobbit.
Tak jarang saya selalu merawat sepatu dengan baik. Dan juga kaki saya. Hobi saya main bola. Tentu jaman seusia saya kala SD, melakukan tendangan pisang ala David Beckham adalah impian anak bangsa. Tapi tak jarang, banyak yang tak bisa melakukannya.
Berbagai riset dilakukan. Ada lewat teknologi. Ada yang lewat manual. Ada pula yang lewat perdukunan. Yang terakhir mengira bahwa kaki Beckham adalah kaki turunan dari persalinan Mak Lamipr dengan Hulk. Namun faktanya adalah kaki kiri Beckham lebih pendek daripada kaki kanannya. Makanya ia bisa sempurna melakukan tendangan bebas. Seperti saya.
Sungguh suatu anugerah terindah yang pernah kumiliki. Seperti lirik Sheila On 7. Dan kebetulan saya bisa melakukan apa yang dilakukan beckham. 11-14. Cuman bedanya ia lebih ganteng daripada saya. Itu saja.
Persoalan kaki tak hanya berujung pada bola. Beladiri pun begitu. Saya diminta menendang setinggi-tingginya. Banyak orang yang percaya bahwa saya bisa melakukan apa yang disebut tendangan Bruce Lee. Sayang, saat melakukannya, kaki saya tercantol pagar. Karena saat kembali ke tanah, kaki kanan saya tidak mendarat dengan sempurna. Alias tak seimbang.
Walaupun begitu, saya kadang tetap bangga dengan kaki saya. Kalo ada perlombaan 17 agustus seperti lompat jauh. Jelas saya pemenangnya. Lha wong jari-jari saya panjangnya naudzubillah kok. Kadang juri heran. Kok bisa ya? Jangan-jangan saya alien dari planet lain. Kalo sudah begitu saya tinggal bilang.
“Afwan, kaki ane keturunan Arab Saudi.”
Nah kalo sudah begitu, saya malah dilarang ikut lomba lompat jauh lagi. Takutnya menang terus. Dikira saya manusia adidaya layaknya Raja Salman. Padahal ya ndak. Atau mungkin dulunya si juri sedang terjangkit Saudiphobia. Mungkin sih.
Menginjak usia dewasa, saya memiliki posisi favorit dalam sepakbola. Gelandang. Seperti Gennaro Gattuso mantan da’inya AC Milan. Di posisi futsal pun saya ditempatkan sebagai breaker alias perusak. Posisi ini baru saya temukan setelah bermain dengan pemain futsal favorit saya. Darmanto Simaepa.
Ia salah satu guru saya dalam bermain futsal. Mengajarkan cara mengambil bola. Merebut bola. Cuma satu yang tak ia ajarkan. Memungut bola. Kaki-kaki saya serasa maksimal. Biasanya saya hanya digunakan mengumpan. Sekarang bisa buat merusak kaki orang. Minimal tulang kering.
Trik ini saya gunakan ketika bermain futsal tempo lalu. Kebetulan saya satu tim dengan beliau. Kami diajak latih tanding dengan sebuah tim antah berantah. Saya berulang kali ‘sengaja’ menabrakkan diri ke badan lawan. Menungkak tulang kering. Merebut bola secara liar. Tapi tentu saja sesuai dengan peraturan futsal yang berlaku.
Hingga sampai pertandingan berakhir, mas Darmanto berujar kepada saya.
“Kamu ini, muka Cina, kaki Arab tapi otak Indonesia.” Saya dan beberapa teman kaget mendengarnya. “Kenapa begitu mas?”
“Satu. Matamu yang sipit itu cermat sekali. Tahu kemana arah bola. Tahu cara bermain untung. Kedua, kakimu yang astagfirullah panjangnya itu baik sekali buat merebut maupun mengambil bola. Dan selalu bikin frustasi pemain lawan. Tapi yang terakhir ini. Saya agak kecewa.”
“Kenapa mas?”
“Kamu mudah terkena kartu merah.”