Hari lebaran pada malam hari saya habiskan bersama dua teman. Yang pertama adalah Agung Widyantoro. Dia biasa dipanggil Agung. Semasa kuliah di Malang, sebutannya adalah Agung Syi’ah. Disebut demikian karena mengenal dan memahami luar dan dalam tentang Syi’ah.
Yang kedua adalah Nabil Lintang Pamungkas. Dia biasa dipanggil Nabil. Perawakannya besar, berbehel. Kalo di kampus, dia salah satu mahasiswa yang disegani baik kalangan dosen maupun mahasiswi.
Mereka berdua adalah dua dari sekian perantau yang terjebak di Jogja. Dari 80 anak kos-an, tinggal berdelapan. Dan mereka dua dari delapan.
Mengisi jadwal karantina hanya dengan mengerjakan tugas dari kampus. Terkadang, karena bosan, mereka berdua masak. Seusai masak, memfoto makanan kemudian mengunggahnya ke status WA. Foto sama persis.
Kadang, karena saking gabutnya di kos, Agung mengendarai motor. Keliling kota Jogja. Pernah suatu ketika, Agung kangen dengan masjid. Dia bergegas ke salah satu masjid tertua di Jogja, daerah Kotagede.
Di sana, dia seorang diri. Seperti uji nyali, masuk menelusuri masjid hingga tempat istirahat terakhir para raja-raja. Nabil pernah mengatakan Agung itu aneh. Kadang suka menyendiri di tempat-tempat yang tak biasa.
Menurut saya, Agung tak aneh. Dia itu sufi.
Berbeda dengan Agung, Nabil lebih banyak di kosan. Luapan rindu terhadap kota Malang kadang dilampiaskan dengan menelepon pacarnya, Risma. Kadang, kalo senggang, dia malah lebih sering bertukar kabar dengan kakak angkatnya, Iqbal.
Iqbal adalah teman seangkatan Agung. Bak pohon kembar, mereka selalu berdiskusi menghabiskan puluhan kopi dan puluhan lembar kertas untuk menemukan konsep demokrasi yang hakiki. Sedangkan Nabil lebih banyak menyimak.
Hasil pergulatan pikiran di warung kopi selama hampir tujuh tahun berbuah hasil. Kemampuan baca yang meningkat diaplikasikan pada kegiatan tulis-menulis.
Sejauh ini, dua jurnal telah dituntaskan baik Iqbal maupun Nabil. Satu jurnal dari Agung. Ketiganya pun menjadi idola bagi adik-adiknya di Malang. Karisma dan intelegensi menjadi alasan mengapa mereka layak digemari.
Kini, Agung dan Nabil menempuh pendidikan lagi di Jogja. Sedangkan Iqbal di Surabaya. Ketiganya berjanji. Ketika usai sekolah, mereka membangun negara.
Negara dengan Cerita Coro-Coro di Warung Kopi.