Perancis sebagai Negara di Eropa yang memiliki semboyan persaudaraan, kesetaraan, dan kebebasan untuk kesekian kalinya dilanda teror. Pada penghujung tahun 2015, Perancis diserang sekelompok teroris di 6 lokasi. Salah satu lokasi yang diserang adalah kawasan stadion sepakbola yang saat itu berlangsung pertandingan Perancis vs Jerman. Pertandingan tersebut disaksikan oleh pejabat pemerintahan Perancis termasuk presiden Francis Hollande. Beberapa saat setelah kejadian tersebut, Hollande menerapkan jam malam ke seluruh wilayah Perancis sampai status Negara Perancis dikatakan aman kembali.
Menurut berita setempat, Negara Perancis telah kehilangan warganya sekitar ratusan (120an) orang. Pada saat itu juga, sekelompok teroris mengklaim bahwa dirinya (ISIS) yang mendalangi kerusuhan di Perancis pada tanggal 14 November 2015. Unik nan aneh karena untuk pertama kalinya ISIS berani mengklaim bahwa dirinya mendalangi kerusuhan tersebut lewat media sosial. Kasus-kasus teror sebelumnya, Barat-lah yang selalu mengindikasikan bahwa ISIS yang mendalangi kasus-kasus teror. Kerusuhan yang terjadi pada tahun 2015 mengingatkan kembali kasus penembakan brutal di kantor Charlie Hebdo pada tahun 2012.
Kasus yang terjadi di kantor Charlie Hebdo pada tahun 2012 memang hanya menewaskan belasan orang namun kejadian tersebut mampu memantik dunia global untuk menghakimi kelompok tertentu (Islam) yang dianggap mendalangi (lagi-lagi) kasus teror. Kasus serupa terulang lagi di tahun ini dan untuk kesekian kalinya Islam kembali disudutkan di Negara Perancis. Sejak era Sarkozy, masyarakat muslim di Perancis agak sering tersudutkan. Pada tahun 2010, pemerintahan Perancis menerapkan kebijakan pelarangan symbol agama yang salah satu isinya adalah melarang symbol kerudung, kubah, kippa (yahudi) salib (katolik). Perancis mampu menerapkan kebebasan beragama namun mengabaikan kebebasan berekspresi.
Pergantian pemerintahan dari Sarkozy ke Hollande belum mampu mengakomodir komunitas muslim. Setidaknya ini terlihat dari beberapa kasus yang mencuat dan menyudutkan kaum muslim dan juga kaum kulit hitam. Sikap tersebut menyedihkan dan ironi karena Perancis adalah Negara dengan penduduk muslim terbesar di Eropa. Salah satu bentuk rasis yang dilontarkan masyarakat lokal adalah menirukan suara hewan tertentu pada saat pertandingan sepakbola. Ini bukan hal yang baru mengingat hampir 50% pemain sepakbola yang main di liga Perancis adalah warga Afrika. Hal tersebut dapat dimaklumi mengingat Perancis adalah negara penjajah di wilayah Maghribi (Aljazair, Maroko, Tunisia).
Sikap pemerintahan Perancis belum mampu menegakkan slogan yang selalu didengungkan ke dunia global. Slogan yang bermakna bahwa Perancis mengagungkan kesetaraan, persaudaraan, dan kebebasan tidak tampak terlihat jika melihat berbagai kasus tersebut. Fenomena tersebut memunculkan disparitas antara masyarakat lokal dengan kaum muslim yang akhirnya menyebabkan efek domino ke berbagai aspek yang diantaranya aspek sosial, budaya, maupun keamanan. Fenomena ini juga diperparah dengan pernyataan politikus sayap kanan yaitu Jean Marie Le Pen yang mengatakan to be French, you have deserve it.
Penerapan kebijakan-kebijakan pemerintahan Perancis tentang kebebasan berekspresi seharusnya dikaji ulang. Peristiwa di penghujung tahun 2015 tentunya tidak ingin terulang kembali dalam beberapa tahun mendatang. Perancis masih memiliki hajatan besar yaitu Piala Eropa 2016. Negara-negara Eropa pasti akan berpikir ulang untuk memastikan bahwa negaranya aman untuk mengikuti turnamen tersebut. Perancis harus menelaah permasalahan global dengan menerapkan kebijakan yang tepat sasaran dan bersifat simbiosis mutualisme bagi semua masyarakat yang tinggal di Perancis tak terkecuali kaum minoritas. Hal tersebut dimaksudkan citra Perancis tidak tercoreng kembali dan masyarakat Internasional mampu menikmati perhelatan akbar Piala Eropa 2016 dengan rasa aman dan tenang.