Polisi itu ?

Polisi. Apa yang anda pikirkan jika mendengar kata ini ? Melayani, mengayomi, memeras atau memuakkan. Setiap orang mempunyai pandangan tersendiri jika mendengar kata polisi. Saya pun demikian. Namun, dalam satu titik kita dapat menyepakati bahwa hanya ada 3 polisi terbaik di Indonesia. Polisi tidur, patung polisi, dan polisi Hoegeng. Ketiga polisi tersebut sampai saat ini dapat dianggap sebagai suri tauladan yang baik bagi masyarakat Indonesia.

Jika anda sedang berada di Jogjakarta, jangan pernah melanggar tata tertib lalu lintas. Berpakaianlah sesuai UU lalu lintas karena polisi – polisi di Jogjakarta sangat disiplin dan teratur dalam melaksanakan kewajibannya. Ada beberapa bangjo (baca : abang ijo alias perempatan/pertigaan) yang patut anda awasi di Jogjakarta.

  1. Pertigaan UNY atau yang biasa disebut Segitiga Bertuah. Biasanya hanya polisi – polisi terbaik yang pernah menempati pos polisi tersebut. Terhitung minimal ada 10x pelanggaran dalam sehari. Sasaran mereka adalah anak-anak SMP/SMA karena biasanya mereka tidak memiliki SIM. Awas mata polisi di pos tersebut sangat tajam. Waspadalah… Waspadalah…
  2. Perempatan Gramedia/BTN atau yang biasa disebut Jalur Macan. Saya menyebutnya demikian karena polisi tersebut tidak hanya menjaga di pos melainkan banyak polisi yang telah siap duduk di atas motornya masing-masing. Jadi, jika ada yang melanggar sedikit saja, dipastikan akan diterkam oleh para polisi tersebut. Coba anda buktikan…
  3. Perempatan Jetis atau yang biasa disebut Pos Kumis. Dikatakan seperti itu karena yang menjaga di pos tersebut selalu polisi berkumis. “Galaknya luar biasa mas” begitu kata supir taksi kepada saya tempo hari. Saya pun mengamininya. Cek sajalah yaa…

Ketiga bangjo di atas merupakan pos yang selalu membuat saya deg-degan. Berhatilah – hatilah anda jika baru pertama kali ke Jogjakarta. Saya memiliki kisah menarik tentang polisi pada tahun 2008. Anda tau pertigaan fly over Janti ? Pertigaan yang di pojoknya ada rumah makan Padang. Nah disitu saya pernah mengalami apa yang dinamakan “pelanggaran lalu lintas”. Pada saat itu, saya dan orangtua saya sedang sibuk-sibuknya mencari sekolah baru. Mobil yang saya tumpangi sudah 2x melewati pertigaan tersebut dan tiba-tiba di putaran ketiga, mobil diberhentikan oleh seorang polisi muda dan terjadilah percakapan antara bapak saya dengan polisi tersebut.

“Selamat siang Bapak, Mohon Maaf bisa lihat SIM dan STNKnya ?” ujar polisi itu.

Bapak saya kemudian mengecek dompet lalu mengeluarkan SIMnya yang masih kinclong karena baru saja diperpanjang dan STNK yang cukup kumal. Setelah menyerahkan dua benda sakti tersebut polisi tersebut berkata :

“Mohon maaf, Bapak telah melanggar lalu lintas karena telah belok kiri secara langsung tanpa berhenti ketika lampu merah sedang menyala” dengan nada yakin polisi tersebut bertitah.

Bapak saya terhenyak dan sejurus kemudia dengan logat Jawa Timur yang cukup kental dan keras berkata :

“Koen iku sek arek anyar ta?, kok wes wani nyetop awakku. Aku iki wes ndek Jogja ket taun 90an. Nah, aku iki wes bolak-balik lewat kene kaet maeng lek misale belok ngiri iku yo langsung ae”. (Kamu itu masih anak baru kah ? kok sudah berani memberhentikan saya. Saya sudah di Jogja sejak tahun 90an. Nah, aku itu udah bolak-balik lewat sini dari tadi jika belok kiri itu langsung saja).

Polisi tersebut langsung kaget dan gemetaran karena mungkin berpikir bapak saya marah padahal logat orang Jawa Timur memang kental dan keras. Kemudian polisi tersebut pucat pasi dan berkata :

“Mohon maaf Pak Haji, saya cuma melaksanakan tugas dari atasan” polisi itu berkata seperti itu mungkin melihat bapak saya mengenakan peci.

“Gak usah kakean cangkem, koen mesti mek njaluk setoran ambek rokok seh ?” (gak usah banyak alasan, kamu pasti cuma mau minta setoran dan rokok kan ?” bapakku berkata semakin keras karena heran dari tadi banyak kendaraan bermotor lewat disitu ndak ada yang kena tilang.

Mboten Pak Haji”(Gak Pak Haji) balas polisi itu.

Halah sek alesan ae awakmu, kaet maeng akeh kendaraan lewat kene kok mek aku tok seng distop” (Masih beralasan saja kamu, dari tadi banyak kendaraan lewat sini kok hanya saya yang diberhentikan) kemudian bapak saya mengambil uang dan memberikan sedikit infaq kepada polisi tersebut. Lah kok ndilalah polisi tersebut yaa menerima uang tersebut sambil menunduk mukanya.

“Lek aku sek ndelok awakmu ndek kene trus nyetop aku maneh, ganok ampun gae awakmu” (kalo aku masih lihat kamu di sini kemudian memberhentikan saya lagi, tidak ada ampun bagimu)

Nggih pak Haji nyuwun pangapunten, matur nuwun” (Iya pak haji mohon maaf, terima kasih) sambil memberikan SIM dan STNK bapak saya kemudian bapak saya ngacir, melaju kencang meninggalkan pollisi tersebut dan saya pun kesal sekaligus tertawa lepas melihat lelucon tersebut. Dari dulu bapak saya mengingatkan ke anak-anaknya jangan pernah menjadi polisi atau semacamnya. Mungkin benar pesannya jika menilik kejadian di atas.

*Kalo polisi selalu berbuat seperti itu, disitu kadang saya merasa sedih

Leave a comment