Pelajaran dari Pilkada DKI


Kontestasi pemilukada Indonesia telah berakhir. Tanggal 19 April adalah waktu terakhir bagi masyarakat Indonesia khususnya Jakarta untuk gegap gempita memadati keriuhan pilkada. DKI adalah daerah terakhir yang akan melaksanakan pemilu. Harapannya setelah pilkada berakhir, tidak adanya percecokan, perselisihan hingga perpecahan. Semua ingin berakhir aman, damai, dan tentram.

Berkaca dari pilkada khususnya di DKI Jakarta, ada banyak pelajaran penting sekaligus menarik. Pelajaran ini harus disambut dengan pikiran positif supaya kita tak selalu hanyut dalam pertikaian. Gaung perselisihan memang sempat panas sejak putaran I pilkada DKI. Semakin mendekati akhir bukannya kita harus tampil dewasa namun justru saling berburuk sangka. 

Lalu apa pelajaran yang bisa dipetik dari Pilkada DKI kali ini? Mari kita simak.

1. Tak butuh sarjana politik atau doktor kajian media.

Melihat beberapa bulan belakangan ini, sesungguhnya ada semacam pertautan unik di kalangan masyarakat Indonesia. Kita pandai sekali berkomentar, menganalisis kemudian membeberkan fakta maupun kenyataan. Entah itu benar atau salah, segala hiruk pikuk pilkada dapat dikomentari. 

Uniknya, yang memberi komentar atau yang dimintai pendapat bukan kapasitasnya sebagai ahli politik maupun ahli media. Melainkan warga biasa yang sering menangkap gambar kemudian dibagikan ke lini masa dan menjadi viral. Biasanya orang tersebut akan populer dan media cetak maupun elektronik akan menganggapnya sebagai pakar. 

Menurut saya, itu gejala aneh. Bukan kapasitasnya untuk berbicara politik namun dipaksa bahkan menjadi terbiasa berbicara politik. Tapi tak apa-apa. Mungkin karena kita terbiasa dengan dagelan politik hingga yang diminta berbicara pun harus beretorika layaknya politisi Senayan.

2. Munculnya kaum moderat ekstrimis.

Jujur saja, ini fenomena menarik khususnya dalam pilkada DKI. Orang-orang yang diklaim bahkan mengklaim dirinya kaum modrat justru terlihat ikut ‘mencaci’ bahkan ‘memaki’ satu sama lain. Dengan dalih pembenaran bahwa mereka yang harus menanggulangi radikalisme dan sebagainya maka secara tidak langsung mereka berhak mengklaim bahwa mereka yang ‘benar’.

Kita ketahui bahwa dalam pilkada DKI tercipta dua kubu yaitu kubu yang mencaci dan kubu yang dicaci. Tak perlu disebutkan mana yang mencaci dan mana yang dicaci, namun tentunya anda lebih paham mana kubu-kubu tersebut. Sayangnya, kedua kubu sama-sama mengklaim bahwa merekalah yang mengabarkan kebenaran dan menyebarkan pembenaran. Alhasil, bukannya saling tabayyun terlebih dahulu melainkan saling serang tanpa jeda. Saling hina tanpa berkaca.

Tak heran, masyarakat pun dibuat bingung. Siapa yang sebenarnya radikal? Siapa yang sebenarnya moderat? Ataukah sebenarnya mereka hanya memanfaatkan momen untuk menunjukkan siapa mereka? 

3. Fluktuasi harga pangan.

Ini cukup penting. Beberapa saat yang lalu saya ditanya seorang kawan, apakah benar efek pilkada DKI membuat perekonomian lesu khususnya dalam bidang peternakan? Saya pun dibuat bingung. Namun kemudian ia menjelaskan bahwa kondisi politik di ibukota benar-benar membuat harga pangan macam ayam potong, cabai bahkan bawang merah berflutkuasi tanpa arah yang jelas. Entah ada sangkut pautnya atau tidak namun kenyataannya begitu.

Hargai cabai sempat menembus 120.000/kg. Begitu pula harga daging sapi sempat mencapai 200.000/kg. Harga tomat malah satu keranjang hanya dihargai 1000 rupiah. Harga bawang merah hanya 8000/kg yang biasanya bisa mencapai 30000-40000/kg. Mengenaskan. Entah mereka sadari atau tidak, seperti ada efek domino dari Pilkada DKI. Maklum saja, pikiran orang-orang pintar teralihkan pada kontestasi pilkada DKI sehingga melupakan peristiwa yang dialami kalangan pedagang

Para pedagang, peternak, bahkan petani berharap agar pilkada DKI segera berakhir. Segera enyahlah bulan April. Tapi masalahnya apa iya cukup sampai 2 ronde? Jangan-jangan bisa sampai 5 ronde. Sekali lagi itu tergantung kesepakatan penguasa.

4. Permasalahan pribumi (indigineous people)

Poin keempat sempat mengemuka ketika tak henti-hentinya ada yang mengklaim bahwa mereka lah yang sebenarnya pribumi. Ini menjadi soal apakah itu klaim atau memang fakta sejarah? Tentu sudah banyak analisis dari para pakar sejarah yang mengemukakan bahwa kedua-duanya bisa dikatakan pribumi. 

Namun yang menjadi soal adalah saling benci sehingga menyebabkan SARA. Ini yang menjadi mengerikan. Indonesia yang merupakan model dunia sebagai negara dengan suku terbanyak di seluruh dunia ternyata masih menyimpan sentimen sepele hingga berujung ujaran kebencian. 

Andaikan benar-benar hanya pribumi yang boleh berkuasa di Indonesia, bagaimana dengan nasib suku mante, suku anak dalam, kepercayaan amatoa ataupun kepercayaan kaharingan? Seharusnya jika mereka mau bersuara maka mereka lah gang lebih berhak untuk mengklaim dirinya adalah pribumi. Tapi, sepertinya mereka lebih memilih sibuk menjaga kelestarian alam daripada mengikuti kegiatan pilkada yang tak kunjung usai.

5. Belajar dari 4 poin diatas.

Gara-gara Al Maidah, umat Islam kembali menelaah Al Qur’an. Gara-gara pribumi, masyarakat Indonesia kembeli menengok sejarah. Gara-gara pembangunan, orang-orang ikut memikirkan kelestarian alam.

Sebenarnya ada hal-hal positif yang perlu diambil dari kontestasi Pilkada DKI. Ketiga hal diatas adalah contoh-contoh bahwa tak perlu melulu ujaran-ujaran kebencian yang didahulukan melainkan obrolan dan pemikiran yang berujung kemaslahatan itu lebih baik.

Namun, kita lebih sering melihat 1 keburukan daripada menelisik 10 kebaikan. Berkaca dari pilkada DKI, kejadian SARA, ujaran kebencian seharusnya tak perlu terulang kembali. Ingat, Indonesia akan mengalami ledakan penduduk pada 2030. Andaikan hal-hal ujaran kebencian selalu didengungkan utamanya pada pilkada, lantas bagaimana nasib generasi muda mendatang? 

One thought on “Pelajaran dari Pilkada DKI

Leave a comment