(Tak) ada Mantan Hari ini

Sabtu Malam. Akhirnya saya naik kereta api. Gajahwong. Setelah sekian lamanya. Mungkin 2 tahunan lebih. Kereta dengan jurusan Pasar Senen. Entah kenapa namanya Senen. Bukan Senin. Mungkin karena lidah orang Indonesia suka mengubah ejaan dari ‘i’ ke “e”. Seperti teriakan suporter bola kita kala mendukung timnas. Endonesa!!!

Pelayanan kereta api berbeda di masa sekarang. Tak boleh ada orang merokok. Setiap gerbong memiliki AC. Fasilitas stop kontak di setiap kursi penumpang. Tak ada kata terlambat. Dan tak boleh ada pedagang asongan masuk ke gerbong. Nyaman bagi penumpang. Tetapi tidak bagi pedagang.

Tak ada lagi teriakan “Tarahu Tarahu”;”Mie Kopi Mie” atau “Jenaaang Jenaaang”. Tak ada orang merokok di tiap sela gerbong. Tak ada orang tidur hanya memakai selembar kertas koran di bawah kursi. Tak ada semuanya itu.

Memang terlihat “mengenakkan”. Tapi bagi saya, teriakan, asap, dan orang ngobrol ngalor ngidul tanpa jeda adalah budaya yang hilang dari kereta api.

Begitu sedihnya ketika orang harus merokok di ‘kantin’ kereta api. Begitu nelangsanya ketika orang ‘sungkan’ untuk sekedar duduk bahkan tidur dibawah kursi penumpang. Begitu kasihannya ketika pedagang asongan harus kehilangan haknya berjualan yang (telah) dikakukannya bertahun-tahun.

Tapi begitulah kebijakan publik. Tidak ada kebijakan yang benar-benar bersimbiosis mutualisme. Kalopun ada, pasti persentase keberhasilannya tidak sampai 30%. Kalopun saya salah, mungkin anda hanya menyanggah.

Mungkin perubahan pelayanan kereta api karena pergantian menteri. Mungkin juga karena pergantian presiden. Atau mungkin karena masuknya kereta impor Jepang. Iya, impor kereta. Kereta mantan.

Leave a comment