27 Mei 2006

gempabantul-andika_pradipta_large-300x196-300x196

Gempa. Dalam bulan November 2016, setidaknya Jogja dilanda gempa sebanyak 3x. Gempa terakhir terjadi hari ini jam 7 malam. Mungkin anda tidak merasakan gempa tersebut. Begitu juga dengan saya. Mungkin karena gempa tersebut hanya berkekuatan 3,2 SR. Lalu apa jadinya jika anda pernah merasakan gempa 5,9 SR selama 57 detik ?

27 Mei 2006. Pagi cerah seperti hari biasanya. Desas-desus yang berkembang bahwa Merapi akan meletus tak kami hiraukan. Walaupun kami yakin, Merapi memang akan segera meletus. Namun bukan saat ini.

Pukul 05.00. Saya dan ketiga adik saya terbangun dari tempat tidurnya. Bergegas untuk segera mandi. Namun, saya dan adik paling kecil memilih untuk menyantap sarapan. Kemudian adik saya paling kecil segera mandi. Tapi tidak dengan saya. Seperti biasa, terlebih dahulu menonton televisi karena menanti hasil-hasil Liga Champions tadi malam. Setelah puas melihat hasil-hasilnya, saya baru masuk kamar mandi.

Duduk di kamar mandi. Membaca koran. Menanti air di dalam bak sampai penuh. 5 menit kemudian, saya mandi. Baru beberapa saat, tiba-tiba ada suara gemuruh. Saya berpikir, ‘tumben, pagi-pagi kucing sudah mencari mangsa’. Saya melanjutkan mandi sembari keramas. Tapi ada yang aneh. Air bergejolak cukup kencang. Beberapa detik kemudian, saya terasa digoncangkan amat keras. Ke kiri dan ke kanan. Mama kemudian berteriak histeris. Menggedor pintu dengan keras. Menyuruh saya segera keluar.

Naas bagi saya. Hanya membawa selembar handuk yang cukup menutupi satu bagian. Terpaksa saya menyembunyikan bagian paling aduhai. Bagian depan. Kemudian saya bergegas lari ke luar rumah. Tampak orang-orang berkumpul di depan rumah kami. Ayah berpegangan dengan ketiga adik saya. Sedangkan saya hanya memegang handuk dengan erat. Takut handuknya jatuh. Mama memegang tangan kiri saya sedangkan tangan kanan dipegang oleh nenek sebelah rumah. Makin lengkap ketegangan pada pagi itu.

“Kiamat le, kiamat le.” Nenek berkata dengan lirih.

“Astagfirullah, Astagfirullah, Astagfirullah.” Mama mengucapkan kata sembari terisak.

“Tuhan Yesus, ampunilah kami.” Ibu di depan saya berkata cukup kencang.

Saya tak berbicara apa-apa. Hanya sibuk memegang handuk dengan erat. Bertahan dan berdiri dengan sekuat tenaga. Lihat disamping kanan nenek, sebuah mobil kijang tampak bergoyang dan meloncat tak beraturan. Pohon mangga di rumah meruntuhkan daun dan ranting-rantingnya. Genteng semua rumah hancur. Begitu pula dengan tembok. Itu terjadi hanya 57 detik.

Mengingat hari masuk sekolah, mama dan ayah mengantarkan ketiga adik saya. Saya disuruh menunggu rumah sampai ada tetangga yang nantinya akan mengantarkan ke sekolah. Tak selang berapa lama, bapak itu datang dan segera mengantarkan saya. Jalanan sangat ramai. Terutama daerah jalan lingkar. Dari utara hendak ke selatan dan sebaliknya. Dari utara mengira Gunung Merapi meletus. Dari selatan mengira air laut dari Pantai Parangtritis sedang mengamuk. Semua bingung.

Sampai di sekolah. Kepala sekolah berusaha menenangkan kami. Tapi tidak dengan murid-murid. Banyak dari kami menangis. Ada yang berpelukan. Ada yang berdoa. Ada yang duduk termenung. Ada pula yang berdiri dengan tatapan kosong.

Tiba-tiba, salah seorang kakak kelas berteriak.

“Woy, sekolah diserang!!!”

Para murid lelaki bergegas membawa peralatan seadanya. Ada yang bawa batu. Bambu. Gayung. Sapu. Maklum pada zaman tersebut, tawuran marak terjadi. Dan tidak kenal waktu. Begitu kami keluar, segerombolan motor dari arah barat hanya melewati kami sembari berteriak,

“Aiiiir, aiiir, aiiir!!!”

Kemudian mereka berbalik arah. Berteriak dengan kata yang sama. Kami pun bingung maksud perkataan orang-orang. Saya menyebrang ke penjual makanan langganan saya. Saya berkata dengan kata yang sama. Uniknya, mungkin karena panik atau bingung, ibu penjual makanan tersebut menyuguhkan segelas es teh kepada saya. Saya pun minum sekenanya. Tak enak jika tak diminum. Kemudian datang lagi segerombolan motor yang lebih banyak dari arah timur. Dan mengulang perkataan yang sama.

Sekali lagi, kami dibuat bingung. Saking bingungnya, saya membonceng salah satu teman saya yang hendak pulang ke rumah. Ia malah mengatakan kepada saya bahwa dirinya mencium bau air laut. Mungkin ia sedang berhalusinasi. Di daerah jalan lingkar, semua orang pada kebingungan. Saya sedikit menguping pada pengendara mobil di sebelah kiri saya.

“Katanya tsunami. Air laut udah sampai kota Bantul.”

Weits. Ada apa ini ? Tsunami ? Saya tak sanggup membayangkannya. Karena teman saya ingin segera bergegas ke Magelang, saya turun dari motor. Berharap ada angkot lewat. 30 menit berlalu. Saya tak kunjung mendapati angkot lewat. Hingga tiba-tiba, bus berwarna kuning yang penuh sesak secara pelan mendahului langkah saya. Bergegas lari dan tangan menggantungkan di tiang pintu. Di dalam bus, banyak orang berdoa. Menyebutkan segala macam nama Tuhannya. Berharap Tuhan tidak sedang murka.

Tiba di perempatan Monjali. Bus tak mau berbelok. Terpaksa turun di perempatan tersebut. Saya berjalan ke arah selatan sembari melihat sajadah-sajadah digelar di trotoar. Ada yang bersujud. Ada yang bersimpuh. Ada yang bergosip. Dan ada pula yang berteriak-teriak. Saya telusuri saja setapak demi setapak hingga menuju rumah.

Mama, ayah dan ketiga adik saya sudah tidak ada di rumah. Mereka menunggu di jalan seberang RS Sakina Idaman.Tampak tetangga-tetangga berkumpul di jalan tersebut. Mama menangis dan seraya memeluk saya. Dikiranya saya sudah hilang ditelan bumi. Telepon genggam berering berulang kali. Ada yang menyuruh kami segera ke Jakarta. Ada pula yang menyuruh kami ke Malang. Namun, ayah memilih untuk menyuruh kami kembali ke rumah. Takut ada maling yang berkeliaran.

Kami berkumpul di teras rumah. Teman-teman ayah dan mama juga ikut berkumpul di rumah. Rata-rata dari mereka kehilangan harapan. Rumahnya luluh lantak. Mereka ikut mengungsi di rumah kami. Beberapa kali gempa susulan terus terjadi. Berlangsung hingga malam hari. Bulan termenung. Bintang pun merenung. 27 mei 2006, Jogja menjadi kota yang murung.

Leave a comment