Surat Wasiat untuk Komisariat

​Ilustrasi surat.

Mata tak kunjung tertutup. Hair berusaha membolak-balikan tubuhnya agar cepat tidur. Pada akhirnya ia tertidur pas jam 2.15 pagi. Bau wangi mulai lewat dan menusuk ke hidung. Saya yang sudah terbiasa bau itu berusaha acuh tak acuh. Sembari menutupi diri dengan selimut, saya berusaha untuk tidur. Walaupun tak begitu nyenyak.

“Astagfirullahhhh… Aa..ss..tag..firrr…rulllah… Astagfirulaaaaah!!!”

Suara Hair cukup kencang hingga memekakkan telinga anak-anak. Farel yang ada di dekatnya langsung berusaha menyadarkan Hair. Karena saya tidur di ruang tamu, saya langsung mendobrak pintu dengan kaki kanan.

“Hehh ir!!!” Saya berusaha menggoyangkan bahunya. Lebih tepatnya menyepaknya. Kepalanya hanya bergerak ke kanan dan kiri. Kemudian tangan kiri menutup wajahnya sedangkan tangan kanannya menunjuk ke plafon yang kebetulam berlubang.

Saya dan Farel menengadah ke atas. Tak ada apa-apa. Hanya angin semilir yang dingin. Maklum saat itu jam 05.30. Kemudian Hair bergegas ke kamar mandi, wudhu, dan sholat subuh. Saya dan Farel hanya mengamatinya dengan heran. Begitu pula dengan anak-anak lainnya. Tumben.

Begitu selesai, Hair langsung pulang. Ditanya tak menjawab.

                                                                ***

Menjelang istirahat siang, saya pergi ke kos Hair. Ingin bertanya apa yang dilihat Hair saat pagi tadi. Hair bercerita dengan nafas yang tersengal. Sepertinya ia benar-benar takut dengan peristiwa pagi tadi. Ia hanya mengungkapkan bahwa ada dua orang wanita yang tersenyum kepadanya. Kemudian wanita tersebut menjauh dan hanya tampak kepalanya saja. Selang tak berapa lama, lidahnya menjulur dan terjuntai hingga mengenai hidung Hair. Seperti Leak (Hantu Bali).

Saya hanya mengangguk pelan. Cukup aneh. Sepanjang saya dan Pandu tinggal di komisariat, baru Hair yang diberi penampakan macam itu. Saya dan Pandu bahkan tak pernah melihat penampakan mereka. Tentunya juga tak ingin.

Mengacu ketakutan Hair, akhirnya saya memutuskan rapat harian di luar komisariat. Maklum, setiap 2 minggu sekali pada hari Selasa kami mengadakan rapat harian. Dan baru kali ini kami mengadakan rapat di luar komisariat.

Selepas Ashar, kami berangkat dari komisariat menuju rumah nenek saya. Ya, rumah nenek saya dipilih karena kebetulan sedang kosong. Pada waktu itu, Nenek dan paman saya pergi ke Lombok dalam waktu 1 bulan. 

Sampai disana, kami langsung duduk melingkar dan melakukan rapat harian. Tak ada raut muka ketakutan. Tak ada raut muka kebingungan. Rapat kali itu berjalan lancar. Semua tampak bahagia dan senang. Bahkan sesekali lelucon dikeluarkan teman-teman supaya menambah semarak rapat. Hingga suatu ketika…

Hair menanyakan keberadaan Yoga kepada anak-anak. Saya bilang, “Yoga lagi di Tulungagung, tadi dia pamit sama aku.” Hair tak percaya dan tertawa. Ia bilang jika saya berusaha membohongi dirinya. 

“Ya ndak mungkin Mod. Tadi kan dari komisariat bonceng kamu. Sampai disini aja tadi dia dorong sepeda motormu dari belakang kok.”

Saya terheran. Saya pikir Hair mengigau. Tapi sepertinya tidak. Ia malah bertanya ke teman-teman lain seperti Ardy, Rio dan Ussy. Mereka pun menyanggahnya. Bahkan saya terpaksa menunjukkan esemes dari Yoga. Ketika membaca esemes itu, wajah Hair pucat pasi. Suasana langsung menjadi sepi. Tampak semua pada mengernyitkan dahi. Melihat kondisi seperti itu, kemudian saya menyudahi rapat tersebut dan mengajak mereka kembali ke komisariat.

                                                                     ***

Jam 11 malam. Saat di komisariat hanya ada saya, Mas Budi, Iqbal, dan Nano. Mas Budi adalah senior saya angkatan 2007. Sedangkan Iqbal dan Nano adalah junior saya angkatan 2008. Seperti biasa, Mas Budi cerita nabi-nabi dan sesekali diselingi cerita horor. Ia bercerita jika ia pernah melihat kepala terbang saat berkunjung Masjid Kotagede Yogyakarta. 

Ia bercerita cukup serius. Saya pun sampai harus menutup telinga demi tak mendengar lagi ceritanya. Tiba-tiba…

“Aaawrrrr… aawrrrr… awwrrrr…” Iqbal mencakar-cakar ubin. Seperti orang kesurupan. Mulutnya berulangkali mengeluarkan suara-suara aneh. Sepertinya kemasukan macan cadas. Saya dan Nano berusaha komat-kamit sebisanya. Mas Budi mengatupkan kedua tangan seperti layaknya orang semedi.

Tiba-tiba Iqbal tertawa. Melengking tinggi layaknya kuntilanak. Saya dan Nano menutup telinga dengan rapat. Mulut Mas Budi komat-kamit seperti mengucapkan mantra. Suasana sangat tegang. Namun tiba-tiba ada yang aneh. 

Iqbal tersenyum kemudian tertawa puas. Kami bertiga bingung dengan perilakunya. Lagi-lagi tertawa terbahak-bahak. Kemudian berkata, “Aku tu cuma ngetes kalian ternyata benar-benar ketakutan, hahaha.” Mas Budi menggeleng-gelengkan kepala. “Kamu jangan main-main nanti kalo hantunya marah sama kamu gimana?”

Mas Budi mencoba memperingatkan Iqbal. Namun tampaknya tak dihiraukan. Hingga saat itu, tiba-tiba lampu mulai padam secara berurutan. Dari kamar depan ke kamar belakang kemudian lampu ruang tamu. Darah saya berdesir sembari menutup wajah. Nano menutup mata. Iqbal meringkuk dalam selimut. Hanya mata Mas Budi yang tampak mengawasi pintu depan.

“Klap.. klapp.. klap.. klapp..” Lampu ruang tamu nyala mati berulang kali. 

“Astagfirullahhh.. astagfirullahhh..” suara Mass Budi terdengar lirih. 

Tangannya menepuk dada dan ubin berulangkali. Saya tersentak. Tiba-tiba ada bayangan putih, tinggi dan besar. Lebih mengerikannya lagi, bayangan itu secara cepat berubah menjadi hitam. Tampak bulu-bulu hitam menjuntai. Giginya hanya dua tapi panjang bahkan menyentuh ubin. Saya, Nano dan Iqbal berusaha mengintip dan berdoa yang kita bisa.

Tiba-tiba ada hentakan kaki kiri dan tangan kanan dari Mas Budi secara bersamaan. Semua lampu kembali menyala. Sejurus kemudian, Nano langsung keluar komisariat. Saya juga bergegas lari mengikuti Nano. Bersiap pergi dari komisariat. Tak lama, Iqbal juga mengikuti kami. Hanya Mas Budi yang masih santai. Menoleh, menengadah plafon kemudian memeriksa semua sudut rumah. Akhirnya kami keluar meninggalkan komisariat.

                                                                  ***

Jam 4 pagi, saya kembali ke komisariat. Sambil berharap cemas, saya mengelilingi seluruh ruangan. Hanya ada Pandu yang tampak tertidur lelap di kamar tengah. Saat saya berusaha merebahkan badan di ruang tamu, tiba-tiba saya kaget melihat sebuah amplop merah darah tergantung di sebelah kalender. SURAT WASIAT. Begitulah tulisannya.

Saya mencoba membukanya. Basah dan sedikit berlendir. Isinya hanya selembar kertas kecil. Terlipat menjadi dua sisi. Hurufnya agak aneh. Ditulis dengan tinta berwarna merah. Hanya ada satu kalimat yang tertulis disitu. Darah saya lagi-lagi berdesir seperti malam itu. Bulu kuduk saya berdiri. Bibir bahkan sampai bergetar tak beraturan. Namun saya berusaha semaksimal mungkin untuk tenang.

Selepas subuh, saya menelpon Hair dan Ardy. Saya minta bertemu mereka jam 06.30 pagi di komisariat. Sembari berusaha menenangkan diri, saya mencoba membuat kopi hangat. 

Ardy datang lebih dulu. 10 menit kemudian, Hair datang. Saya bercerita kepada mereka tentang peristiwa tadi malam. Ardy dan Hair mendengarkan dengan seksama sembari merokok. Kemudian saya mengambil surat tersebut. Ardy memincingkan mata. Hair tampak ogah melihat surat itu. Saya membuka secara pelan. Kemudian memberitahukan isinya kepada mereka.

Mereka berdua kaget. Sedikit bingung. Ardy mengacak-mengacak rambutnya seraya berkata, “Ndak mungkin ini, ndak mungkin ini Mod!!” Bahu saya terangkat pelan sembari mengatur nafas. Hair menggeleng-gelengkan kepala seakan tak percaya.. 

“Kita harus rapat segera!” Hair dan Ardy mengangguk setuju. Siangnya saya bersama mereka mengumpulkan anak-anak pengurus di gazebo. Raut muka anak-anak bingung. Mereka hendak bertanya. Namun saya memberikan isyarat supaya mereka diam dan tak boleh bicara.

“Kita harus menyudahi semuanya.”

NB: Tak lama setelah rapat itu, kami mengadakan rapat anggota komisariat luar biasa (RAKLB) di Batu. Menghadirkan seluruh anak-anak komisariat. Tidak hanya junior melainkan senior. Kami ‘terpaksa’ mengakhiri kepengurusan kami. Tidak berlangsung 1 tahun melainkan hanya 8 bulan. Mungkin sedikit mencederai konstitusi. Tapi demi kemaslahatan komisariat, kami pun harus selesai. 

Surat wasiat tersebut hingga kini hanya saya, Hair dan Ardy yang mengetahui. Dan surat itu tersimpan rapat di salah satu lemari rumah saya.

2 thoughts on “Surat Wasiat untuk Komisariat

Leave a comment