Kita INDONESIA

“Kamu dukung Indonesia?”

“Ya jelaslah, ini pertarungan hidup mati. Kalo menang, lolos semifinal!”

“Kok mau sih dukung Indonesia? Kan prestasinya jarang banget?”

“Loh, kita sebagai rakyat Indonesia harus dukung sepenuhnya timnas Indonesia. Karena saya bangga sebagai bangsa Indonesia!!”

“Padahal kaptennya Boaz. Ia kan kaum minoritas. Kok tumben kamu masih mau dukung timnas ?”

Ia tak menjawab. Hanya menoleh sembari tersenyum. Kemudian, ia menenggak kopi, merokok, dan melanjutkan kembali menonton timnas Indonesia. Yang bertanya pun ikut ke dalam hiruk pikuk para penonton. Ya, pembicaraan tersebut sempat terdengar saya ketika akan menonton pertandingan Indonesia vs Singapura di pusat kota Jakarta.

Tak ada yang meragukan kapasitas Boaz. Tak ada yang mengkritik Riedl mengenai pemilihan kapten timnas. Tak ada pula suporter Indonesia yang menghujat Boaz sebagai kapten timnas. Semua mendukung. Semua berbaur. Gegap gempita. Menjadi warna kebangaan Indonesia. Merah dan Putih.

Kita harus jujur Indonesia sedang mengalami krisis toleransi. Penyegelan rumah ibadah, pengusiran kaum minoritas hingga ada kejadian paling mengerikan menurut saya. Pembakaran rumah ibadah.

Tentu, semua teori, analisis telah bermunculan. Siapa, mengapa, bagaimana dan pertanyaan yang sekalipun tak terpikirkan bagi kita akan muncul. Masyarakat Indonesia sangat mudah terkena isu SARA dalam segi apapun. Kecuali sepakbola.

Ya sepakbola memang menjadi alat pemersatu bangsa. Tamir Sorek pernah mengatakan bahwa Israel dan Palestina dapat bersatu karena sepakbola. Dulu ada sebuah tim dari Israel yang menolak kehadiran 2 orang Palestina. Namun ketika pertandingan akan berlangsung, pelatih memaksa pimpinan untuk memasukkan kedua orang tersebut dalam tim. Hasilnya ? 2 orang tersebut menjadi penentu kemenangan bagi tim Israel.

Mungkin, hal tersebut hanyalah 1 kisah. Tapi tentu kisah tersebut akan menjadi sebuah peristiwa dan bukti bahwa Palestina dan Israel dapat bersatu. Apalagi kalo bukan karena sepakbola.

Indonesia adalah salah satu contoh bagus dalam persepakbolaan dunia. Tak ada perbedaan. Semua kumpul menjadi satu. Ferdinand Sinaga, Zulham Zamrun, Evan Dimas Darmono, Kurnia Meiga hingga sang kapten Boaz Solossa. Semua bergandengan tangan. Meletakkan identitas suku, agama, maupun ras. Menjadi satu kesatuan. Satu Indonesia.

Tentu kita masih ingat memori Piala AFF 2010. Ketika Indonesia berhasil mencapai final walaupun akhirnya kalah. Ratusan, ribuan, bahkan puluhan ribu, masyarakat Indonesia khusyuk untuk menonton timnas Indonesia.

Saya ingat betul masih ada orang yang mengenakan identitas Bonek, Arema, Jakmania, Viking, dan masih banyak lainnya ketika di luar stadion. Tapi ketika masuk, rata-rata dari mereka melepaskan identitas tersebut. Mengambil warna merah dan putih. Ada yang mengikatkan tali di kepala. Tangan. Lengan.

Ada pula yang mengecat tubuh bagian atas warna merah dan bagian bawah warna putih. Ada pula yang membawa bendera Indonesia dengan ukuran sangat besar. Ada pula spanduk yang dibentangkan dan diletakkan di seluruh sisi stadion. Pesannya hanya satu. Dukung Indonesia

Sudahlah. Lupakan sejenak perbedaan di antara kita. Tak (seharusnya) ada mayoritas dan minoritas. Kita itu satu. Satu Indonesia.

Kita yang pernah perih karena penjajahan. Dan kita yang telah merah putih karena pejuangan. Sebab Cinta Indonesia tak lekang oleh waktu. Indonesia. Indonesia. Dan sekali lagi. INDONESIA.

Leave a comment