Dari Warga Jogja untuk Raja Jogja

Beredar kabar bahwa ojek daring akan dilarang beroperasi di Jogjakarta. Ini artinya Jogja akan mengikuti jejak Tangerang dan Malang yang melakukan kebijakan serupa. Ini menarik.

Menurut saya, Jogja berbeda dari kedua kota tersebut. Lha iya jelas beda. Dari namanya saja sudah beda. Bukan itu masalahnya. Yang buat berbeda adalah Jogja dianggap minim dalam penyediaan angkutan umum.

Sebenarnya ini seperti sesuatu yang paradoks. Jogja dianggap sebagai kota dengan tingkat pariwisata ketiga terbaik di Indonesia namun dengan tingkat pelayanan publik yang cukup rendah. Dimaksudkan rendah dalam hal penyediaan angkutan umum.

Mau kasih contoh? Boleh.

Dulu, ketika saya bersekolah dari SD hingga SMA, sangat mudah menemukan angkutan kuning macam D2, D6, A3, 21, dan RAS. Belum lagi ditambah angkutan oranye macam KOPATA. Sekarang? Nihil dab. Tak ada sama sekali.

Mungkin kamu sesekali menjumpai angkutan tersebut. Tapi lebih sering kamu tidak menemukan angkutan tersebut. Itupun tinggal trayek dari perempatan Kentungan hingga menuju UII. Selain itu? Tak ada.

Dulu, pernah terjadi bentrok antara supir angkot dengan hadirnya Trans Jogja yang dianggap mengancam pendapatan mereka. Tapi apa yang terjadi? Mereka justru tergerus secara perlahan-lahan. Kemudian hilang. Kalah dengan pesaingnya yaitu Trans Jogja.

Jelas, Trans Jogja lebih diunggulkan. Selain dianggap nyaman, tarifnya tetap, dan ini transportasi publik yang paling diunggulkan dan secara sah layak di Jogjakarta. Dibandingkan dengan mereka yang dianggap kurang teratur.

Kenapa dianggap kurang teratur? Ya, karena suka ngetem kelamaan. Bahkan di setiap angkutan selalu terpasang stiker “Anda butuh Waktu? Kami butuh uang”. “Anda butuh Cepat? Kami butuh Makan.” Nah kalo sudah melihat slogan tersebut, penumpang pun biasanya memaklumi.

Apalagi hidup di Jogjakarta dengan manusia-manusianya tingkat superwoles. Santai dalam menikmati hidup. Tak perlu terburu-buru seperti di Ibukota. Selambat-lambatnya angkutan Jogja, tidak lebih lambat daripada klub Arsenal yang selalu ngadat jika menuju perempat final Liga Champions.

Nah, berbeda dengan Malang dan Tangerang yang notabene angkot masih berkeliaran di jalanan. Lhah Jogja? Ya tinggal vis a vis sama taksi. Lalu apakah pengemudi taksi protes?

Sampai saat tulisan ini diketik, belum ada gelombang protes dari supir taksi. Mungkin justru tidak akan pernah ada. Kenapa bisa begitu? Ya karena, taksi di Jogjakarta sudah berinovasi seperti ojek daring. Menggunakan aplikasi online.

Lalu kenapa sekarang tiba-tiba akan beredar pengumuman bahwa ojek daring akan dilarang? Saya juga ga ngerti. Mudah-mudahan kamu lebih paham. Atau mungkin Raja Jogja?

Di lini masa, sinisme yang lebih mengecam dilakukan oleh para mahasiswa. Kenapa begitu? Ya angkutan yang tersedia dan murah sesuai kantong mahasiswa cuma ojek daring. Kenapa ga pake taksi? Ya tau sendiri kalo label taksi dianggap sebagai kaum kelas atas.

Mau pake angkot? Lhah emang masih ada? Sudah menjadi barang langka. Sama kayak populasi orang utan di Kalimantan. Bedanya kalo orang utan kalah dengan pembalakan liar, kalo angkot kalah dengan peradaban teknologi.

Mau pake Trans Jogja? Yah rutenya sekarang cuman itu-itu aja. Nggak ditambah. Eh ini malah tampilan busnya makin hari makin ‘unik’. Sudah begitu armadanya juga nggak ditambah. Orang jadi males pake armada tersebut.

Kita ga bisa memungkiri bahwa dunia makin instan. Sekarang kebutuhan apapun tinggal pencet dan klik maka kebutuhan kamu akan tercapai. Nah itu yang disasar oleh pemrakarsa ojek online. Dan Jogja adalah pangsa pasar terbaik karena Jogja adalah magnet bagi mahasiswa.

Saya kok malah berpikir nanti yang pada protes macam demo bukan supir angkot atau supir taksi. Melainkan mahasiswa. Kenapa begitu? Jelas, mereka tak bisa lagi dapat harga promo untuk antar jemput. Tak ada lagi pesan makanan tanpa harus antri di tempat makan.

Saya pernah iseng bertanya dan sedikit survei kepada mahasiswa baik putri maupun putra di kampus saya. Dari 10 orang pengguna gawai, 8 diantaranya mengunduh aplikasi online milik ojek daring. Dan 6 diantaranya lebih banyak digunakan untuk pesan makanan daripada antar jemput.

Nah gimana? Kamu (baca:pembaca) pasti juga memiliki aplikasi online kan? Kalo tebakan saya salah, mungkin anda cuma menyanggah.

Kalo menurut saya sebagai anak Jogja, lebih baik pemerintah Jogjakarta membenahi pelayanan transportasi publik. Ini serius. Ga main-main. Banyak lho wisatawan yang mengeluh. Cuman mereka ga berani. Tau sendiri Jogja itu gimana. Sekali sang Raja berbicara, maka rakyat wajib mentaatinya.

Benar, raja adalah raja. Tapi tolonglah Sultan HB X. Saya meminta wewenang anda sebagai gubernur. Kembalikanlah wajah Jogjakarta sebagai kota yang ramah dalam hal transportasi publik.

Masihkah anda bergeming dengan kenyataan bahwa Jogjakarta menempati peringkat ke 5 dengan tingkat kemacetan terparah di ASIA? Saya cinta Jogja. Saya rindu Jogja. Kalo anda memang tresna dengan Jogjakarta. Jadikan Jogja yang ramah pada warganya. Bukan warganya yang marah pada rajanya.

Jogja Istimewa.

9 thoughts on “Dari Warga Jogja untuk Raja Jogja

  1. Kemarin nyoba pergi pergi pakai Trans Jogja, Shiraishi sih eh maksudnya Maiyan. Armada baru bersih, penggunaan kartu nya mudah, dan keberadaan halte portable semakin membuat nyaman. Secara pribadi sih aku ngga keberatan jalan dan nunggu sebentar kalau bisa nyaman huehue. Tapi memang rute dan armada nya harus ditambah. Suara dengarkan lah aku~ #lohituhijaudaun

    Like

Leave a comment